Aku Tak Membebaskan Diriku: Tafsir Nafsu dari Kisah Yusuf
Cantik | 2025-06-03 18:08:08
Ada suatu masa dalam hidup seorang manusia, ketika dirinya diuji bukan oleh penderitaan, tapi oleh godaan. Bukan oleh kekurangan, tapi oleh kelimpahan. Dan bukan oleh musuh, tapi oleh dirinya sendiri. Inilah medan paling sunyi dari pertarungan batin: ketika yang kita hadapi bukan orang lain, melainkan sisi gelap dari jiwa kita sendiri.
Dan di antara kisah yang paling memesona dalam al-Qur'an—bukan hanya karena keindahan sastranya, tapi juga kedalaman jiwanya—adalah kisah Nabi Yusuf 'alaihissalam. Di dalamnya, Allah menghamparkan kepada kita bukan hanya cerita tentang pengkhianatan dan keadilan, tapi juga tentang syahwat, harga diri, dan cahaya yang membelah kegelapan.
Di tengah rumah yang sunyi dan pintu-pintu yang terkunci, seorang wanita dari kalangan elit—istri seorang pembesar Mesir—menggoda Yusuf. Tidak dengan kekerasan, tapi dengan kelembutan yang membius. Tidak dengan ancaman, tapi dengan janji yang samar. Dan Yusuf, muda dan tampan, sendiri dan tak berdaya secara sosial, berdiri di tepi jurang antara kehormatan dan kejatuhan.
Namun Yusuf memilih cahaya. Ia berkata, "Aku berlindung kepada Allah." Sebuah kalimat yang pendek, tapi cukup untuk meruntuhkan benteng syahwat dan membungkam hasrat yang bergejolak. Dan dalam momen itulah, kita melihat bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada pukulan, tapi pada penahanan diri. Bukan pada apa yang dilakukan, tapi pada apa yang ditahan untuk tidak dilakukan.
Al-Qur'an menyingkap sesuatu yang sangat dalam: "Sungguh wanita itu telah berkehendak terhadapnya, dan Yusuf pun hampir berkehendak kepadanya, seandainya ia tidak melihat bukti dari Tuhannya." (Yusuf: 24) Yusuf bukan malaikat. Ia manusia, dengan darah dan daging, dengan gairah dan godaan. Tapi ia menang karena ia memiliki sesuatu yang banyak dari kita lupakan: rasa malu kepada Allah.
Dan ketika akhirnya kebenaran tersingkap, sang wanita tidak membela dirinya. Ia justru berkata, dengan kejujuran yang menakjubkan: "Aku tidak membersihkan diriku sendiri. Sesungguhnya nafsu itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku." (Yusuf: 53)
Inilah puncak refleksi dari kisah ini. Kalimat wa mā ubarri'u nafsī bukan sekadar pengakuan dari istri Al-‘Azīz, melainkan gema dari setiap hati manusia yang sadar bahwa di dalam dirinya ada potensi jatuh, potensi gelap, dan potensi maksiat. Ia adalah kalimat yang hanya bisa lahir dari jiwa yang telah dihantam realitas dan memilih untuk jujur.
Ini bukan sekadar pengakuan personal. Ini adalah potret jiwa manusia. Bahwa kita semua membawa bara dalam dada kita. Nafsu itu tidak jahat pada dirinya. Ia adalah tenaga. Ia adalah api. Dan api, jika diarahkan, bisa menjadi cahaya. Tapi jika dibiarkan, ia akan membakar semua nilai yang kita perjuangkan.
Wanita tidak lebih bernafsu dari pria, dan pria tidak lebih suci dari wanita. Yang membedakan bukan jenis kelamin, tapi siapa yang memegang kendali. Siapa yang memberi tempat kepada Allah di hatinya.
Maka, jika Yusuf mampu menjaga dirinya di tengah godaan yang nyata, itu karena ia melihat cahaya. Ia melihat burhān rabbih—bukti Tuhannya. Dan di zaman ini, ketika godaan datang dari layar yang menyala, dari suara yang membelai telinga, dari gambar dan ajakan yang tak berhenti mengetuk mata dan telinga kita—maka kita pun hanya bisa selamat jika masih ada cahaya dalam dada.
Cahaya itu bukan hasil ceramah. Ia adalah hasil pertemuan yang jujur dengan Allah dalam sunyi. Seperti Yusuf dalam penjara, kita pun harus berani berkata, "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada apa yang mereka ajak aku kepadanya."
Dan pada akhirnya, kemenangan tidak selalu berarti naik tahta. Tapi cukup jika kita bisa mempertahankan kehormatan di tengah badai. Seperti Yusuf. Yang tidak hanya menaklukkan godaan, tapi juga menaklukkan dirinya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
