Polemik Adzan dan Sebuah Konsekuensi
Info Terkini | 2022-03-01 17:58:45
Ummu Fatimah
Kaum muslimin kembali bergejolak, kali ini gejolak hadir justru dari petinggi negeri yang notabene bertitel agama. Argumennya terkait diaturnya adzan menjadi polemik hebat ditengah-tengah masyarakat. Pasalnya dalam argumennya terdapat diksi yang tidak pantas dalam menganalogikan adzan dengan suara lain yang tidak setara. Petinggi tersebut mengatakan bahwa pengaturan suara adzan hanyalah sebuah cara agar suaranya tidak mengganggu ketrentraman masyarakat khususnya yang berbeda agama. Atas dasar toleransi dan ketrentaman masyarakat atas hak kenyamanan public aturan tersebut dinilai wajar olehnya.
Polemik muncul setelah argument tersebut di saksikan oleh masyarakat. Berbagai kecaman muncul baik menyoroti aturannya secara langsung ataupun mengarah pada perbandingan analogi yang tidak selaras. Menilik dari berbagai opini serta penyampaian tokoh-tokoh public menanggapi hal ini. Bagaimana sebuah argument mampu membuat gejolak yang lura biasa di tengah-tengah umat Islam?
Konsekuensi
Seperti diketahui bersama bahwa dalam setiap pilihan yang diambil oleh manusia maka ada tanggung jawab atau konsekuensi yang harus dipertanggunkan. Untuk itu menjadi hal yang layak serta pantas pilihan akidah atau keyakinan yang telah dipilih oleh setiap individu mendorong serta mewajibkan dia terikat dengan berbagai konsekuensi yang ada. Hal ini pun terjadi pada diri seorang muslim. Ketika seseorang telah melantunkan dua kalimat syahadat yang bermakna ia telah meyakini Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan Muhammad sebagai utusan Tuhannya. Pilihan ini tentu menghadirkan konsekuensi, yaitu mencintai apa-apa yang Tuhannya ridhoi dan membenci apa-apa yang Tuhannya benci. Bentuk cinta ini secara otomatis akan terpancar dari dalam dirinya dengan nampaknya symbol-simbol Islam yang melekat padanya. Termasuk lantunan suara adzan.
Berdasarkan hal tersebut maka tidak heran jika terjadi suatu diksi bertendensi negative kepada symbol Islam seperti “mengganggu kenyamanan dan ketrentraman” menjadi hal yang mengusik hati kaum muslimin. Karena tendensi semacam itu telah bertentangan dengan apa yang mereka cintai dan mereka yakini. Otomatis gejolak terjadi tidak lama pasca petinggi negeri melontarkan argumennya. Pun, ketika ini dianggap sebuah respon yang berlebihan di masyarakat rasanya juga kurang elit. Mengapa? Karena gejolak penentangan yang terjadi faktanya begitu banyak, artinya kalimat serta aturan tersebut dinyatakan sebagai problem bagi masyarakat luas bukan kelompok atau bahkan individu. Berdasarkan hal ini juga muncul sebuah pertanyaan, bagaimana hal semacam ini bisa terjadi di tengah kondisi mayoritas penduduk negeri ini adalah kaum Muslim?
Sudut Pandang
Kecintaan terhadap symbol-simbol Islam yang mendalam pada dasarnya bukan tanpa sebab, akan tetapi dapat terjadi ketika seseorang telah memahami aqidah dengan benar yaitu sebuah pemahaman mendasar tentang alam semesta, dunia dan kehidupan baik sebelum dan sesudah penciptaannya serta hubungan antara pra penciptaan, jalannya penciptaan serta pasca penciptaan itu sendiri. Ketika Islam sebagai aqidah menjawab hal ini maka seorang muslim harusnya sadar bahwa ia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Rabbnya, yang mana kondisi ketika dia kembali sangat dipengaruhi bagaimana ia menjalani kehidupan di dunia. Untuk itu ia akan dengan sadar menjalankan hidup sesuai dengan apa yang diminta oleh Rabbnya. Baik dalam ranah ibadah maupun kehidupan bermasyarakat. Atas dasar aqidahnya juga yang mana ia percaya denga napa yang diyakini maka tidak heran jika syiar pada Islam menjadi hal yang penting. Salah satu syiar ini adalah adzan itu sendiri. Harapannya dengan adzan syiar Islam semakin membumi.
Sayangnya dalam konsep liberalisme atau kebebasan yang ada pada sistem Kapitalisme tidak merestui dibumikannya satu agama saja. Hal ini didasari oleh konsep kebebasan yang meyakini tidak adanya kebenaran mutlak termasuk dalam ranah agama. Sehingga ketika ada agama yang mencoba untuk membumikan ajarannya dengan massif hal ini merupakan suatu abnormalitas. Sehingga wajar ketika suatu negeri mengadopsi sistem kapitalisme liberal, aktivitas membumikan ajaran langit seolah menjadi perkara yang lebih besar dibandingkan perkara lain yang layak dan lebih pantas untuk segera diselesaikan seperti penanganan wabah, harga minyak goreng serta hal lain yang harusnya lebih disoroti oleh para pejabat publik.
Tidak ada wilayah abu-abu
Pada dasarnya akal manusia diciptakan untuk membedakan kebenaran dan kebatilan. Berdasarkan hal ini sebuah kewajaran jika tidak ada area abu-abu dalam hidup manusia atau kebenaran itu adalah hal yang mutlak adanya. Untuk itu anggapan semua pendapat atau bahkan semua agama benar menjadi sebuah argument yang perlu dianalisis lebih dalam keabsahannya, mengingat konsep ini tidak sesuai dengan daya yang dimiliki akal untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan bisa dikatakan bahwa konsep semua agama benar atau plurarisme yang digaungkan sehingga dominasi suatu agama tidak diperbolehkan dalam suatu wilayah merupakan hal yang batil.
Apalagi konsep ini tidak selaras dengan dua kalimat syahadat yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah. Jika konsep pluralisme ini diyakini maka otomatis membenarkan tuhan-tuhan yang lain. Bukankah ini bertentangan dengan syahadat itu sendiri? Apakah hal yang semacam ini tidak membahayakan aqidah kaum muslimin?
Sayangnya dalam sistem kapitalisme liberal konsep-konsep batil semacam ini terus diaruskan ditengah masyarakat. Efeknya kaum muslimin akan mentolerir konsep tersebut secara berlahan, kemudian jauh dari Islam. Sejarah telah membuktikan bahwa kriminalisasi adzan yang terjadi di Turki oleh Kemal Ataturk laknatullah mengakibatkan menurunnya pemahaman muslimin atas Islam itu sendiri. Akankah hal tersebut juga ingin kita lihat di negeri ini? Namun, jika sistem yang menaungi secara factual dan jelas telah bertenatangan dengan aqidah kaum muslimin, bukankah hal wajar jika mempertahankan aqidah adalah hal yang sangat sulit? Lalu akankah kita terus mau bertahan di dalam sistem ini? Tidakkah kita ingin Islam yang sempurna menaungi kita dengan sistem terbaiknya? Tanyakan pada hatimu, tenatng konsekuensimu pada Allah selaku Rabbmu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.