Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Cerpen Prahara Pit Lanang

Sastra | 2025-03-25 11:37:38

Kepalanya menunduk. Matanya berkaca-kaca. Sorot matanya melukiskan kerinduan yang teramat dalam. Asa yang telah lama terpendam. Jauh di lubuk hati.

“Puluhan tahun lamanya kami menginginkannya, sampai kini Tuhan belum jua berkenan mengabulkannya”, bisiknya lirih dengan bibir sedikit gemetar.

Air matanya pun menetes tak tertahankan lagi.

Sebagai teman karibnya sejak kecil, aku dapat memahami kesedihan yang sedang dirasakannya. Aku mendekat, duduk persis di sampingnya. Aku mengusap-usap punggungnya.

Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku malah larut dalam lamunanku. Tiba-tiba aku teringat akan sekian banyak kenakalan anak lelaki yang telah membuat hatiku teriris-iris, hancur berkeping-keping.

https://www.lazone.id/news/2017/November/27%20nov/Banner%20Honda%20Ace%20110.jpg

*****

Bulan Juni. Dealer sepeda motor di daerahku sangat ramai pengunjung. Tampak para orang tua membawa serta anak-anak mereka usia sekolah menengah. Mereka hendak membeli sepeda motor untuk sarana transportasi ke sekolah. Biar pun tinggal di desa dan lokasi sekolah tak begitu jauh dari rumah, anak-anak zaman sekarang tak mau lagi naik sepeda kayuh apalagi berjalan kaki.

Libur panjang kenaikan kelas sebentar lagi usai. Ada yang hanya naik kelas, ada pula yang pindah sekolah karena naik jenjang. Para orang tua mesti menyiapkan banyak uang. Selain biaya terkait pendaftaran sekolah, juga biaya untuk membeli kendaraan pribadi.

“Aku pingin pit lanang[1] seperti ini!” ujar anak lelakiku sembari menunjukkan iklan sepeda motor second yang dijual melalui Facebook.

Sebuah Honda CB 100 yang telah dimodifikasi dan dicat pada beberapa bagian. Dari plat terlihat kalau mati pajak.

“Beli motor matic atau bebek saja, Le. Pilih yang masih agak bagus dan hidup pajaknya”, kataku berusaha membujuknya.

Moh[2] Yah, pokoknya yang ini saja”, jawab anakku merajuk.

“Kalau pajaknya mati itu termasuk motor ilegal, bisa ditilang oleh polisi. Lagipula kita tidak tahu persis kondisinya seperti apa, takutnya nanti kita tertipu”, seruku berusaha memberi pemahanan kepadanya.

“Aku sudah senang banget Yah, nggak mau yang lain!” jawabnya tetap bersikeras.

*****

Karakter anak keduaku ini kalau sudah punya keinginan atau pilihan, ya harus yang itu. Wajib pokoknya. Tidak bisa tidak. Dan tidak mau diberi pilihan lain. Dia akan terus-menerus merengek sampai keinginannya diijabahi.

Bulan Juni menjelang akhir sudah memasuki bulan kemarau. Angin malam berhembus begitu kencang, membuat tubuh kurusku menggigil kedinginan. Suara batang pohon bambu yang saling bersinggungan karena tertiup angin membuat malam terasa wingit[3]. Kepalaku mendadak pusing memikirkan sikap anak lelakiku yang keras kepala.

Dilema.

Hari-hari berlalu dengan ketegangan dan perdebatan. Walau sempat memberikan pilihan alternatif, tetap saja sepeda motor yang dipilihnya adalah motor jadul. Pit lanang yang telah dimodifikasi dan mati pajak. Semakin dikasih tahu, anakku semakin keras kepala dan kokoh pada pendiriannya.

“Biasalah, anak sekolah zaman sekarang memang suka motor seperti itu”, celoteh seorang tetangga ketika aku curhat kepada mereka.

“Apalagi anakmu kan mendaftar sekolah SMK to”, sahut tetangga lainnya, “bahkan, biasanya motor itu akan dipreteli juga lho” tambahnya memberi peneguhan, yang membuat kepalaku bertambah pusing dan hati geregetan.

*****

Anakku mendapatkan yang diinginkannya. Ia sering memakai sepeda motor dengan sangat ngebut, terkadang dengan suara gas yang menderu-deru. Membuatku was-was dan jantung berdegup kencang melihatnya.

“Baru seneng-senengnya punya motor”, komentar seorang tetangga.

“Punya motor seperti itu aja pamer”, komentar miring tetangga lainnya.

Aku berkali-kali menasihatinya untuk berhati-hati dan tidak berisik. Ibarat berbicara dengan angin, suaraku hilang ditelan badai. Ia lebih menuruti egonya. Semaunya. Seenaknya.

Hingga di suatu hari ia terjatuh dari sepeda motor sampai badannya banyak luka-luka. Laksana otot kawat tulang besi, ia tidak mengeluh sedikit pun. Bahkan, tak mau diajak pergi berobat.

