Pemburu Belalang yang Malang
Guru Menulis | 2022-02-28 22:37:50Pemburu Belalang yang Malang
Oleh : Giyoto
Rintik hujan sore itu, tak menyurutkan semangat dua bocah saudaraan walau tak sekandung. Sunar, saudara yang lebih tua dibanding Ganang adik sepupunya bergegas mengambil galah bambu seukuran tiga kali tinggi tubuhnya. Galah bambu menjadi pegangan wajib bila kita ingin berburu belalang. Sunar terlebih dulu berangkat menjemput Ganang yang rumahnya hanya dipisahkan kebun jagung.
"Nang, Ganang! Ayo kita berangkat!” , teriak Sunar dari kejauhan memanggil Ganang. Ganang yang sudah bersiap tak segera menyahut panggilan kakaknya itu. Ia takut akan didengar ibunya yang sedang sibuk di dapur. Ganang bergegas keluar rumah dari pintu samping menuju suara memanggil. Ia pun sudah siap dengan galah bambu kecil di pundaknya.
"Ayo Nang, kita segera berangkat, keburu gelap nanti!" Ajak Sunar. "Iya Mas, yuk segera berangkat." Sahut Ganang. Dua bersaudara itupun segera bergegas menuju ladang dan mulai petualangan sore itu.
Ganang dan Sunar berpencar mencari belalang di seputar ladang jagung. Mata mereka mengamati tiap pucuk pepohonan dan ujung pohon jagung yang dilalui. Setiap kali menemukan belalang, Ganang akan memukulkan galahnya ke arah belalang berdiam. Selanjutnya mengejarnya sampai tertangkap. Keuntungan berburu pada saat hujan ialah belalang tidak dapat terbang tinggi dan cenderung terbang rendah mencari tempat hinggap. Tak berapa lama mereka berdua sudah dapat menangkap puluhan ekor belalang. Belalang tangkapan mereka disatukan dengan ditusukkan lidi kelapa pada leher belalang. Satu batang lidi dapat menampung seratusan ekor belalang. Medan berburu mereka pun cukup menantang, selain penuh lebat pohon jagung, tak jarang Sunar dan Ganang harus melompati terasiring setinggi satu hingga dua meter. Namun, beratnya medan tak menyurutkan mereka. Dengan bertelanjang kaki, mereka berdua bahu membahu mencari dan mengejar belalang. Dua batang lidi sudah penuh belalang hasil buruan. Hujan pun tak kunjung reda, hari pun sudah mulai gelap karena hujan sejak siang itu membuat langit biru enggan menampakkan diri.
"Nang, ayo kita pulang! Sudah lumayan, nih!", ajak Sunar sambil berteduh di bawah pohon pisang. Ganang yang nampak kedinginan sambil memegang galah menjawab," Sebentar Mas, kita tambah lagi, Ya?" Mata Ganang tertuju pada pucuk pohon sengon. Ada dua ekor belalang yang sedang hinggap. Bergegas ia mengendap dan mengarahkan galahnya ke pucuk pohon. Praak ... Praaak. Dua ekor belalang terbang terpisah. Ganang melompat lincah berlari mengejar belalang yang terbang rendah. Beberapa tanggul yang berusun menurun ia lompati, matanya tak terlepas ke arah terbang si belalang. Pada saat yang bersamaan, Sunar pun masih berusaha mencari tambahan tangkapan. Ia juga berlari ke arah yang berbeda.
Ganang tak menghiraukan berapa kali sudah melompat, kaki lincahnya terus berlari memburu. Hingga ia menemukan si belalang masih hingap di dahan pohon singkong. Karena tubuh pendek Ganang tak mampu meraihnya, ia goyangkan pohon singkong agar belalang segera terbang. Ganang semakin jengkel ketika si belalang kembali terbang tinggi. Sejurus kemudian, Ganang mengejarnya tanpa menghiraukan hujan yang kian lebat. Mata Ganang sekejap melihat si belalang terbang rendah menuju pohon jambu monyet tepi ladang. Ganang pun mempercepat larinya. Gubraak! Tiba-tiba, pandangan mata Ganang gelap dan tak lama kemudian ia merasakan perih tak terperikan di atas bibirnya sebelah kiri. Darah segar mulai mengucur, seolah mau pingsan, Ganang menyumbat luka di wajahnya dengan kaosnya. Tubuhnya lemas terkulai, tak ia sadari telah menabrak cabang pohon jambu monyet tanpa mengerem sedikitpun. Luka menganga di bibir Ganang mengeluarkan darah dan sangat perih terkena air hujan. Belalang yang di kejar pun tak berhasil ia tangkap. Perasaan Ganang bercampur aduk antara jengkel, takut dan menahan sakit yang luar biasa. Beruntung bukan matanya yang terkena. Bila mata yang terkena tak bisa dibayangkan.
