Kaca Mata Pertumbuhan
Lomba | 2022-02-28 06:05:02Namanya Mary, Dia baru berumur 7 tahun saat berada dikelas 1 SD, tak seperti teman-temannya yang lain yang “baru” sibuk belajar tentang penjumlahan 2+2, Mary malah mengerjakan segepok soal matematika yang diberikan oleh gurunya.
Gurunya tahu kalo Mary berada dilevel yang berbeda dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Dengan jumlah soal yang lebih sukar dan banyak sekalipun, kecepatan Mary mengerjakan soal-soal itu nampak lebih sangat unggul dibanding teman-temannya. Bahkan saat dia berumur 6 tahun, buku berat ilmuwan matematika Charles Zimmer tentang “Transisi dalam Aljabar Tahap Lanjut” pun, sudah khatam dibacanya.
Semua soalan matematika level mahasiswa, sudah selesai bagi Mary. Namun ada hal yang menciderai prestasi Mary, beberapa kali dirinya tersangkut kasus perkelahian dengan sebayanya, dan mengakibatkan cidera serius ketika berkelahi. Mary tak memiliki satupun teman. Ada masalah asosial yang mengakibatkan Marry tidak mudah memiliki kawan karib.
Alih-alih ingin menyekolahkan ke sekolah anak-anak berbakat, pamannya malah menyekolahkan ke “sekolah biasa”, dengan harapan agar Mary biasa bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya. Walaupun berkali-kali dipanggil oleh guru dan kepala sekolahnya karena problem yang ditimbulkan Mary, Pamannya ini (wali asuh Mary) tetap bersikukuh bahwa Mary harus tetap sekolah di “sekolah biasa”.
Potongan cerita ini merupakan fragmen singkat dari film fiksi “Gifted” (berbakat) besutan sutradara Marc Webb tahun 2017. Memang bukan berdasarkan kisah nyata, namun kondisi ini yang biasanya umum ditemui oleh anak-anak dengan bakat khusus dan istimewa.
Anak dengan kemampuan luar biasa sejenis Mary ini, biasanya lebih sering “teralienasi” dalam hubungan perkawanan. Cenderung sibuk dengan bakat unggulnya, namun kering dalam hubungan sosial dengan manusia lainnya, sehingga unsur relasi kemanusiaannya menjadi tidak nampak terlihat.
Tidak ada yang salah dengan kondisi anak-anak “gifted” ini. Tugas orang tua nya sebenarnya adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada potensi unggulannya, sembari melengkapi unsur kemanusiaannya yang tentunya akan banyak dibutuhkan dimasa kehidupannya mendatang.
Pada konteks ini, akses kepada kehidupan yang lebih bermakna dan agung, sebagaimana layaknya manusia yang lain yang tetap berhubungan dengan sisi kemanusiaannya berupa rasa empati, kasih sayang, peduli dan lain-lain, perlu mendapatkan tempat yang cukup dan difasilitasi oleh orang-orang disekitarnya. Ketersediaan “akses”, sekali lagi menjadi kata kunci penting dalam membangun manusia dengan seperangkat asset fitrah kemanusiaannya.
Saat ini, dimasa pandemi yang nampaknya belum terlihat titik ujungnya, perhatian kita didunia pendidikan juga masih “samar-samar” karena persimpangan jalan didepan sana belum terlihat jelas. Semenjak mulai nya pandemi pada Maret 2020 yang lalu hingga saat ini, upaya segenap pendidik dan sekolah untuk terus mengusahakan pendidikan berkualitas ditengah keterbatasan, terus menerus menemui ujian.
Hampir selama dua tahun ini, anak-anak kita sudah dan masih merasakan proses belajar dari rumah. Untuk anak-anak yang memiliki akses kepada teknologi, jaringan internet, komputer dan gawai, walaupun ada keterbatasan dalam pembelajarannya, tetap bisa mengikuti proses belajar ini. Namun untuk anak-anak yang tak memiliki akses kepada hal-hal ini, maka bisa dipastikan hampir setahun ini mereka tak bisa belajar, dikhawatirkan sejumlah anak “tak berakses” ini akan menghadapi Learning Loss.
