Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Mengingat Tuhan Setiap Saat Itu Sulit, Maka Shalatlah!

Agama | Monday, 28 Feb 2022, 10:06 WIB
SUmber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/gerakan-shalat-ilustrasi-_140508163513-719.jpg

“Kalau tujuan dan hakikat shalat adalah mengenang Allah, maka yang utama adalah mengingat Allah sebagai tujuannya. Shalat hanyalah alat, ketika kamu sudah bisa mengingat Allah maka tak perlu shalat”.

Pernahkah Anda mendengar argumen seperti di atas? Atau dalam rumusan yang singkat, kurang lebih berbunyi: “Kalau bisa mengingat Tuhan, untuk apa shalat?”. Bagi yang berilmu, atau kalaupun tak berilmu ia rajin menunaikan shalat, tentu bisa saja marah dan emosional jika disodorkan dengan argumen tersebut.

Tetapi boleh percaya boleh tidak, orang-orang yang mengusung logika tersebut di atas bukan tanpa pijakan dalil, meski mungkin dalil teks agama itu dipakai sesuai keinginan atau kepentingannya. Dalil dimaksud adalah QS. Thoha: 14;

"Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu"

Mereka mungkin mencoba meracik dalil agama ini dengan pandangan klasik dalam falsafah Jawa, bahwa hakikat hidup seorang manusia dalam kerangka hubungan kosmiknya adalah untuk mengingat Tuhan atau eling lan waspodo; ingat dan awas (waspada), mirip dengan pengertian taqwa bukan? Suatu waktu Umar bin Khatab pernah ditanya sahabat lainnya, Ubay bin Ka’ab; Apa itu taqwa?

Alih-alih memberikan definisi, Umar justru menjelaskan makna taqwa dengan tamsil. “Pernahkah engkau berjalan di jalanan yang licin dan berduri, apa yang harus kamu lakukan?”. Bukankah kamu harus awas dan berhati-hati? Ya begitulah taqwa.

Nah karena penjelasan tentang eling lan waspodo inilah, dulu seorang kawan kuliah, sebut saja Fulan, yang dikenal baik, lugu, dan rajin ibadah, mendadak berhenti shalat. Itu terjadi setelah ia terlibat diskusi singkat dengan seorang penganut argumen seperti di atas. “Kalau kita bisa mengingat, eling lan waspodo, untuk apa shalat?”

Saya juga baru tahu perubahan si Fulan karena dikabari kawanku yang juga kawan si Fulan, sebut saja Dedi. Uniknya, Dedi ini juga bukanlah anak yang rajin shalat, ia justru dikenal sebagai alcoholic, seorang pecandu alkohol, meski hatinya sebetulnya lembut dan penolong. Dedi mengaku tak terima karena kawan kita berhenti shalat hanya karena dipengaruhi oleh argumen nyleneh model begitu.

Aku memang masih jarang shalat bos, kadang hanya seminggu sekali pas Jumatan. Tapi aku juga nggak merasa perilakuku meninggalkan shalat ini benar, aku tetap salah lah. Tapi kawan kita, si Fulan, itu kan sengaja meninggalkan shalat tapi merasa benar, ini yang aku nggak bisa terima bos”. Begitu kurang lebih keluh kesah di Dedi. Dalam batin, aku sendiri agak malu sebetulnya, karena kadang shalat subuhku juga masih kesiangan. Tapi aku mafhum, si Dedi ini tentu sedang butuh jawaban atau sebut saja argumen logis untuk mematahkan arugumen nyleneh si Fulan.

Ded, apakah kamu bisa menjamin setiap waktu dan tempat selalu eling Gusti Allah, selalu mengingat Allah,” tanyaku.

Ya nggak mungkin lah bos, wong aku aja masih jarang shalat, sering minum malah”.

Kalau dia orang baik, apakah juga bisa menjamin mampu selalu eling Allah?”. Dedi sempat ragu, meski akhirnya menggelengkan kepala. “Kayaknya orang sebaik apapun juga pastilah punya potensi lupa, kadang khilaf, anu luput kan wajar sih bos”.

Nah, itu maksudku. Orang-orang yang alim saja bisa luput kan, maka apalagi kita, manusia serba awam ini, pasti sering alpa lah. Wong pas lagi shalat saja kadang kita mengingat utang, kunci motor yang lupa naruh, dosen yang galak, tugas makalah, apalagi pas nggak shalat kan

Pas mendengarkan khutbah Jumat yang menyentuh, kita bisa menangis mengingat dosa, saat itu kita mengingat Allah. Tetapi begitu mau pulang Jumatan sendal hilang, mungkin Allah hilang dari hati kita. “Duancuk, siapa yang maling sendalku ini. Tak doain jalannya kepleset sampai keseleo tujuh hari,” mungkin begitu batin kita.

Wah, betul betul itu bos. Terus, hubungannya sama shalat kepriwe?”

Karena kita mustahil setiap waktu dan tempat bisa mengingat Allah, bisa eling lan waspodo, bisa bertaqwa, maka minimal, minimal ini bos, Tuhan kasih kita lima waktu sehari untuk me-reminder, mengingat kembali Sang Pencipta. “Kalau kita tidak bisa mengingat Allah setiap saat, paling tidak di lima waktu shalat ini kita belajar untuk mengingat Allah. Kalau kita bisa mengingat dan menghadirkan Allah, mustahil kita akan berbuat keji dan munkar, karena pasti malu”.

Ya, begitulahlah vitalnya posisi shalat dalam sistem peribadatan Islam. Toh perintah shalat lima waktu juga diperoleh Rasulullah Saw dengan spesial, sebuah perjalanan malam dari Mekah-Palestina (Isra) dan naik ke sidratul muntaha (Mikraj) untuk menghadap Allah langsung. Sebagai tour guide, Jibril saja tidak berani mengantar Nabi sampai masuk.

Pun ketetapan lima waktu itu juga melalui proses dialektika dengan nabi dan rasul terdahulu. Artinya, shalat adalah sebuah ritual peribadatan tua, telah ada sejak sejarah awal umat manusia. Dan konon, shalat yang ditandai dengan gerakan sujud, adalah bagian dari naluri kehambaan manusia. Bukankah sejarah umat manusia juga ditandai oleh drama menemukan Tuhan dan bersujud (ibadah)? Bahkan konon juga, salah satu ritual peribadatan utama Suku Aborigin juga ditandai dengan gerakan semisal sujud. Ya karena sujud adalah ritual purba, sekaligus ritual mewah bagi kita sebagai hamba. Sebuah gerakan saat bagian tervital manusia (kepala) diletakkan di dasar (bawah), tetapi energinya mampu menembus langit tertinggi. Saat manusia menikmati ferekuensi sujud ini, semestinya ia bahagia. Seperti sering disentil Gus Baha;

Sudahlah, kamu bahagia saja karena kamu ditakdir pernah sujud. Itu satu anugerah Allah yang luar biasa”. []

NB____________

Oiya, soal kawan kita si Fulan itu, ia akhirnya kembali shalat setelah mendapat pencerahan dari Dedi. Wallahu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image