Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Krisis Adab dan Tanggung Jawab Keluarga Muslim

Kolom | 2025-06-09 17:54:32
Ilustrasi (Sumber: Tempo.co)

Di sebuah rumah yang semestinya menjadi ruang paling aman bagi kasih sayang dan ketenangan, seorang ibu dipukul oleh anak kandungnya sendiri. Peristiwa seperti ini, yang kian sering muncul di berbagai platform media sosial, menyentak nurani siapa pun yang masih menjunjung nilai kemanusiaan dan keislaman.

Memukul ibu bukan sekadar tindakan kekerasan fisik. Ia adalah simbol dari runtuhnya adab, hilangnya rasa takut kepada Allah, dan poraknya fondasi keluarga. Dalam tradisi Islam, perbuatan semacam ini bukan hanya melanggar norma sosial, tetapi juga merupakan dosa besar yang membawa murka Ilahi. Maka pertanyaan kita adalah: bagaimana ini bisa terjadi, dan apa yang bisa dilakukan oleh orang tua dan keluarga?

Ketika Adab Terlupakan

Islam menempatkan penghormatan kepada orang tua, terutama ibu, pada posisi yang tinggi. Bahkan, setelah perintah menyembah Allah, Al-Qur'an secara langsung menyebutkan perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak...” (QS. Al-Isra: 23)

Rasulullah SAW, ketika ditanya siapa yang paling berhak untuk diperlakukan dengan baik, menjawab: “Ibumu.” Lalu ditanya lagi, “Lalu siapa?” Beliau tetap menjawab, “Ibumu.” Untuk ketiga kalinya pun jawabannya sama, hingga yang keempat, baru beliau menyebut: “Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ini adalah penegasan betapa mulianya posisi ibu dalam pandangan Islam. Maka, tindakan memukul ibu bukan saja durhaka, tapi juga menandakan kehilangan akhlak yang sangat mendasar. Jika seorang anak sampai berani mengangkat tangan kepada ibunya, maka sesungguhnya ia sedang menantang murka Allah SWT.

Mengapa ini terjadi?

Fenomena anak menyakiti orang tua bisa terjadi karena banyak faktor. Pertama, lemahnya pendidikan akhlak sejak dini. Dalam banyak keluarga, pendidikan difokuskan pada aspek kognitif dan capaian akademik, tapi mengabaikan pembinaan ruhani dan adab.

Kedua, kurangnya komunikasi yang sehat antara orang tua dan anak. Banyak anak tumbuh dalam lingkungan penuh tekanan, tanpa ruang ekspresi emosional yang sehat. Ketika emosi meledak, kekerasan menjadi pelarian.

Ketiga, pengaruh budaya digital. Media sosial, game, dan tontonan yang mengandung kekerasan menjadikan anak terbiasa menyaksikan agresi sebagai bentuk penyelesaian konflik. Tanpa filter dan bimbingan, mereka membawa pola itu ke dunia nyata.

Keempat, orang tua sendiri kadang menjadi pemicu. Ada kasus-kasus di mana anak mengalami tekanan atau kekerasan verbal selama bertahun-tahun. Tentu ini bukan pembenaran atas kekerasan anak terhadap ibu, tapi menunjukkan bahwa relasi yang tidak sehat bisa menjadi bom waktu.

Apa yang Harus Dilakukan?

Dalam kondisi terluka, seorang ibu bisa saja secara spontan mengutuk anaknya. Padahal doa orang tua sangat mustajab, baik untuk kebaikan maupun keburukan. Meskipun orang tua adalah korban dalam peristiwa semacam ini, Islam tidak mengajarkan balas dendam atau pembalasan emosional.

Sebaliknya, Islam mengajak kepada jalan yang lurus dan penuh kasih sayang dalam menyelesaikan konflik. Maka, seberat apapun perlakuan anak, sebaiknya orang tua tidak terburu-buru melontarkan sumpah serapah. Doakan kebaikan agar anak diberi hidayah.

Dalam Islam, mendidik bukan sekadar tanggung jawab orang tua, tetapi juga tanggung jawab komunitas. Jika keluarga sudah tidak mampu menyentuh sisi kejiwaan anak, maka melibatkan ustaz, ulama, atau konselor keluarga muslim dapat membantu. Mereka bisa menjadi pihak ketiga yang memberikan nasihat dengan cara yang lebih diterima oleh anak.

Sakit hati dan rasa kecewa pasti muncul ketika anak menyakiti. Namun setelah itu, orang tua dan keluarga perlu melakukan introspeksi: apakah ada pola asuh yang keliru? Apakah anak merasa tidak dicintai atau tidak dihargai sejak kecil?

Islam mengajarkan keadilan dalam mendidik anak. Rasulullah SAW memperlakukan anak-anaknya dengan penuh kasih dan tanpa kekerasan. Dalam satu riwayat, beliau bahkan tidak pernah memukul anak-anaknya, dan selalu memeluk serta mencium mereka sebagai bentuk kasih sayang.

Jika kekerasan terjadi berulang dan membahayakan keselamatan, keluarga dapat menempuh jalur hukum sebagai bentuk perlindungan. Dalam konteks hukum positif Indonesia, tindakan anak memukul orang tua dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Langkah ini bukan untuk mempermalukan anak, tetapi sebagai upaya terakhir untuk mencegah kerusakan yang lebih luas. Hukum hadir sebagai penjaga tatanan, bukan sebagai alat dendam.

Setelah krisis reda, keluarga harus kembali membangun komunikasi yang sehat. Islam mengajarkan bahwa rumah tangga adalah tempat pertama untuk belajar cinta, empati, dan adab. Pendidikan adab harus dimulai sejak dini, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan contoh nyata.

Imam Malik mengatakan, “Pelajarilah adab sebelum ilmu.” Ini menunjukkan betapa pentingnya karakter dalam membentuk manusia seutuhnya. Anak yang beradab akan mencintai, bukan menyakiti. Ia akan bersujud di hadapan ibunya, bukan mengangkat tangan untuk memukulnya.

Sebagai penutup, anak yang memukul ibu bukan hanya soal anak yang durhaka. Itu adalah tanda bahwa keluarga telah kehilangan fungsinya sebagai madrasah pertama. Maka, mari kita perbaiki. Jadikan rumah sebagai taman surga kecil, tempat anak belajar mencintai, bukan melukai.

Mendidik anak dalam Islam bukan sekadar membesarkan tubuhnya, tapi membangun ruh dan adabnya. Dan tugas ini bukan hanya milik ibu, tapi seluruh anggota keluarga dan masyarakat.

Jika hari ini kita melihat anak memukul ibu, jangan hanya mengutuk kegelapan. Mari nyalakan lilin—dengan kasih sayang, nasihat, dan pendidikan yang penuh hikmah. Karena kelak, kitalah yang akan ditanya Allah, bukan hanya tentang apa yang anak kita lakukan, tetapi juga tentang apa yang telah kita tanam dalam dirinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image