Ada berbagai definisi dalam menguraikan istilah Learning Loss, namun cara termudah dalam mendeskripsikan Learning Loss ini adalah jika Anda sebagai guru mendapati siswa Anda sudah paham di bab 1 pada Februari 2020, namun di Februari 2021 (setahun berikutnya) anak ini masih berada dilevel pemahaman bab 1 yang sama, artinya kurang lebih selama setahun ini mereka tak belajar apapun. Barangkali secara fisik “nampak” terlihat belajar, namun tak ada pertumbuhan apapun dalam pemahaman belajarnya.
Ada hal yang menarik jika sedikit kita sambungkan dengan perspektif Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998 asal India, beliau menuliskan “Development as Freedom” (1999) bahwa pembangunan merupakan proses pelapangan kebebasan masyarakat. Interpretasi keberhasilan pembangunan manusia diukur dari kebebasannya dalam berkehendak.
Menurut Sen, kemampuan (kapabilitas) manusia untuk berkehendak dan leluasa memilih jalan kehidupannya merupakan modalitas yang teramat berharga, karena kapabilitas ini akan memberikan kemerdekaan kepada pemiliknya untuk menjadikannya mewujud nyata (functioning), menjadi sesuatu yang bernilai. Kemudian, akses-akses penting terhadap berbagai sumber akan makin terbuka.
Singkatnya (dengan ilustrasi yang lebih sederhana), jika Anda saat ini mampu untuk membeli mobil, ini dinamakan kapabilitas. Menjadikannya lebih bermakna, yakni dengan mobil Anda, bisa ke tempat wisata bersama keluarga dihari libur. Dengannya Anda akan dapat memperoleh momen kebersamaan, refreshing melepas penat. Berbagai akses kebebasan untuk pergi kemanapun Anda miliki.
Kapabilitas sebagian anak-anak yang belajar dari rumah dikhawatirkan akan mengalami learning loss inilah yang menjadi soalan. Karena sebagian mereka tak punya kapabilitas kepemilikan soal perangkat teknologi, keterampilan penggunaan alat-alat TIK, maka sampai ujungnya, mereka tak punya akses kepada pembelajaran yang berkualitas. Benarkah demikian ?.
Kacamata pertumbuhan belajar yang kita gunakan, pada masa ini seyogyanya memang lebih luas dan komprehensif. Alih-alih kita berfokus pada “kehilangan” sehingga menggunakan istilah learning loss, kita berfokus pada “learning growth” (pertumbuhan belajar) apa yang telah mereka pelajari. Sehingga energi positif, dimasa yang benar-benar kita butuhkan dimasa ini dapat bertemu dengan "sumber mata air" nya.
1. Kemampuan digital para siswa dan guru melonjak berlipat-lipat hampir setahunan ini. Para guru yang tadinya belum bisa menggunakan internet, saat ini mereka “dipaksa” untuk melakukan video conference hampir setiap hari dengan siswa mereka.
2. Berbagai pelatihan online/webinar marak sekali kita dapatkan setiap pekan, baik dari lembaga pemerintah/swasta. Jika intervensi pemerintah lebih massif, maka peta jalan pembangunan kompetensi SDM pendidikan dalam pengembangan kemampuan digital akan lebih terang dimasa depan.
3. Pada para siswa yang beruntung menggunakan gawai dan internet, maka keterampilan digital literacy/internet literacy menjadi penting untuk bekalan kehidupan dimasa depan. Apalagi dimasa depan, mereka akan kita siapkan menjadi “warga negara global” (Global Citizen), sehingga saat inilah, bahkan dimasa yang sulit ini, kesempatan untuk boosting kecepatan mereka.
Didepan sana masih banyak “kabut” yang menghalangi pandangan, namun dengan kacamata yang lebih positif, diujung sana kita akan bertemu dengan banyak keajaiban. Semoga saat ini, dimana kita bertemu dengan berbagai tantangan, dapat menjadi momentum pertumbuhan dan akselerasi kemajuan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.