Menjadikan Pontianak Kota Toleran Melalui Raperda Toleransi
Guru Menulis | 2022-03-05 12:09:37Suar Asa Khatulistiwa bersama Jaringan Pontianak Bhineka dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Pontianak mengadakan diskusi forum secara hybrid. Diskusi forum tersebut bertemakan “Urgensi Ranperda Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat di Kota Pontianak” di Warung Dangau.
Berbagai organisasi anak muda, masyarakat sipil, paguyuban, seniman dan pegiat sejarah ikut hadir dalam forum diskusi tersebut sebagai bentuku dukungan Ranperda. Adapun pembahas pada forum diskusi tersebut K.H. Abdul Syukur,S.K sebagai ketua FKUB Kota Pontianak, Edi Kamtono,M.,M.T sebagai walikota Pontianak, M.Fadhil, S.H.,M.H sebagai Akademisi IAIN Pontianak dan Ivan Wagner sebagai Akademisi Universitas Panca Bhakti (UPB) dan tergabung dalam Jaringan Pontianak Bhineka. Kota Pontianak sebagai dengan penduduk yang beragam identitas, maka Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) akan menjadi suatu kebijakan untuk merayakan toleransi di Kota Pontianak.(02/03).
Sebagai pembuka diskusi, Sri Wartati sebagai Ketua Pengurus Harian Yayasan Saka menyampaikan sambutan melalui zoom karena masih harus isolasi mandiri (isoman). Sri menyampaikan bahwa yayasan saka mendorong adanya diskusi forum tersebut dengan melibatkan berbagaia organisasi masyarakat untuk mensosialisasikan draft Ranperda. Yayasan Saka bersama Jaringan Pontianak Bhineka dan FKUB Kota Pontianak merancang draft ranperda dengan latar belakang masyarakat Pontianak yang kompleks sehingga akan memicu pembangunan kota metropolitan di Indonesia.
“Walaupun kota Pontianak banyak keberagaman atau identitas masyarakat yang ada, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kerentanan konflik akan mencapai tingkat sensitifitas. Maka perlu penyelenggraan toleransi untik membangun kermajuan di Kota Pontianak dengan label kota toleran. Saya dan kita semua tengtunya berharap bahwa Ranperda ini disetujui bahwa Pontianak akan menjadi kota yang toleran” Jelas Sri.
Selanjutnya, Abdul Syukur sebagai ketua FKUB Kota Pontianak menyampaikan bahwa FKUB Kota Pontianak punya mimpi besar dalam mewujudkan Pontianak sebagai rumah bersama bahkan menjadi kota aman nyaman dan damai (ANDA). Rancangan peraturan daerah yang urgensi menjadi sebuah peraturan daerah tersebut akan mengatur secara khusus daerah mengatur dirinya. Syukur menyebutkan bahwa kota Pontianak ahli dalam banyak konflik dan miskin penyelesaian sehingga ranperda hadir sebagai solusi.
“Melihat betapan banyak keanekaragaman agama, suku, budaya, watak, dan lain-lain di kota Pontianak akan menciotakan konflik apabila tidak dikelola. Tantangan dan tuntutan zaman yang semakin maju apabila tidak dipagari akan berpeluang adanya konflik. Kemudian masuknya ideologi dan tata nilai yang berlaku di negara dan masyarakat akan berpengaruh pada kehidupan sosial akibat masuknya tata nilai dari luar. Menjaga kearifan lokal harusnya dengan tidak menghilangkan musyawarah. Maka ranperda akan menjadi panduan hidup bermasyarakat dengan konsekuensi otonomi daerah yang memiliki ciri khas tiap daerah.” jelas Syukur.
Syukur juga menyebutkan tujuan penyusunan ranperda sebagai tata aturan pergaulan bermasayarakat agar tercipta masyarakat yang ramah toleransi. Adapun tantangan yang disebutkan Syukur ialah memerlukan dukungan legislatif, DPR dan masyarakat untuk mewujudkan Kota Pontianak sebagai rumah bersama agar selalu didukung dan dijaga.
“FKUB Kota Pontianak akan melayani masyarakat untuk mendorong kota Pontianak sebagai kota toleran.” Tegas Syukur.
Selanjutnya, walikota Pontianak Edi hadir dalam forum diskusi yang menyampaikan bahwa proses ranperda menjadi perda melaluib pemerintah kota kemudian diinisiasi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai peraturanbyang bersifat positif. Sejak reformasi, politik menarik isu agama dan suku sebagai black campanye sehingga urgensi dari ranperda ini menjadi kebijakan yang akan membantu kehidupan masyarakat menjadi toleran.
