Dilema Bulan Terakhir
Curhat | 2025-06-08 16:39:38Aku menatap dua digit angka di papan kelas. Angka itu menunjukkan sisa hari yang akan kulalui di kampus ini. Sungguh sedikit, hanya berbilang satu bulan untuk kuhabiskan dengan teman-teman, di lingkungan hijau ini, di bawah langit yang selalu cantik, di antara lantunan ayat suci dan bahasa penghuni surga.
Seharusnya hari-hari ini menjadi waktu yang menyenangkan. Menghabiskan menit dengan orang-orang terdekat yang tidak lagi kutemui kelak. Saling bertukar cerita dan tawa dengan mereka yang bernaung di bawah atap yang sama. Atau sekadar bermain dengan kucing putih bercorak hitam yang sering kutemukan di ruang makan. Tetapi kenyataannya tidak begitu.
Pikiranku justru berkecamuk. Bukan soal ujian akhir yang kurisaukan, tapi tentang apa yang aku lakukan setelah satu bulan. Jalan teman-temanku sudah jelas, beberapa memilih melanjutkan pendidikan, entah secara resmi atau otodidak. Beberapa dan kebanyakannya memilih bekerja, puluhan instansi menawarkan lowongan pekerjaan kepada kami, tinggal pilih, melewati berbagai formalitas, dan voila, terdaftarlah dia sebagai tenaga pengajar di instansi tersebut. Delapan puluh persen alumni kampus kami memilih bekerja sebagai tenaga pengajar. Beberapa yang lain memilih jalur KUA, jalan termanis sekaligus terberat, karena ia adalah perjalanan seumur hidup yang tidak bisa diremehkan.
Aku sendiri bingung tentang hatiku. Sebagai anak bungsu, aku tidak memiliki beban untuk membantu pendidikan orang lain di keluargaku, seperti yang terjadi ke beberapa temanku yang notabene adalah anak sulung. Di keluargaku, kami selalu diberi kebebasan memilih. Ayah-ibuku tidak pernah memaksa sebuah pilihan, mereka selalu bilang, “Lakukan apa yang kamu mau selama itu baik dan bermanfaat,”
Mendapatkan kebebasan seperti itu justru membuatku kebingungan. Dua kali aku berpikir untuk bekerja sebagai tenaga pengajar seperti teman-temanku, menambah pengalaman, memperluas koneksi, sekaligus mendapatkan tambahan uang jajan. Tetapi dua kali pula aku membatalkan niat itu. Selain karena tempat yang bisa dibilang jauh dari rumahku, aku belum merasa siap untuk menjadi seorang pendidik.
Melihat realita di video yang beredar, tentang persaingan untuk mendapatkan pekerjaaan di zaman sekarang khususnya untuk gen Z, aku sempat bimbang. Apakah bijaksana untukku menolak lowongan pekerjaan yang datang dengan sendirinya ke kampus sedangkan di luar sana ratusan orang bersaing untuk sebuah pekerjaan tetap? Tapi aku tidak mau mengajar karena FOMO, aku tidak mau mengajar karena melihat teman-temanku juga mengajar, aku ingin mengajar karena aku sadar bahwa itu adalah bentuk dedikasiku kepada bangsa, agama, dan ilmu. Salahkah jika aku berpikir seperti itu?
Kelulusan di depan mata. Baju untuk wisuda sudah mulai dijahit. Selempang pelengkap toga sudah jadi. Skripsi sudah selesai dari segala revisi. Tetapi masih ada hati yang bimbang, menentukan ke mana kaki ini akan melangkah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