Sokor, kapokmu kapan![4] sumpah serapah dari tetangga samping rumah yang sangat kesal dengan perilaku anakku akhir-akhir ini.

Aku tidak bisa menyalahkan apalagi memarahi tetangga yang berkata demikian. Aku sendiri juga dibuat geregetan dengan tingkah-polah anakku.

Semoga peristiwa itu bisa membuatnya sadar. Aku membatin penuh harap.

*****

Sinar mentari siang ini amatlah terik. Telapak kakiku serasa terbakar saat aku membolak-balik gabah yang dijemur agar cepat kering. Musim kemarau membawa keberuntungan sehabis panen kali kedua. Termasuk ayam-ayam pun enggan memakan gabah yang dijemur karena tak tahan dengan panas sinar matahari.

Ketika mataku menatap ke arah ujung jalan, aku melihat anakku sedang menuntun sepeda motornya. Dari raut mukanya, ia nampak begitu letih.

“Ada apa, Le?” tanyaku penuh selidik.

“Motornya mogok Yah, tidak bisa digenjot lagi”, jawabnya sembari napasnya terengah-engah.

“Mogok di mana? Tidak mampir ke bengkel?”

“Di dekat balai desa. Sudah ke bengkel, tapi tetap tidak bisa hidup”.

Hari-hari berlalu. Untuk sementara, kalau pergi ke sekolah, anakku menumpang sepeda motor teman. Melihat sepeda motor yang tergeletak di ruang tamu membuatku menjadi masygul. Mau dijual lagi belum tentu cepat dapat pembeli. Lagipula entah masih laku atau tidak.

Akhirnya sama anak saya sepeda motor Honda CB 100 itu ditukar dengan Honda Astrea Grand. Kondisinya secara keseluruhan lebih parah. Bisa disebut barang rongsokan. Ibarat kata, dibuang pun tak akan ada yang mengambilnya.

Setali tiga uang. Sebelas-dua belas. Sepeda motor ini pun tak bertahan lama. Dalam hitungan hari, ia mogok seperti pendahulunya. Mesin tak mau menyala. Tanpa memberitahuku terlebih dahulu, motor itu dijual. Katanya laku satu juta setengah. Duh Gusti, sepeda motor seharga 6,5 juta ditukar dengan harga 1,5 juta. Betapa bodohnya anakku itu. Selain rugi besar, sebelumnya ia sudah sering meminta uang untuk biaya servis kendaraan. Saking sudah begitu sebalnya, aku pun tak pernah menanyakan mana wujud uang hasil penjualan sepeda motor itu.

*****

Gemericik hujan terdengar siang dan malam. Bahkan, pagi dan sore. Terkadang hujan teramat deras dibarengi angin kencang yang menumbangkan pepohonan. Tak jarang pula ditimpali gelegar petir dan kilat yang menyambar-nyambar.

Listrik sering padam. Membuat suasana semakin mencekam. Sungai di pinggir desa airnya meluap, menggenangai jalan dan rumah-rumah warga. Inilah awal Januari. Akronim dari hujan penuh sehari-hari. Saatnya anak sekolah belajar kembali usai libur akhir tahun.

“Kalau masih nunut teman, badanku basah semua, Yah. Karena mantelnya nggak cukup buat berdua”, ujar anakku ketika aku sedang mengepel lantai yang terkena tempias air hujan.

Aku masih terdiam. Hati ini masih merasa kesal. Kecewa. Seandainya dia mau menurut apa kata orang tua, tentu kejadiannya tak akan seperti ini. Memang, anak-anak zaman sekarang susah dinasihati. Berbeda sekali dengan kondisi waktu aku masih kecil.

Aku ingat betul ketika orang tuaku sedang berbicara. Aku hanya bisa diam dan menyimak. Tidak pernah berani membantah, apalagi mendebatnya. Hanya satu kata yang keluar dari mulutku. YA. Meskipun terkadang bertentangan dengan hati dan keinginanku.

Piye Yah, oleh tuku pit lanang meneh ora?[5]” seru anakku membuyarkan lamunanku.

Lagi-lagi aku terdiam. Di satu sisi aku masih jengkel. Di sisi lain, aku merasa kasihan. Bagaimana pun juga, dia adalah anakku yang harus aku perhatikan dan aku lindungi. Kasih-sayang orang tua tetap lebih besar, mengalahkan segalanya.

“Ayah turuti dengan syarat ayah yang milihin ya”, balasku dengan memberi penekanan pada kata syarat. “Lagian yang kamu butuhkan adalah sepeda motor untuk transportasi ke sekolah. Kalau ingin berganti-ganti motor, nanti kalau kamu sudah kerja, sudah bisa nyari duit sendiri”, tambahku.

“Kalau aku cari sendiri lagi saja, piye Yah”, katanya lagi sedikit merengek.

“Nggak bisa. Kalau tidak mau ya sudah, ayah tidak akan beliin!” jawabku tegas.

“Yah, aku cari sendiri saja, nanti takutnya aku nggak suka”, pintanya dengan mencoba memberi argumentasi.

