Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Masruhin Bagus

Belajar Kecerdasan Emosional dari Nabi Dzulkifli

Agama | 2022-03-02 10:07:12
Jangan marah [illustration source; pixabay.com)

Bukanlah seorang nabi dan rasul jika mereka tidak memiliki perangai dan kecerdasan melebihi umat yang lainnya. Mereka diberi kemuliaan akhlak dan kecerdasan emosi yang luar biasa. Dan jika kita tilik kembali kisah-kisah para nabi, saya bisa mengatakan bahwa hampir semua nabi memiliki sifat yang paling dominan setelah kecerdasan spiritual yaitu kecerdasan emosi (emotional quotient).

Dalam tulisan ini saya akan mencoba sedikit mengurai inti dari kecerdasan emosional para nabi. Pada intinya, para nabi memiliki kecerdasan mengelola emosi, mampu menampilkan kecakapan pribadi maupun antar pribadi. Dengan kemampuan mengendalikan dan mengelola emosi dengan baik, kita akhirnya mengenal para nabi yang pemaaf, yang sabar, yang teguh pendirian, yang adil, yang penyayang, dan lain-lain. Dan semua itu merupakan kecerdasan emosi (emotional quotient) dalam wujud sifat atau akhlak seorang nabi.

Lebih lanjut, kita mengenal berbagai tipologi manusia, misalnya ada orang yang sangat pemalu disamping yang tidak tahu malu, yang penakut, disamping yang pemberani, yang sangat perasa disamping yang sudah mati rasa atau tidak berperasaan, yang pemarah disamping yang penyabar. dan sebagainya. Jika kecerdasan intelektual bisa diasah, demikian juga kecerdasan emosi dapat dirangsang. Kecerdasan emosi ditandai dengan kemampuan pengendalian emosi ketika menghadapi kenyataan yang menggairahkan (menyenangkan, menakutkan, menjengkelkan, memilukan, dan lain sebagainya). Kemampuan pengendalian emosi itulah yang disebut sabar, atau sabar merupakan kunci kecerdasan emosional.

Lalu, nilai pembelajaran apa dari sosok Nabi Dzulkifli?

Pembelajaran Pertama, Orang tua yang sabar melahirkan anak yang sabar.

Dengan kata lain kesabaran orang tua akan ditiru oleh anaknya. Sebagaimana pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, atau peribahasa yang lain, air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Artinya sifat atau perangai orang tua dapat menurun ke anaknya. Jika orang tuanya memiliki sifat sabar, maka bisa jadi anaknya juga seperti itu. Proses menurunnya sifat orang tua ke anak, bisa jadi dikarenakan proses meniru atau bisa jadi faktor genetik. Tapi sebagaimana di atas sudah disampaikan bahwa kecerdasan emosi seseorang dapat diasah dan dirangsang.

Dan siapakah Nabi Dzulkifli? Ada beberapa catatan yang mengatakan bahwa Dzulkifli adalah anak dari Nabi Ayub. Dengan demikian ia masih cucu Nabi Ibrahim. Dan kita tahu sifat dan keteladanan yang dimiliki dari Nabi Ayub adalah seorang nabi yang paling sabar. Saking sabarnya beberapa kisah mengatakan bahwa nabi ayub adalah diantara nabi yang paling sabar. Dan ternyata kesabaran dari nabi Ayub menurun pula pada putranya yaitu Dzulkifli. Kenapa demikian? Ya, bisa jadi karena Dzulkifli dibesarkan oleh Nabi Ayub dalam kondisi penuh kekuatan, ketabahan, dan kesabaran.

Kalau kita baca-baca sejarah tentang Nabi Dzulkifli, kita akan menemukan beberapa sosok seorang nabi yang patut diteladani, antara lain : kesabaranya, kesholihannya, tidak silau dengan kemewahan, dan merupakan sorang raja yang adil. Dan tidak banyak kisah nabi Dzulkifli disebutkan dalam Al Qur’an selain disebut sebagai nabi yang sabar, shalih dan baik. Dan merupakan keistimewaan dari Nabi Dzulkifli yang namanya disebutkan dalam Al Qur’an. Yaitu dalam surat Al Anbiyaa’ayat 85-86 dan Shad ayat 48. Dan (ingatlah) kisah Ismail, Idris dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka dalam Rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang salih. (Al Anbiyaa': 85-86)

Pembelajaran kedua, kesabaran sebagai kunci kecerdasan emosional.

Pengertian sabar adalah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan. Dalam agama, sabar merupakan satu diantara stasiun-stasiun (maqamat) agama, dan satu anak tangga dari tangga seorang salik dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Sabar ada tiga macam: sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi larangan Allah, dan sabar terhadap takdir Allah yang terasa pedih. Seorang hamba tidak berhak mendapat gelar sabar secara sempurna sampai terpenuhi ketiga macam sabar ini. Para nabi, Allah sebut sebagai orang-orang yang sabar karena mereka telah memenuhi ketiganya.

Selain itu, Allah mensifati mereka dengan kesalehan karena kesalehan hati mereka yang dipenuhi ma'rifatullah dan kecintaan kepada-Nya, kesalehan lisan mereka dengan basah menyebut nama-Nya, dan kesalehan anggota badannya karena sibuk mengerjakan ketaatan kepada Allah dan menjaga dirinya dari maksiat.

Karena kesabaran dan kesalehan inilah, Allah masukkan dengan rahmat-Nya dan menjadikan mereka bersama saudara-saudara mereka dari para rasul serta memberikan pahala di dunia dan akhirat. Kalau sekiranya, pahala mereka adalah dengan disebut tinggi namanya di alam semesta serta disebut baik sekali oleh orang-orang setelahnya, maka hal itu pun sudah cukup sebagai kemuliaan dan ketinggiannya. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image