Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kuntoro Boga

Isu Lingkungan dan Tantangan Pertanian di Indonesia

Eduaksi | 2025-06-06 08:18:29

Pemanasan global dan krisis lingkungan telah mencapai titik kritis. Laporan IPCC 2023 menyebutkan bahwa suhu Bumi telah meningkat 1,1°C dibandingkan era pra-industri, dan bisa melonjak hingga 2,8°C pada akhir abad ini jika tak ada upaya lebih ambisius. Angka tersebut jauh melebihi batas aman 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris. Dampaknya nyata dan merata: gelombang panas ekstrem, hujan lebat tak menentu, kekeringan berkepanjangan, dan meningkatnya intensitas siklon tropis.

Hutan Sagu (Foto: Dokpri)

Indonesia berada di garis depan risiko. Sebagai negara kepulauan tropis, kita sangat rentan terhadap bencana iklim. Tahun 2022 saja, BNPB mencatat 3.544 bencana, 90% di antaranya adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan angin puting beliung. Dalam empat dekade terakhir, tren curah hujan ekstrem dan suhu tinggi terus meningkat. Kerugian ekonomi akibat bencana iklim diperkirakan mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.

Namun, krisis lingkungan bukan hanya soal iklim. Deforestasi masif dan hilangnya keanekaragaman hayati mengancam daya dukung Bumi. Sekitar sepertiga hutan dunia telah ditebang selama 10.000 tahun terakhir, terutama untuk pertanian dan perkebunan. Indonesia sebagai salah satu produsen utama komoditas global tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab ini. Transformasi sektor pertanian dan perkebunan menjadi bagian dari solusi adalah keniscayaan, bukan pilihan.

Agroforestri dan Solusi Berbasis Alam

Perkebunan telah lama menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan hutan tanaman industri menyerap jutaan tenaga kerja dan menyumbang devisa besar. Namun, sejarah mencatat bahwa ekspansi sektor ini kerap dibarengi konversi hutan yang massif.

Namun, harapan tidak pupus. Indonesia memiliki peluang besar memulihkan lanskap rusak melalui pendekatan agroforestri dan solusi berbasis alam (nature-based solutions). Agroforestri mengombinasikan tanaman komoditas dengan pohon hutan atau tanaman keras lain, dan telah terbukti memberikan manfaat ekologi dan ekonomi. Sistem ini mampu menyerap karbon, menjaga tata air, serta memberikan diversifikasi pendapatan bagi petani.

Contoh sukses datang dari Desa Kayupuring, Petungkriyono, Jawa Tengah. Sekitar 800 petani yang dulunya terlibat dalam penebangan liar kini mengelola 600 hektar hutan kopi berbasis agroforestri. Mereka menanam kopi di bawah naungan pohon lokal seperti jati dan meranti. Pendekatan ini tidak hanya menjaga hutan, tetapi juga menghasilkan kopi premium bermerek “Owa Coffee” yang kini diminati pasar.

NBS juga mencakup pemulihan lahan basah: rehabilitasi gambut, penanaman mangrove, dan restorasi hutan bakau. Pendekatan ini menawarkan triple wins: menyerap karbon, menjaga keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sekitar 15% potensi global NBS berada di Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia bukan hanya korban krisis iklim, tapi juga pusat solusi dunia.

Pertanian Energi dan Perkebunan (Foto: Dokpri)

Tata Kelola Berbasis Keberlanjutan

Transformasi sektor perkebunan membutuhkan integrasi prinsip keberlanjutan dalam setiap tahapan. Indonesia telah memiliki kerangka seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Studi kolaboratif menunjukkan bahwa kedua skema tersebut punya tujuan sama: meminimalkan deforestasi dan emisi GRK dari sektor sawit.

Sayangnya, implementasi masih menghadapi kendala klasik: “kesenjangan aspirasi dan aplikasi”. Kajian CIFOR-ICRAF mencatat bahwa meski kesadaran akan pentingnya pertanian hijau meningkat, pelaksanaannya belum sistemik. Butuh penguatan kebijakan lintas sektor, dari reformasi izin lahan, perlindungan hutan lindung, hingga insentif bagi petani yang menerapkan praktik hijau seperti penggunaan pupuk organik, varietas hemat air, dan rotasi lahan.

Aspek sosial juga krusial. Sertifikasi berkelanjutan kini mencakup prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) bagi masyarakat adat dan lokal. Partisipasi petani dalam peta wilayah, pengakuan hak kelola, dan akses pembiayaan menjadi penentu keberhasilan jangka panjang. Beberapa program seperti pertanian organik dan konservasi tanah-air yang diusung Kementerian Pertanian dan BNPB menekankan hal ini.

Praktik Baik dan Dorongan Multi-pihak

Pemerintah telah menetapkan target ambisius melalui NDC (Nationally Determined Contributions) dan agenda FOLU Net Sink 2030. Program hutan sosial, perlindungan gambut, dan penanaman mangrove sudah berjalan di banyak daerah. Di Aceh, misalnya, petani kakao diberi izin mengelola hutan secara lestari, tanpa merambah hutan primer.

Rantai pasok pun mulai transparan. Importir dari Eropa dan Amerika mewajibkan jejak lingkungan komoditas. Beberapa koperasi petani sawit di Sumatera telah menerapkan agroforestri durian-sawit dan rotasi kebun dengan pupuk kompos. Dukungan lembaga keuangan pun meningkat: bank mulai menyalurkan kredit lunak untuk praktik ramah lingkungan, dan menjatuhkan penalti bunga tinggi untuk yang tidak taat ekologi.

Swasta turut berperan melalui program CSR, sertifikasi lingkungan, dan restorasi gambut. Koridor hijau untuk satwa langka kini hadir berdampingan dengan konsesi industri. Namun semua itu akan sia-sia tanpa konsistensi pengawasan, penegakan hukum, dan pemberdayaan masyarakat sebagai pilar utama.

Momentum Hari Lingkungan Hidup

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni) adalah saat yang tepat untuk mendorong kesadaran kolektif. Perkebunan Indonesia harus mengambil peran bukan sebagai sumber masalah, melainkan sebagai bagian dari solusi. Melalui penerapan agroforestri, perlindungan keanekaragaman hayati, dan praktik rendah karbon, sektor ini bisa menjadi motor pemulihan lingkungan.

Prinsipnya sederhana: bumi bukan warisan leluhur, melainkan titipan bagi anak cucu. Oleh karena itu, setiap keputusan, dari pemilihan benih hingga pola panen, harus mempertimbangkan keberlanjutan jangka panjang. Dengan sinergi antar-pihak dan kepemimpinan politik yang kuat, Indonesia bisa membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan dapat berjalan seiring.

Hari ini, kita tak hanya membutuhkan komitmen, tapi juga aksi nyata. Mari jadikan Hari Lingkungan Hidup Sedunia sebagai momentum transformatif, di mana Indonesia menunjukkan bahwa pertanian hijau dan ekosistem lestari bukan mimpi, tapi pilihan sadar untuk masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image