Ganang menyesal karena ajakan pulang kakaknya tak ia hiraukan. Perlahan ia mencari kakaknya membelah ladang jagung.
Sambil sesekali merintih menahan perih di atas bibirnya, ia memanggil Sunar,"Mas, tolong Mas! Kamu di mana?" Sunar yang sedari tadi juga mencari adiknya itu bergegas menuju suara memanggil.
"Nang, Kamu kenapa?", teriak Sunar. Sejurus kemudian, Sunar terbelalak, "Masya Alloh, kamu jatuh di mana?" Sunar terlihat panik melihat kaos Ganang yang memerah darah dan tangan Ganang masih menyumbat darah di mukanya. Ganang tak segera menjawab, ia masih merintih kesakitan. Hari mulai gelap dan hujan pun sudah mulai reda. Mereka berdua berteduh di sebuah bango tepi ladang.
"Nang, ayo kita segera pulang!' ajak Sunar. "Kalau kamu takut pulang, baiknya Kamu pulang ke rumahku dulu", imbuh Sunar.
Ganang menjawab,"Nggak mau, Mas! Aku pulang saja gak papa." Sambil membagi hasil tangkapan belalangnya Sunar bertanya lagi,"Kamu tadi jatuh di mana?"
Ganang menjawab,"Itu Mas, Aku menabrak cabang pohon jambu mete di bawah sana." Sunar menimpali, "Lain kali hati-hati, Kamu kan sudah Aku ajak pulang dari tadi."
Masih menahan rasa sakit, Ganang menjawab," Iya, Mas. Tapi tadi ku lihat belalang tangkapan kita belum banyak." Sunar tak melanjutkan dialog sore itu. Ia sibuk membagi tangkapan belalang.
"Nang, ini kamu bawa pulang." Ucap Sunar sambil menyerahkan dua batang lidi berisi penuh belalang. Ia hanya membawa pulang satu setengah batag lidi berisi belalang.
"Mas, kok punyaku lebih banyak?" tanya Ganang. "Nggak papa Nang, kasihan Kamu, sampai terluka kayak begitu." jawab Sunar. Mereka bergegas pulang ketika magrib menjelang.
"Terima kasih ya, Mas! Tapi jangan bilang-bilang kalau Aku jatuh, ya!" Ucap Ganang. "Beres, Nang!"jawab Sunar beranjak pergi menuju rumahnya.
Sepanjang perjalanan pulang, hati Ganang berkecamuk. Perasaan takut menghantuinya. Ia takut pulang dengan lukanya yang lumayan dalam. Kepergiannya pun tanpa seizin ibunya. Ketakutannya semakin menderu saat sampai di samping rumahnya terdengar suara bapaknya yang seolah memarahi ibunya. Ternyata bapaknya sudah mencari Ganang ke beberapa tetangga. Mengingat sore itu hujan turun sangat lebat. Galah bambunya ia letakkan perlahan di dekat kandang sapi. Bergegas ia masuk rumah melalui pintu dapur. Ia letakkan dua batang lidi penuh belalang di atas bale-bale bambu. Sambil menutupi luka sobek di bawah hidungnya, ia melepas baju dan mencucinya supaya ibunya tidak tahu kalau bajunya banyak darah. Sesaat kemudian, ibunya masuk ke dapur dan mendapati Ganang sudah di dapur.
"O alah, Le! kamu dari mana saja? Itu Bapakmu bingung mencarimu. Kalau mau pergi, mbok bilang!"gumam ibunya. Ibunya melanjutkan bicara,"Sana segera mandi, nanti habis maghrib ikut tahlil ke rumah Pakde Giyar."
