Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image DINI NURIS

Covid Terus Menghadang, Dunia Pendidikan Siap untuk Makin Bersinar

Lomba | Monday, 28 Feb 2022, 21:23 WIB
Pertemuan Tatap Muka (Sumber: Republika)
Pertemuan Tatap Muka (Sumber: Republika)

Selama ini banyak orang meyakini bahwa untuk bisa menguasai suatu bidang dibutuhkan waktu rata-rata selama sepuluh ribu jam. Akan tetapi, bagaimana jika teori tersebut salah atau akhirnya bisa dipatahkan oleh orang lain? Pastinya kita harus melakukan unlearning karena orang yang mematahkan teori lama tadi tentu mempunyai cara yang lebih baik daripada cara sebelumnya.

Dari waktu ke waktu, banyak rekor pada bidang yang berbeda terpatahkan oleh rekor yang baru. Angka yang tadinya mustahil dicapai ternyata akhirnya terlampaui juga, bahkan terkadang oleh banyak orang. Dalam hal belajar, “Aturan sepuluh ribu jam” yang merupakan hasil riset dari Dr. K. Anders Ericsson di Florida State University ini berhasil dipatahkan oleh Josh Kaufman dengan teori 20 jamnya. Josh Kaufman kemudian menyebarluaskan metodenya melalui bukunya sendiri yang berjudul “The First 20 Hours: How to Learn Anything Fast.” Tak main-main, dengan metode Josh, dia menjanjikan kita bisa menguasai bidang apa pun hanya dalam waktu 20 jam atau di bawahnya. Dia mencontohkan caranya misalnya dengan belajar/mempraktekkannya selama satu setengah jam setiap hari dalam waktu empat belas hari atau dua minggu.

Metode dari Josh Kaufman hanyalah salah satu dari sekian banyak metode tentang belajar cepat. Metode lain misalnya membaca cepat, meningkatkan daya ingat, belajar aktif, aturan enam topi De Bono, atau metode-metode lain yang sifatnya membuat belajar menjadi mudah, cepat, atau menyenangkan.

Selama ini, masih banyak dari aktivitas kita yang sekadar terlihat sibuk atau menghabiskan waktu panjang, tetapi hasilnya kurang (tidak efektif dan tidak efisien). Di dalam kehidupan sehari-hari, misalnya bekerja di kantor, rapat, ataupun belajar dan mengajar aktivitas kita masih kurang strategik dan memakan waktu berkepanjangan. Alhasil, sebagian orang merasa sia-sia bersekolah, ilmunya banyak yang tidak berguna di dunia kerja, atau pemikiran-pemikiran sinis atau pesimis lain yang berhubungan dengan sekolah dan dunia pendidikan kita.

Prinsip Pareto menyebutkan untuk banyak kejadian, sekitar 80% daripada efeknya disebabkan oleh 20% dari penyebabnya. Kalau kita mau jujur, prinsip ini juga berlaku untuk kondisi pembelajaran di sekolah, dari semua materi yang kita pelajari yang akan kita manfaatkan nantinya sekitar 20% saja.

Nah, terkait dengan Covid-19 yang kembali menggila, mari kita jadikan ini sebagai momen untuk mengevaluasi kembali mengenai strategi belajar dan mengajar kita. Bila perlu mari kita lakukan revolusi pembelajaran. Anggaplah mata pelajaran yang ada misalnya sepuluh macam, jika untuk menguasai 1 pelajaran saja membutuhkan waktu 20 jam, kita membutuhkan 200 jam untuk menguasai seluruhnya. Dua ratus jam ini sama dengan 134 hari atau sekitar 5 bulan saja. Kemudian kita tinggal mengatur mengenai jumlah jam belajar per harinya (baik bersama guru ataupun tidak), materi apa yang diberikan, berapa lama waktu belajar online-nya, serta berapa kali tatap muka yang akan dijadwalkan.

Naval Ravikant, sebagai salah satu contoh orang yang sukses, mengajarkan kita untuk belajar materi yang sangat penting dan aplikatif saja. Setelah itu, baik Naval Ravikant maupun Josh Kaufman mengajarkan untuk memilih bagian yang terpenting/inti dari bidang/mata pelajaran itu saja. Di sini, guru, kepala sekolah, atau tingkat yang lebih tinggi yang akan merencanakan/memutuskan materi tersebut. Misalkan waktu yang tersedia diperkirakan cuma X bulan dengan waktu tatap muka diperkirakan cuma bisa Y kali, maka pelajaran apa atau materi apa yang akan dihilangkan dan apa yang akan diajarkan sudah dirancang dengan baik di dalamnya. Begitupun jika waktu yang tersedia atau waktu tatap mukanya lebih sedikit, mereka sudah punya rencana yang berbeda. Jadi, mereka punya rencana A dan rencana B. Akan tetapi, kalau mereka ingin semua pelajaran tetap ada/diberikan, mungkin yang lebih cocok untuk diterapkan adalah metode belajar cepat, misalnya seperti yang diajarkan pada buku Learning How to Learn karya Barbara Oakley, Terrence Sejnowski, dan Alistair McConville, yang intinya mengajarkan cara belajar yang tepat terlebih dahulu, baru kemudian belajar materi pelajaran sekolahnya.

Dengan metode 20 jam untuk menguasai satu mata pelajaran ini, kita sudah sangat hemat waktu. Selain pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien, kita bisa mengurangi frekuensi pertemuan tatap muka langsung di sekolah. Kalaupun para guru dan murid datang ke sekolah, mereka harus sudah divaksinasi, harus mematuhi protokol kesehatan, serta meningkatkan imun tubuhnya terutama dengan makanan yang sehat dan cukup istirahat.

Jangan lupa, baik pada pembelajaran online maupun tatap muka langsung, terapkanlah metode Pomodoro, misalnya dengan 25 menit belajar dan 5 menit istirahat. Istirahat di sini bisa diisi dengan berbagai aktivitas yang dapat mengaktifkan otak difus kita, misalnya dengan berjalan, berolahraga, menggambar, membantu pekerjaan yang ringan-ringan, mengobrol dengan teman, tidur sejenak, atau lainnya. Keseimbangan antara pemanfaatan otak fokus saat belajar dengan otak difus saat istirahat inilah yang nantinya ikut mendukung kemudahan belajar siswa, bahkan untuk 2 hal yang sepertinya berbeda jauh, misalnya sains dan olahraga, sains dan seni, matematika dan bahasa, dan sebagainya.

Terkadang, kita membutuhkan momen pendobrak seperti Covid-19 ini agar kita bisa lebih fokus kepada segala sesuatu yang terpenting atau yang paling utama saja. Memang hal ini membutuhkan adaptasi besar di dalamnya. Akan tetapi, yakinlah bahwa di balik setiap kesulitan terdapat dua kemudahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image