Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ANDI PERDANA

Di Balik Proyek Giant Sea Wall: Siapa Diuntungkan, Siapa Dikorbankan

Agama | 2025-06-04 17:18:13

Proyek Giant Sea Wall (GSW) yang dibangun di pesisir utara Jakarta telah menjadi ikon ambisi pembangunan berskala besar di Indonesia. Pemerintah menyampaikan bahwa proyek ini merupakan solusi untuk dua ancaman serius yang dihadapi Jakarta: banjir rob yang kian sering melanda dan penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah berlebih. Dari sisi teknis dan ekonomi, proyek ini tampak menjanjikan melibatkan teknologi rekayasa mutakhir serta menjanjikan potensi investasi dan pengembangan kawasan ekonomi terpadu. Namun, di balik narasi pembangunan tersebut, muncul sederet persoalan mendasar yang menyentuh aspek sosial, lingkungan, dan tata kelola yang berkeadilan.

Masyarakat pesisir, khususnya para nelayan di wilayah Muara Angke, Marunda, dan Kalibaru, justru menyuarakan keresahan. Mereka merasakan dampak langsung berupa penurunan hasil tangkapan ikan, terganggunya akses ke laut, serta pencemaran perairan akibat aktivitas konstruksi dan reklamasi. Bagi banyak dari mereka, laut bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas budaya dan kehidupan sehari-hari. Ketika ruang hidup mereka terdesak oleh betonisasi dan proyek properti elite yang menjadi bagian dari GSW, maka yang terjadi bukan hanya pergeseran fungsi ruang, melainkan penghilangan hak hidup masyarakat akar rumput.

Lebih dari itu, proses perencanaan proyek juga disorot karena minim partisipasi publik yang bermakna. Meski proyek ini berdampak langsung pada jutaan warga, konsultasi dengan masyarakat kerap bersifat formalitas. Menurut survei Kompas (2025), lebih dari separuh warga menilai proyek ini menguntungkan investor dan pengembang properti, bukan rakyat. Hal ini menimbulkan ketimpangan yang tajam sementara nilai properti di kawasan reklamasi melonjak, masyarakat pesisir justru kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan.

Aktivis lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat seperti Walhi dan Greenpeace juga memperingatkan bahwa proyek ini berpotensi memperparah degradasi ekosistem laut di Teluk Jakarta yang sudah mengalami tekanan berat. Risiko abrasi, hilangnya area tangkap ikan, dan terganggunya biodiversitas laut adalah dampak yang tidak bisa diabaikan. Bila kerusakan ekologis ini terjadi, maka bukan hanya nelayan yang terdampak, melainkan juga ketahanan pangan perkotaan secara keseluruhan.

Dengan demikian, proyek GSW tidak bisa hanya dilihat sebagai upaya teknokratis membendung air laut. Ia telah menjelma menjadi medan tarik-menarik antara kepentingan kapital dan keberlanjutan hidup masyarakat marjinal. Jika tidak dikelola dengan prinsip keadilan sosial dan ekologis, maka proyek ini berisiko melanggengkan ketimpangan struktural dalam wajah baru yang lebih mengilap. Maka pertanyaan krusial pun mencuat: apakah kita benar-benar sedang membangun kota yang tahan iklim dan ramah bagi semua, atau hanya sedang menyelamatkan aset dan modal dari dampak perubahan iklim?.

Dari sudut pandang Islam, pembangunan semestinya bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi atau keuntungan modal. Islam meletakkan prinsip al-‘adl (keadilan) dan maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum) sebagai landasan moral dalam seluruh bentuk kebijakan publik. Ketika proyek sebesar Giant Sea Wall dijalankan dengan dominasi perspektif kapitalistik, tanpa mempertimbangkan nasib nelayan, keberlanjutan lingkungan, serta keterlibatan masyarakat, maka pembangunan semacam ini kehilangan legitimasi etis. Islam juga menekankan pentingnya syura (musyawarah) dalam proses pengambilan keputusan. QS. Asy-Syura ayat 38 menyebutkan bahwa kaum beriman adalah mereka yang memutuskan urusan bersama melalui musyawarah. Maka, kebijakan sebesar ini seharusnya bukan hasil kesepakatan elite dan investor semata, melainkan keputusan yang melibatkan suara umat secara luas.

Solusi Islam terhadap persoalan seperti GSW tidak hanya melirik pembangunan infrastruktur semata melainkan menawarkan transformasi cara pandang: dari pembangunan yang eksploitatif menuju pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pemerintah perlu menghentikan pendekatan top-down dan mulai menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan.

Beberapa langkah konkret dapat ditempuh: melakukan audit ekologis independen terhadap seluruh dampak lingkungan yang mungkin timbul; menyelenggarakan forum musyawarah terbuka yang menghadirkan masyarakat pesisir dan komunitas nelayan secara aktif; serta merancang ulang proyek dengan mempertimbangkan keberlangsungan sosial dan ekosistem laut. Dalam pandangan Islam, pembangunan itu sejatinya bukan hanya menahan air laut dari masuk ke daratan, melainkan menjaga agar keadilan tidak tersapu oleh gelombang ketimpangan. Sebab itu, pembangunan yang luhur bukan hanya membangun kota, tetapi membangun peradaban mulia dengan Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image