Transformasi Kontrak Digital: Refleksi atas Perkembangan Hukum Perdata Indonesia
Hukum | 2025-06-11 00:48:25
PENDAHULUANTransformasi digital telah merambah hampir seluruh sektor kehidupan, termasuk ranah hukum privat. Salah satu bentuk paling nyata dari perubahan ini adalah kontrak elektronik, yang kini menjadi tulang punggung transaksi daring—mulai dari e-commerce hingga perjanjian bisnis lintas negara. Data Kementerian Kominfo mencatat bahwa hingga 2023, lebih dari 60% transaksi bisnis di Indonesia dilakukan secara online, dan mayoritas melibatkan kontrak elektronik, baik eksplisit maupun implisit. Secara hukum, kontrak elektronik diakui sah melalui Pasal 18 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, sistem hukum perdata Indonesia yang masih bertumpu pada KUH Perdata warisan Belanda tahun 1848 belum sepenuhnya kompatibel. KUH Perdata mengasumsikan kontrak sebagai pertemuan kehendak yang diwujudkan secara fisik dan tertulis, sehingga menciptakan keraguan dalam pembuktian kontrak digital yang tidak berbentuk fisik.Hal ini tampak nyata dalam Putusan PN Surabaya No. 910/Pdt.G/2021/PN Sby, di mana kontrak elektronik tanpa tanda tangan digital dinilai tidak cukup kuat sebagai alat bukti otentik. Putusan ini menunjukkan bahwa meskipun sah secara normatif, kontrak digital belum mendapatkan legitimasi penuh dalam praktik peradilan. Lebih lanjut, banyak platform digital menggunakan sistem clickwrap agreement yang bersifat sepihak dan tidak memberikan ruang negosiasi. Ini bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak dan kesepakatan sejati yang menjadi dasar hukum perjanjian. Kontrak semacam ini rawan menciptakan ketimpangan antara konsumen dan penyedia layanan. Tantangan lain muncul pada aspek teknis. Laporan Pusat Studi Cyber Law FHUI (2022) menyebutkan bahwa hanya sekitar 18% pengadilan di Indonesia memiliki tenaga ahli atau perangkat forensik digital. Keterbatasan ini menyulitkan proses verifikasi keaslian dokumen elektronik dan memperlemah posisi bukti digital dalam persidangan.Dengan demikian, meskipun kontrak elektronik telah diakui secara hukum, implementasinya dalam sistem hukum perdata Indonesia masih menghadapi tantangan substansial. Reformasi regulasi, penyesuaian doktrin hukum, serta peningkatan kapasitas infrastruktur dan SDM peradilan menjadi kebutuhan mendesak agar kontrak elektronik dapat benar-benar diakui dan dilaksanakan secara sah, adil, dan efektif dalam masyarakat digital Indonesia.
PEMBAHASANA. Tegangan antara Hukum Konvensional dan Realitas DigitalKontrak dalam sistem hukum perdata Indonesia berakar pada KUH Perdata yang diwariskan dari sistem hukum sipil Belanda (civil law), di mana perjanjian dianggap sah bila memenuhi empat unsur Pasal 1320 KUH Perdata: kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Namun, rumusan ini secara historis dibentuk dalam konteks transaksi fisik, bersifat formal, dan sarat dokumentasi tertulis manual. Masuknya teknologi digital sebagai medium baru perjanjian memperkenalkan bentuk kontrak yang tidak lagi terikat kertas atau tatap muka, seperti kontrak dengan clickwrap, browsewrap, atau bahkan smart contract berbasis blockchain. Hal ini menimbulkan tension (ketegangan epistemologis) antara teks hukum lama yang cenderung kaku dan bentuk kontrak digital yang fleksibel. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat akan menjadi "teralienasi" dari fungsinya sebagai alat rekayasa sosial. Dalam konteks ini, KUH Perdata belum mengalami pembaruan struktural yang menyentuh substansi hukum perjanjian elektronik secara eksplisit.
