
Rahasia di Balik Domba Surga: Bisikan Langit yang Menetes di Padang Arafah
Agama | 2025-06-05 11:24:35
Rahasia di Balik Domba Surga : Bisikan langit yang menetes di Padang Arafah
Oleh: Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan.
"Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban"
Langit Makkah berselimut debu padang pasir. Di sebuah lembah sunyi, berdirilah seorang ayah tua dengan tangan bergetar memegang pisau tajam. Di hadapannya, seorang pemuda remaja berbaring pasrah, matanya tak memelas, hatinya tak gentar, meski sebentar lagi ujung logam itu akan merobek lehernya. Itulah detik-detik menakjubkan yang tak sekadar tentang pengorbanan, tetapi tentang cinta, ketaatan, dan misteri ketetapan Ilahi.
Ibrahim, kekasih Tuhan. Ismail, buah hati yang ditunggu puluhan tahun lamanya. Mereka bukan sekadar ayah dan anak, tetapi dua jiwa yang terikat oleh ikrar yang lebih tinggi dari cinta darah dan daging—ikrar kepada Tuhan yang Satu. Dalam sepi dan getir itu, langit menjadi saksi bisu, bumi menggigil, dan para malaikat menahan napas. Namun, tepat ketika pisau hendak menunaikan titah, suara dari langit membuyarkan segalanya: "Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya begitulah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik" (QS. Ash-Shaffat: 104–105).
Seekor domba dari surga menggantikan posisi Ismail. Bukan karena Allah mengingkari perintah-Nya. Bukan pula karena Ibrahim ragu. Tetapi karena cinta dan pengorbanan mereka telah mencapai puncaknya: tamkin—keteguhan. Mereka lulus dari ujian langit, dan sejarah pun tak pernah melupakannya.
Rahasia di balik tidak jadinya Ismail disembelih bukanlah soal belas kasihan Tuhan pada seorang anak semata, melainkan pelajaran agung tentang makna keikhlasan. Bahwa sejatinya, yang diminta Allah dari manusia bukanlah darah dan daging, tetapi hati yang tunduk sepenuhnya. Bahkan dalam ayat lain, ditegaskan: "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya" (QS. Al-Hajj: 37).
Itulah inti dari ibadah qurban yang setiap tahun kembali digaungkan. Sebuah ritual yang bukan sekadar penyembelihan hewan, tapi pemotongan nafsu, kelekatan, dan ego yang selama ini menjajah nurani. Ketika manusia melepaskan sesuatu yang ia cintai demi ridha Tuhan, di situlah titik puncak penghambaan sejati bermula. Dan bukankah dalam hidup, selalu ada sesuatu yang harus kita “sembelih” agar bisa tumbuh lebih tinggi?
Hewan qurban yang disembelih di seluruh penjuru nusantara, Sebagian besar didistribusikan ke daerah pelosok, zona kemiskinan ekstrem, hingga kawasan terdampak bencana. Dari darah-darah yang menetes itu, hidup mengalir kembali ke dapur kaum papa. Anak-anak kecil menggigit tulang berlemak sambil tersenyum. Di sanalah ruh qurban menemukan maknanya yang sesungguhnya—keadilan sosial dan cinta kasih.
Pertanyaannya bukan sekadar berapa kambing yang kita sembelih, melainkan adakah yang telah kita relakan dari dalam diri? Sudahkah kita menyembelih rasa tamak, sifat kikir, atau ambisi tak terbatas yang menumpuk di hati? Karena qurban bukan hanya ritual, tetapi revolusi batin. Ia adalah nyala api yang membakar keserakahan dan membentuk manusia baru yang lebih lembut, lapang, dan tangguh.
Dalam suasana dunia yang makin gaduh, perang yang berkecamuk di Gaza dan Tepi Barat, jeritan anak-anak Palestina yang kehilangan orang tua dan tempat tinggal, pesan pengorbanan Ibrahim-Ismail seolah menggema kembali. Bahwa dunia ini memerlukan lebih banyak manusia yang rela memberi tanpa pamrih, bukan menjarah demi kuasa. Lebih banyak yang memilih cinta dan pengampunan, bukan dendam dan kehancuran.
Ismail tak jadi disembelih. Tapi nilai pengorbanannya tetap hidup dalam sejarah. Ia mengajarkan kita bahwa dalam kehidupan ini, yang terpenting bukanlah berapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa banyak yang kita relakan demi kebaikan. Ismail mungkin tidak pernah benar-benar mati, tetapi ia hidup dalam setiap jiwa yang siap melepaskan kepentingan pribadinya demi kebajikan bersama.
Sementara itu, Nabi Ibrahim pun bukan sekadar figur yang rela kehilangan anak. Ia adalah simbol keberanian untuk melawan keterikatan duniawi yang membelenggu. Ia memotong garis batas antara cinta pada makhluk dan cinta pada Sang Khalik. Dan ketika cinta pada Tuhan menang, maka semua yang dicinta akan dikembalikan dalam bentuk yang lebih mulia.
Domba surga adalah metafora dari rahmat Allah. Bahwa di balik setiap kepatuhan tulus, Allah selalu punya jalan pengganti yang lebih baik. Dalam bahasa sufistik, itu disebut tajalli, atau penyingkapan kasih Tuhan kepada hamba-Nya yang ikhlas. Maka siapa yang menyerahkan segalanya kepada Allah, akan mendapatkan segalanya kembali, namun dalam bentuk yang telah disucikan.
Hari ini, dalam konteks modern, qurban bisa meluas maknanya. Menjadi qurban bagi keluarga yang sedang membutuhkan bukan hanya soal memberi daging, tapi juga telinga untuk mendengar, pelukan untuk menenangkan, atau waktu untuk menemani. Dalam masyarakat digital yang sibuk dan acuh, barangkali yang harus kita sembelih adalah egoisme kita terhadap sesama.
Bayangkan jika setiap pemimpin di negeri ini memiliki semangat Ibrahim, yang berani melepaskan ego kekuasaan demi rakyat. Atau setiap pejabat menjadi seperti Ismail, yang siap berkorban bukan demi jabatan, tapi demi nilai luhur. Indonesia tidak akan kekurangan domba untuk dikurbankan, tetapi kekurangan manusia yang rela menjadi Ibrahim dan Ismail.
Maka, wahai bangsa yang besar ini, mari kita dengarkan kembali bisikan langit yang menetes di padang Arafah. Mari kita bertanya ke dalam diri: sudahkah aku menjadi hamba yang benar-benar ikhlas? Sudahkah aku menjadi manusia yang pantas menerima “domba surga” itu?
Qurban bukan sekadar peristiwa masa lalu. Ia adalah cermin untuk kita melihat kembali siapa yang selama ini kita sembah—Allah, atau harta? Tuhan, atau tahta? Agama, atau gengsi?
Ismail tidak disembelih. Tapi dunia kita yang terus berdarah. Mungkin karena kita belum cukup ikhlas. Belum cukup percaya bahwa melepaskan bukan berarti kehilangan, melainkan menemukan yang sejati.
Dan di saat dunia menggigil karena haus kasih sayang, kisah ini kembali mengetuk hati kita, membisikkan satu pesan abadi: Jika engkau mencintai Tuhan sepenuh hati, maka segala yang engkau cintai akan dikembalikan padamu dalam bentuk yang lebih indah dan abadi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.