Sejauh ini, ibunya belum mengetahui luka yang dialami Ganang.
"Mbok, maaf ya, Aku tadi berburu belalang dengan Mas Sunar." sahut Ganang sambil berbegas ke kamar mandi. Ganang menahan rasa sakitnya saat mandi. Terdengar suara bapaknya kembali membicarakannya bersama ibunya. Kedua orang tuanya tampak bersitegang dan marah pada Ganang. Sesekali ibunya melarang bapaknya untuk memarahi Ganang. Ganang semakin takut, apalagi jika bapak dan ibunya tahu kalau ia jatuh dan terluka.
"Nang, kamu kok lama sekali di kamar mandi?", tanya ibunya. Beberapa saat tak ada jawaban, lalu ibunya bertanya, "Ini belalang kamu?" Ganang menjawab,"Iya Bu, itu belalang tangkapan kami berdua. Silakan dimasak, Bu!"
Usai mandi, Ganang masuk ke rumah dan bertemu ibunya.
"Mbok, Simbok jangan marah, ya!", kata Ganang.
Ibunya berkata," Lho, kenapa Simbok marah."
Dalam hati, Ganang berkata,"Simbokku memang hebat. Ia selalu membelaku."
Sejurus kemudian ibunya menyuruh Ganang makan,"Nang, habis sholat nanti Kamu makan dulu."
Ganang menjawab ,"Iya Mbok, saya mau sholat dulu."
Ibunya kembali berkata,"Sehabis makan, nanti Kamu bilang sama Bapak, jujur saja tadi kemana." Ganang terdiam tak segera menjawab. Luka di bibirnya makin perih saja.
Sambil mencari obat penutup luka, berkata jujur pada Ibunya,"Mbok, sebetulnya aku tadi jatuh menabrak cabang pohon jambu monyet saat mencari belalang." Ia memperlihatkan luka menganganya kepada ibunya.
"Masya alloh, lha kok lukanya lebar begitu."teriak ibunya. "Itu akibatnya kalau Kamu tidak memperhatikan nasihat orang tua."seringai ibunya. Ibunya cukup syok dan marah melihat luka anaknya tersebut. Sedikit mengomel, ibunya memasang penutup luka di bibir Ganang.
"Bocah ngeyel, besok lagi kalau mau pergi, pamitan dulu!", gumam ibunya. Tak lama kemudian bapaknya pulang dari surau. Kali ini bapaknya sudah tidak menunjukkan kemarahannya. Ia memanggil Ganang ke ruang tengah.
"Cah bagus, Bapak sudah tahu kalau Kamu tadi berburu belalang dengan Mas Sunar dan kamu terluka."kata bapaknya membuka perbincangan. Ganang hanya tertunduk, menahan rasa sakit dibibirnya.
Bapaknya melanjutkan nasihatnya, "Besok lagi, kalau mau pergi Kamu harus pamit minta izin supaya Bapak dan Simbok tahu." Ganang menyesali perbuatannya. Malam itu ia memetik polah tingkahnya sendiri.
"Sore ini, Bapak mencarimu ke mana-mana. Tetapi, tidak ada satu pun orang tahu. Pulang-pulang kamu terluka seperti itu. Jangan kau ulangi lagi perbuatanmu!", Imbuh bapaknya.
Ganang menganggukkan kepala dan berucap,"Maafkan Ganang ya, Pak! Ganang berjanji tidak mengulangi lagi!"
Malam itu, Ganang ikut ayahnya tahlilan ke rumah pakdenya yang meninggal beberapa waktu lalu. Ganang mendapat pelajaran berharga. Ia harus jujur kepada kedua orang tuanya, berani mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan betapa pentingnya meminta izin kepada orang tua. Bibir Ganang sampai saat ini meninggalkan bekas luka yang akan selalu menjadi pengingat perburuannya pada seekor belalang. SELESAI.
***
*)Giyoto,Guru SD N Lempuyangwangi Yogyakarta
d.a. Jalan Hayam Wuruk 9 Yogyakarta 55212
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.