“Ranperda atau nanti sudah menjadi perda tidak semestinya menjadikan segalanya bebas sehingga sarana komunikasi antar paguyuban maupun ormas harus terus menjalankan forum-forum seperti ini untuk memudahkan pengerjaan masalah hukum sehingga mampu menciptakan intoleran dan toleran dalam masyarakat madani.” jelas Organ
Fadhil, sebagai akademisi IAIN Pontianak menyebutkan bahwa secara hakikat toleransi adalah manifestasi hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai diantara keragamaan yang ada. Toleransi memiliki tingkatan sebagai berikut; Praktik penerimaan pasif, Ketidakpedulian yang lunak pada Perbedaan, Rekognisi terhadap perbedaan, Keterbukaan dan saling pengertian, Konsep pembiaran oleh mayoritas kepada minoritas, Koeksisten demi mencapai tujuan kedamaian dan kepentingan bersama, meskipun masih dalam tahap pragmatis, konsep penghormatan atas perbedaan yang berpijak pada landasan moral maupun kesetaraan hukum serta Rekognisi sebagai tuntutan moral tertinggi atas konsep penghormatan. Selain itu ada juga prinsip toleransi yang terdiri dari; Prinsip tanpa kekerasan, Prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap segala perbedaan, Prinsip keadilan dan non diskriminasi, Keterbukaan terhadap tafsir kebenaran dengan dialog, Memperlakukan orang lain secara setara dan Komitmen penyelesaian konflik secara damai, kreatif, dan beradab.
Adapun landasan kebijakan seperti Landasan Filosofis (filosofische grondslag), terdapat Pancasila sebagai epistemologi Pancasila merupakan Teo-antroposentris UUD 1945 (Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (4), Pasal 28J ayat (1), Pasal 29 ayat (2)), Bhineka tunggal ika secara ontologis merupakan khazanah yang lahir dari pandangan hidup kenusantaraan dan pembanguna berkelanjutan yang tertuang dalam dokumen SDGs, terutama dalam membangun tata kota yang inklusif sebagaimana goal 11.
“Pada dimensi filosofis, konflik sering terjadi antara cara pandang atau penfasiran mengenai kebenaran, analisis Centore mengenai “relativisme absolut dan absolutisme relatif” penting untuk menjawab fenomena tersebut. Selain itu, analisis Forst mengenai “Ambivalensi Toleransi” juga tepat untuk menilai konflik dalam realitas toleransi an sich” jelas Fadhil.
Landasan Sosiologis (sociologische grondslag), Pada dimensi sosiologis, konflik terjadi sebagai suatu fakta empiris dan bagian dari diskursus sejarah. Analisis Forst mengungkap ketegangan itu antara “rasionalisasi hegemonial Vs rasionalisasi moralitas”. Martin Buber dan Emanuel Levinas menekankan pendekatan dialog dalam mereduksi tensi ketegangan, Syahbudi menekankan pentingnya dialog dibangun dalam kerangka Pancasila. Landasan Yuridis (yuridische grondslag) membahas peratuuran-peraturan dalam UUD atau Peraturan pemerintah, dan sebagainya.
“Terdapat 3 phase dalam ranperda ini. Phase 1 Ranperda Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat sangat urgen bagi masyarakat sipil Kota Pontianak dengan penekanan pada restorative justice. Kemudian pada phase 2 Mengefektifkan peran FKUB dan partisipasi masyarakat sipil dalam dialog keberagaman serta deregulasi kebijakan yang diskriminatif dan pada phase 3 Proyeksi pengarusutamaan Kota Pontianak Ramah HAM yang inklusif serta berfokus pada pelayanan publik yang setara, adli, dan bermartabat. Saya mendukung penuh pengesahan ranperda penyelenggaraan toleransi kehidupan bermasyarakat di Kota Pontianak.”tegas Fadhil.