B. Masalah Pembuktian dan Validitas Kontrak Elektronik di PengadilanPermasalahan terbesar dalam praktik adalah aspek pembuktian keabsahan kontrak elektronik di hadapan pengadilan. Pasal 5 ayat (1) UU ITE memang mengakui informasi elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah. Namun, Pasal 5 ayat (4) mengecualikan beberapa dokumen, seperti surat berharga dan akta notaris. Ini menciptakan ambiguitas dalam interpretasi yudisial terhadap kontrak bernilai tinggi. Contohnya dapat dilihat pada kasus Putusan PN Jakarta Selatan No. 258/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Sel, di mana kontrak yang dilakukan melalui WhatsApp dan email ditolak sebagai bukti utama karena tidak terdapat tanda tangan elektronik tersertifikasi yang diakui oleh PSrE (Penyelenggara Sertifikasi Elektronik). Hal ini menunjukkan bahwa, secara teknis, meskipun ada kesepakatan dan objek yang jelas, tanpa pembuktian yang sahih, kontrak menjadi rapuh dalam proses litigasi. Sebaliknya, di negara seperti Singapura dan Estonia, sistem tanda tangan digital mereka sudah tertanam dalam struktur peradilan dan identitas kependudukan. Di Indonesia, hanya sekitar 5% dari kontrak bisnis daring yang memanfaatkan tanda tangan digital tersertifikasi (Kominfo, 2023).
C. Ketimpangan Posisi Para Pihak dan Penyalahgunaan Klausula BakuSalah satu asas penting dalam hukum perjanjian adalah keseimbangan dan kesukarelaan (consensualisme). Dalam praktik kontrak elektronik, hal ini sering diabaikan, terutama dalam model clickwrap atau browsewrap di platform digital. Pengguna hanya diberi opsi untuk menyetujui seluruh isi kontrak tanpa bisa menegosiasikan isi perjanjian. Hal ini bertentangan dengan asas "freedom of contract" yang menjadi pilar hukum perdata Indonesia. Studi oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM, 2022) menunjukkan bahwa lebih dari 70% kontrak digital di Indonesia tidak menyajikan isi perjanjian secara jelas atau hanya dapat diakses melalui tautan eksternal kecil.
D. Ketiadaan Kepastian Hukum dalam Kontrak Elektronik Lintas NegaraKontrak digital memiliki karakteristik lintas yurisdiksi. Seorang pengguna Indonesia dapat membuat perjanjian dengan entitas hukum yang berkedudukan di Amerika Serikat atau Irlandia, tanpa pernah mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa yang berlaku. Hukum Indonesia belum memiliki sistem yang konsisten dalam mengatur prinsip choice of law dan forum penyelesaian dalam kontrak elektronik lintas negara. Sebagai contoh, jika seorang freelancer Indonesia menandatangani kontrak digital dengan klien dari Inggris melalui platform seperti Upwork, kontrak tersebut tunduk pada hukum Inggris. Dalam hal terjadi wanprestasi, pengguna Indonesia sering kali tidak memiliki akses hukum yang nyata, karena tidak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negara tempat pelaku usaha berada. Ini menciptakan asimetri hukum transnasional, di mana pengguna Indonesia lebih sering berada di posisi yang dirugikan.
E. Kelemahan Infrastruktur Hukum dan Kapasitas YudikatifMasalah implementasi juga terletak pada kurangnya infrastruktur hukum digital dan kapasitas hakim dalam memeriksa perkara elektronik. Laporan Litbang Mahkamah Agung tahun 2022 mencatat bahwa hanya 12% hakim perdata di Indonesia yang menguasai pembuktian elektronik secara teknis. Hal ini sangat kontras dengan kemajuan teknologi yang terus berkembang cepat. Absennya perangkat digital forensic yang terstandarisasi di lingkungan pengadilan menambah masalah. Tanpa kemampuan memverifikasi metadata, waktu server, dan hash dokumen digital, maka keabsahan kontrak sulit diverifikasi secara objektif. Ini berdampak langsung pada krisis kepercayaan publik terhadap efektivitas hukum digital.
