Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sarah Sahilah

Ketika Cinta tidak Membebaskan

Sastra | 2025-06-03 16:41:22

Di tengah berkembangnya zaman yang bergerak menuju modernitas, ketika gedung-gedung mulai meninggi dan organisasi perempuan mulai bersuara, cinta justru kehilangan ruang untuk hidup bebas. Armijn Pane dalam novelnya yang klasik, Belenggu, tidak menampilkan cinta sebagai sesuatu yang membebaskan, melainkan sebagai luka yang tak kunjung sembuh. Lewat kisah segitiga antara Sukartono, Sumartini, dan Rohayah, Belenggu memperlihatkan pergulatan batin manusia modern yang hidup dalam bayang-bayang norma sosial. Norma yang tak tertulis, namun begitu kuat mencengkeram.

Antara Perempuan Modern dan Rumah Tangga Tradisional

Sukartono adalah dokter muda yang sukses secara karier. Ia menikah dengan Sumartini, sosok perempuan modern yang aktif dalam pergerakan sosial. Namun rumah tangga mereka tidak berjalan sebagaimana mestinya. Alih-alih saling memahami, keduanya justru terjebak dalam ekspektasi yang saling bertabrakan. Tini membawa semangat kemajuan dan emansipasi, tetapi dunia rumah tangga menuntutnya untuk menjadi istri yang lembut dan penuh perhatian. Ia terseret dua arus: menjadi warga negara yang aktif sekaligus istri tradisional. Sayangnya, keduanya jarang berjalan seiring.

Sementara itu, Sukartono merasa hampa. Ia tidak menemukan kehangatan yang ia cari dalam pernikahan. Kekosongan itu membuatnya jatuh hati pada Rohayah, perempuan dengan masa lalu yang dianggap “tidak pantas” oleh masyarakat, tetapi justru memberinya rasa tenteram. Namun cinta ini juga tidak bisa tumbuh dengan bebas, karena masyarakat menolaknya. Bukan karena kurang cinta, tetapi karena cinta itu lahir dari luar batas norma.

Norma Tak Kasat Mata yang Mengikat

Dalam Belenggu, tekanan sosial tidak hadir sebagai hukum, tapi sebagai tatapan, bisik-bisik, dan penilaian diam-diam. Sukartono tak berani memilih dengan jujur, karena tahu pilihannya akan dianggap salah. Sumartini pun tidak benar-benar diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Ia dicela karena tak memenuhi bayangan masyarakat tentang “istri ideal”. Yang salah bukan cinta, tapi sistem yang membuat cinta menjadi sulit diperjuangkan. Armijn Pane dengan tajam menunjukkan bahwa yang paling menyakitkan bukan kehilangan cinta, melainkan ketidakberdayaan untuk memperjuangkannya.

Pengunduran Diri yang Sunyi

Konflik dalam novel ini tidak meledak dalam pertengkaran besar, tapi berakhir dengan keheningan. Tini memilih pergi ke Surabaya, mengejar hidup yang ia anggap lebih berarti. Rohayah kembali ke luar negeri, melanjutkan pekerjaannya. Keduanya meninggalkan Sukartono dalam kesendirian, sunyi, namun penuh makna. Belenggu tidak memberi akhir bahagia. Namun justru di situlah letak kekuatannya. Ia menyajikan kenyataan pahit, bahwa di tengah kemajuan fisik dan intelektual, masyarakat belum tentu siap memberi ruang bagi cinta yang jujur.

Relevan hingga Hari Ini

Meski ditulis pada 1940, Belenggu tetap terasa relevan hari ini. Cinta masih sering harus berkompromi dengan norma. Perempuan masih kerap dituntut menjalankan peran ganda yang saling bertabrakan. Dan keputusan pribadi masih sering dibungkam demi menjaga “wajah” di depan masyarakat. Lewat Belenggu, Armijn Pane mengingatkan kita bahwa cinta bisa mati bukan karena berhenti merasakan, tapi karena dunia menolak memberinya tempat. Ini bukan sekadar kisah cinta segitiga, tapi potret manusia modern yang masih mencari jalan untuk mencintai tanpa rasa bersalah.

Menemukan Jalan Tengah: Cinta, Nilai, dan Ketulusan

Dalam sudut pandang spiritual, cinta sejati seharusnya tidak hanya berlandaskan perasaan, tetapi juga pada kejujuran, tanggung jawab, dan nilai kebaikan yang universal. Sebagaimana dalam ajaran agama, cinta yang sehat bukanlah yang mengorbankan prinsip, tetapi yang tumbuh dalam keikhlasan dan keadilan. Belenggu mengingatkan kita, bahwa ketika cinta dipaksa menyesuaikan diri dengan dunia yang belum matang secara moral, maka ia akan terbelit oleh kebimbangan. Maka dari itu, penting bagi kita untuk terus merawat nilai-nilai luhur dalam menjalin hubungan, agar cinta tidak hanya bertahan, tetapi juga menuntun pada kebaikan dan kemuliaan bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image