Penyampain materi terakhir oleh Ivan sebagai akademisi UPB Pontianak sekaligus yang ikut tergabung dalam Jaringan Pontianak Bhineka. Ivan menyampaikan Konsideran Menimbang; Landasan Filosofis: bahwa pemerintah Kota Pontianak merupakan bagian dari sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Landasan Sosiologis: bahwa Kota Pontianak memiliki keberagaman suku, ras, agama, golongan, dan sosial ekonomi yang menjadi keunikan dan modalitas budaya sosial sekaligus mempunyai potensi terjadinya konflik sosial yang dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum; Landasan Yuridis: bahwa untuk mengurangi potensi terjadinya konflik sosial dan memaksimalkan keunikan dan modalitas budaya sosial di Kota Pontianak sebagaimana dimaksud huruf b, perlu upaya penyelenggaraan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
Ivan juga menyampaikan Konsideran Mengingat; Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimatan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Darurat Nomor 21 Tahun 1958 Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor. 9 Tahun 2015 tentang perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bagian kedua bab 1 membahas pengertian organisasi masyarakat, komunitas dan korban. Organisasi Masyarakat adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan dan/atau kemanusiaan yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan nonpartisan, yang mempunyai kepedulian terhadap Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Komunitas adalah sekelompok orang yang mempunyai kepedulian dan melakukan inisiasi dalam Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Korban adalah seseorang dan/atau sekelompok orang yang mengalami kerugian dan/atau penderitaan akibat Tindakan Intoleransi.
Selanjtnya bab 1 bagian ketiga membahas Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup Ranperda. Maksud; Pedoman bagi Pemerintah Daerah, FKUB, FPK, Organisasi Masyarakat, dan Komunitas dalam Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat di Daerah. Tujuan; memelihara keberagaman di Daerah sebagai keunikan dan modalitas sosial budaya yang merekatkan persatuan dan kesatuan Masyarakat di Daerah, mencegah Intoleransi yang berpotensi mengakibatkan terjadinya konflik sosial dan ekstrimisme berbasis kekerasan dan mewujudkan tatanan kehidupan bermasyarakat yang aman, sejahtera, adil, dan setara. Ruang lingkup; Pengelolaan Keberagaman, Pencegahan Intoleransi dan Penanganan Dampak Intoleransi.
Bab 2 membahas pengelolaan keberagaman. Bagian satu Umum, bagian kedua Rencana Pembangunan Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, bagian ketiga Pelestarian Keberagaman di Masyarakat dan bagian keempat Pengembangan Dialog Antarmasyarakat.
Bab 3 membahas pencegahan intoleransi pada bagian kesatu membahas umum, bagian kedua Pembangunan Karakter Masyarakat yang Toleran, bagian ketiga pendidikan dan pelatihan, bagian keempat penanggulangan Tindakan Intoleransi dan bagian kelima peningkatan kewaspadaan potensi konflik.
Bab 4 membahas penanganan dampak toleransi yang terdiri dari 3 bagian yaitu umum, Pelindungan Korban dan Pemulihan Situasi akibat Tindakan Intoleransi.
Bab 5 membahas perasn serta masyarakat Pengelolaan Keberagaman, Pencegahan Intoleransi, dan Penanganan Dampak Intoleransi. Peran serta Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: kontribusi tenaga, waktu, pemikiran, dan sumber daya dalam Pengelolaan Keberagaman, Pencegahan Intoleransi, dan Penanganan Dampak Intoleransi;berpartisipasi aktif dalam Pengelolaan Keberagaman, Pencegahan Intoleransi, dan Penanganan Dampak Intoleransi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah; dan berinisiatif menyelenggarakan aktivitas sosial kemasyarakatan yang mendukung pencapaian tujuan Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
Bab 6 membahas penghargaan, Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan kepada Masyarakat, Organisasi Masyarakat, lembaga pendidikan, dan dunia usaha yang memiliki kontribusi terhadap keberhasilan Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: piagam atau sertifikat; lencana atau medali kepedulian; dan/atau insentif. Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab 7 membahas Pendanaan, Pendanaan Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat bersumber dari: Angggaran Pembiayaan dan Belanja Daerah; dan sumber lain yang sah, tidak mengikat, dan sesuai peraturan perundang-undangan.Perangkat Daerah mengalokasikan pendanaan untuk Penyelenggaraan Toleransi dalam kehidupan bermasyarakat sesuai tugas dan fungsinya.
Bab 8 membahas pembinaan, pengawasan dan pengendalian, Walikota melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap Penyelenggaraan Toleransi dalam Kehidupan Bermasyarakat. Secara teknis dilaksanakan oleh Perangkat Daerah sesuai tugas dan fungsi yang dikoordinasikan oleh Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang kesatuan bangsa dan politik.
Bab 9 membahas penutup sebagai Penjelasan penetapan pelaksanaan Ranperda.
“Kita harus bersama-sama membangun kota pontianak sebagai rumah bersama untuk melakukan pelestarian kebergaman di masyarakat” tutup Ivan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.