“Pokoknya nggak bisa!”

Aku segera berlalu dari hadapannya. Kalau aku tetap di sana, ia pasti akan merengek terus dan terus, sampai keinginannya dikabulkan.

Sejak kecil, anakku memang memiliki karakter merajuk. Ia belum akan berhenti meminta sebelum aku mengiyakan. Bahkan, ke mana pun aku berjalan, dia membututiku. Ngedrel[6].

Hari-hari berikutnya mulutnya terus mendengung seperti kumbang. Rengekannya makin memusingkan kepala, bikin greget, dan menaikkan tensi darah. Ditambah pula, setiap dia mau pergi mesti meminjam motorku atau bahkan motor adik-adikku. Termasuk kalau numpang motor teman, setidaknya ngasih uang bensin. Repot banget dech!

“Ya sudah, kalau kamu sudah tidak bisa dikasih tahu, ayah turuti kemauan kamu. Tapi ingat, nanti kalau motornya rusak atau mogok lagi, ayah tidak mau bertanggung jawab.”

Anakku terdiam. Sepertinya ia sedang berpikir keras.

*****

Dengan menjual gabah hasil panen akhir Desember lalu, aku membelikan sepeda motor buat anakku untuk kedua kalinya, hanya dalam waktu kurang dari setahun. Pada awalnya aku merasa lega. Selain pajaknya masih hidup, juga bisa dipakai dengan baik.

Tak berselang lama, sepeda motor mulai diotak-atik. Dipreteli. Knalpot, velg, spion, jok, diganti-ganti. Termasuk sering dipakai oleh teman-temannya dan jarang terlihat berada di rumah.

Sepeda motor mulai ada tanda-tanda bermasalah lagi. Terkadang bisa dipakai, kadang mogok. Hal ini membuat anakku sering tidak masuk sekolah. Dari informasi wali kelas, anakku beralasan bahwa mau sekolah tidak ada sepeda motor.

Deg. Aku tersentak kaget.

Sepeda motor yang kedua kalinya ini akhirnya bernasib sama dengan yang pertama. Rusak. Tergeletak mengenaskan di pojok ruang tamu. Dua bannya tidak ada. Spion juga tidak ada. Bagai barang rongsokan.

Ketika anakku meminta sepeda motor milik kakaknya yang sudah lulus kuliah. Spontan aku naik pitam. Kami bertengkar hebat. Anakku tak mau mengakui kesalahannya. Apalagi ia mengumpat dengan nama hewan tertentu dan kata-kata tidak pantas lainnya.

“Kalau kamu seperti itu, ayah tak mau lagi menyekolahkanmu. Kalau perlu, pergi dari rumah ini!” ancamku mengakhiri pertengkaran itu.

Di sepanjang malam aku menangis lirih. Nyaris tak terdengar. Suara rintik-rintik hujan yang belum jua berhenti sejak habis Isya tadi seakan-akan mengiringi tetesan-tetesan kesedihan dari kedua bola mataku. Angin yang berhembus kencang menerpa batang pepohonan seakan-akan ikut menghempaskan jiwaku yang sedang rapuh.

Ahhh tidak hanya perihal sepeda motor.

Banyak hal yang telah membuatku menangis di malam-malam sunyi tiada henti. Telah lama anakku tak mau melaksanakan shalat lima waktu, meskipun ia tiga tahun pernah di pesantren waktu SMP. Ia seorang perokok berat. Uang jajan harian sering dibelikan rokok, bahkan terkadang berbohong kepadaku terkait uang sekolah. Termasuk sering berkata kasar dan kotor.

Pada puncaknya, aku nyaris pingsan ketika membaca hasil tes laboratorium dari rumah sakit bahwa anakku positif sipilis.

Aku terpuruk. Nyaris putus asa.

Hingga datanglah seorang teman lama yang datang ke rumah. Aku pikir ia bisa menghiburku dan memberikan solusi atas permasalahanku. Justeru ia datang ingin curhat.

“Sepuluh tahun lebih tlah berlalu. Namun, si mungil yang selalu kunanti-nanti tak kunjung hadir” ujarnya lirih usai bercerita panjang-lebar tentang segala upaya yang telah dilakukannya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca.

Aku hanya bisa menghela napas. Berkali-kali. Bibirku seakan terkunci. Aku dapat merasakan kerinduan sekaligus kesedihan yang ia alami. Aku bisa memahami harapan sebuah keluarga akan hadirnya si buah hati.

Satu hal yang tak bisa kumengerti.

Mengapa engkau harus menangis karena belum memiliki anak, sementara aku juga menangis bermalam-malam akibat ulah seorang anak. Batinku memberontak.

[1] Sepeda motor laki-laki

[2] Tidak mau

[3] Keramat

[4] Syukurin, semoga kapok (tidak diulangi lagi)

[5] Bagaimana Yah, boleh membeli sepeda motor laki-laki lagi tidak?

[6] Meminta dengan cara memaksa

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image