Di Balik layar mode OFF-CAM saat Pembelajaran Daring
Eduaksi | 2022-03-03 16:53:16Pasca viral terkait perbuatan tidak senonoh mahasiswi dengan pasangannya (Republika Online/01/03/2022, yang tervideokan melalui layar aplikasi zoom, ratusan analisa dan komentarpun merebak. Inilah geger dalam dunia pendidikan Indonesia, yang tidak bisa didiamkan begitu saja, ketika meyakini bahwa proses pendidikan bukan hanya ditujukan untuk mengisi kepala peserta didik dengan hafalan, namun juga membangun akhlak, etika dan peradaban umat manusia.
Satu hal yang pasti bahwa inilah dampak ataupun implikasi yang sulit dihindarkan ketika proses belajar mengajar dilakukan secara jarak jauh menggunakan aplikasi tertentu. Ketersedian fitur untuk membuka ataupun menutup kamera pada saat proses komunikasi jarak jauh berlansung, ternyata menimbulkan mudharat yang sulit dibayangkan sebelumnya.
Mau tidak mau, inilah perbedaan utama antara pembelajaran tatap muka lansung dengan tatap maya. Pada proses pembelajaran tatap maya, sejumlah pihak (dalam hal ini para pembelajar) dapat memilih untuk menutup diri dari lawan bicaranya, ataupun dari peserta forum lainnya. Hal ini jelas menimbulkan perbedaan signifikan dari proses belajar tatap muka langsung, dimana sang pengajar dapat mengamati langsung gerak gerik siswa/mahasiswanya, apakah sedang memperhatikan atau tidak.
Pada pembelajaran daring, atau ketika menggunakan aplikasi komunikasi jarak jauh, maka sang Guru/Dosen/Pendidik seakan “tidak berdaya” untuk dapat memberikan pembelajaran tatap muka. Seringkali ia seakan berbicara dengan layar perangkat elektroniknya, atau secara sarkasme dapat dikatakan bahwa ia berbicara dengan tembok. Belum lagi ketika para pembelajar sangat minim respon dan dapat tidak menyahut ketika dipanggil. Para pembelajar yang berada di balik gadget-nya, menutup layarnya sehingga bebas melakukan apa saja tanpa dapat dipantau oleh sang pengajar.
Maka, terdapat perbedaan psikologis yang signifikan, bagi pengajar yang biasa melakukan proses komunikasi pembelajaran di depan kelas (tatap muka), dan dibalik layar. Sungguh berat membangun komunikasi interaktif dua arah, berusaha membaca tingkat pemahaman para pembelajar maupun mendinamiskan proses belajar. Sungguh sulit untuk membangun suasana pembelajaran aktif (active learning) dan komunikasi dua arah (two way communication) sebagaimana banyak diungkap oleh teori-teori pendidikan. Hal ini disebabkan karena seakan-akan sang pengajar berbicara sendirian menghadap tembok.
Ragam upaya untuk mendorong para pembelajar untuk membuka kameranya, sehingga terlihat hadir penuh jiwa dan raga saat sesi belajar berlangsung sudah diupayakan. Namun demikian, karena berempati dengan alasan “maaf Pak/Bu, sinyal saja jelek, jadi tidak bisa on-cam (membuka kamera), maka sang Pendidik sudah mati langkah. Ia pun harus terus melanjutkan proses belajarnya dengan seakan-akan sedang melakukan pembicaraan via telepon (tidak tatap muka). Inilah tantangan nyata dunia pendidikan yang harus dihadapi, dan tidak mungkin dihindari. Inilah pekerjaan rumah besar dari bangsa ini untuk membangun generasi yang cerdas sekaligus bermoral mulia.
Urgensi Etika
Sejatinya, menampilkan diri saat proses belajar mengajar, adalah salah satu bentuk etika dan sopan santun dari murid ke gurunya. Melalui cara ini, siswa menunjukkan bahwa dirinya hadir secara jiwa dan raga, serta siap mengikuti seluruh rangkaian pembelajaran dengan baik. Maka, cukuplah peristiwa ini menjadi pembelajaran buat semua. Walaupun mungkin saja fenomena ini adalah seperti gunung es, namun demikian diharapkan semua pihak dapat mengambil pelajaran untuk tetap berada dalam koridor tuntunan agama, yaitu menghormati guru/pendidik dan menghindari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Bagi para pendidik, janganlah lelah untuk terus memberikan edukasi akhlak dan etika, karena sejatinya adab dan akhlak harus hadir sebelum ilmu, agar pembelajaran yang dilakukan mendapatkan berkah dan kebaikan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Sekali lagi, bagi para pendidik, jangan lelah untuk mendidik generasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.