F. Ketidaksiapan Regulasi Turunan dan Ketergantungan pada SwastaRegulasi turunan dari UU ITE seperti PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik masih belum menciptakan sistem pendaftaran kontrak digital nasional. Pemerintah belum membentuk lembaga khusus yang dapat merekam, menyimpan, dan menjamin integritas kontrak elektronik dalam skala nasional. Akibatnya, masyarakat bergantung pada platform swasta seperti DocuSign, Adobe Sign, atau layanan luar negeri lainnya. Ini sangat riskan secara hukum, terutama dalam hal integritas data dan perlindungan data pribadi, karena belum semua platform tersebut tunduk pada regulasi perlindungan data pribadi Indonesia yang baru (UU No. 27 Tahun 2022). Negara seharusnya hadir tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator dan guarantor dalam sistem kontraktual digital.
ANALISISImplementasi kontrak elektronik dalam sistem hukum perdata Indonesia tidak sekadar menyangkut soal keabsahan formal, melainkan menyentuh problem struktural dalam hukum positif, kesiapan infrastruktur hukum, hingga ketimpangan akses terhadap perlindungan hukum. Beberapa fakta berikut memperjelas bahwa tantangan ini bersifat sistemik dan mendesak.
1. KUH Perdata Belum Akui Secara Eksplisit Kontrak ElektronikFaktanya, KUH Perdata (BW) yang menjadi dasar utama hukum kontrak di Indonesia tidak pernah secara eksplisit menyebut kontrak elektronik. Padahal, transaksi digital kini mendominasi banyak sektor. Menurut data BPS (2023), lebih dari 61,6 juta UMKM sudah masuk ke ekosistem digital, namun dasar hukum perdata Indonesia masih bertumpu pada teks kolonial tahun 1847 yang tidak mengantisipasi perubahan zaman. Di sisi lain, pengakuan terhadap kontrak elektronik baru hadir melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo. UU No. 19 Tahun 2016. Namun, pengakuan itu hanya bersifat normatif, tanpa memberikan detail mengenai struktur pembuktian dan kedudukan hukum jika terjadi sengketa.
2. Ketimpangan Posisi dalam Kontrak DigitalBanyak kontrak elektronik berbentuk click-wrap agreement atau browse-wrap, di mana pengguna cukup mengklik “setuju” tanpa membaca klausul detail. Kajian YLKI (2021) menunjukkan bahwa 78% pengguna aplikasi digital tidak membaca syarat dan ketentuan sebelum menyetujui kontrak. Ini membuka ruang eksploitasi hukum, di mana perusahaan besar mencantumkan klausul eksonerasi atau pembatasan tanggung jawab secara sepihak, yang sesungguhnya dilarang dalam Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999. Namun faktanya, belum ada penindakan tegas terhadap praktik tersebut di ranah digital
3. Pembuktian Kontrak Elektronik Masih LemahDalam praktik persidangan, pembuktian kontrak elektronik masih bermasalah. Putusan PN Jakarta Selatan No. 408/Pdt.G/2020/PN Jkt.Sel menunjukkan bahwa email dan rekaman transaksi digital ditolak sebagai alat bukti sah karena tidak memenuhi kriteria otentik. Padahal Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik adalah alat bukti hukum yang sah.
4. Tanda Tangan Elektronik Belum Menjadi BudayaMenurut data Kementerian Kominfo (2023), dari 210 juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 6 juta yang menggunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi. Ini memperlihatkan bahwa sistem otentikasi digital masih terbatas, baik dari sisi infrastruktur maupun pemahaman masyarakat. Padahal, tanda tangan elektronik tersertifikasi merupakan syarat utama sahnya kontrak digital menurut Pasal 11 UU ITE.
5. Tidak Adanya Sistem Sengketa Khusus Kontrak DigitalHingga kini, Indonesia belum memiliki mekanisme Online Dispute Resolution (ODR) yang terintegrasi untuk menyelesaikan sengketa kontrak digital secara efisien dan terjangkau. Padahal negara-negara seperti Singapura dan Malaysia sudah mengembangkan sistem e-ADR (Electronic Alternative Dispute Resolution) yang memfasilitasi penyelesaian sengketa e-commerce secara daring.
PENUNTUP
Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah interaksi hukum, termasuk dalam ranah kontrak perdata. Kontrak elektronik bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan dalam ekosistem transaksi modern. Namun demikian, realitas hukum Indonesia belum sepenuhnya siap menjawab kompleksitas tersebut. Masih ada jurang besar antara prinsip-prinsip klasik hukum perdata dan dinamika kontraktual era digital—mulai dari pembuktian, ketimpangan posisi para pihak, hingga problem yurisdiksi lintas negara. Tantangan implementasi kontrak elektronik ini menunjukkan bahwa pembaruan hukum tidak dapat lagi ditunda. Negara tidak cukup hanya mengakui keabsahan kontrak elektronik secara normatif, melainkan harus membangun sistem yang menghidupkan norma menjadi perlindungan nyata. Sebab, dalam hukum, sah tidak selalu berarti adil—dan keadilan tidak boleh dikorbankan atas nama kemajuan teknologi semata. Kini saatnya Indonesia mengambil langkah konkret: mereformasi KUH Perdata, membangun infrastruktur hukum digital, memberdayakan aparat penegak hukum, serta mendidik masyarakat sebagai pelaku aktif dalam dunia hukum digital. Dengan begitu, kontrak elektronik dapat menjadi instrumen hukum yang tidak hanya sah dan mengikat, tetapi juga adil dan inklusif bagi seluruh warga negara. Hukum harus menjadi pelindung bagi semua, bukan hanya mereka yang memiliki akses teknologi. Dan ke depan, Indonesia ditantang untuk membuktikan bahwa hukum perdata bukanlah warisan yang mati—melainkan alat hidup untuk menjawab zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/37589/uu-no-11-tahun-2008 Republik Indonesia. (n.d.). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Indonesia). Diakses dari https://jdih.mahkamahagung.go.id/legal-product/kitab-undang-undang-hukum-perdata/detail Mahfud, M. D. (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Info buku: https://books.google.com/books/about/Politik_hukum_di_Indonesia.html?id=pw1ttgAACAAJRahardjo, S. (2006). Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. Info buku: https://books.google.com/books/about/Membedah_hukum_progresif.html?id=g4wxVhxY8_sC
Nugroho, R. (2020). Hukum Siber Indonesia: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Genta Press.Info buku: https://repository.sadapenerbit.com/index.php/books/catalog/book/205 Pengadilan Negeri Surabaya. (2021). Putusan No. 910/Pdt.G/2021/PN Sby. Diakses dari https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaec83c19e998ca88236303734363535.html Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (2022). Putusan No. 815/Pdt.G/2022/PN JKT.SEL. Diakses darihttps://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaedad9e3f0c78baaa08303930343239.htmlBadan Pusat Statistik. (2023). Statistik E-Commerce 2023. Diakses darihttps://www.bps.go.id/id/publication/2025/01/30/d52af11843aee401403ecfa6/statistik-e-commerce-2023.html MaPPI FHUI. (2024). Suryani, D. (2022). Keabsahan kekuatan pembuktian kontrak elektronik dalam perjanjian bisnis menurut hukum positif di Indonesia.
Laporan Indeks Pembangunan Hukum di Indonesia Tahun 2022. Diakses dari https://mappifhui.org/wp-content/uploads/2024/06/2024.05.31-Laporan-IPH-Tahun-2022-Cetakan-MEI-2024_compressed-1.pdf
Jurnal Administratum, 3(1), 45–60. Diakses dari https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/view/48656Rahayu, S. (2022). Keseimbangan para pihak dalam kontrak elektronik (e-contract). Yuliani, T. (2022). Perkembangan keabsahan kontrak elektronik di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, 10(1), 25–40. Diakses darihttps://jurnal.uns.ac.id/hpe/article/view/5158
Jurnal Positum, 7(2), 112–128. Diakses darihttps://journal.unsika.ac.id/index.php/positum/article/view/10898
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
