Sholat itu Ibadah Paripurna dan Gambaran Kehidupan Ideal (1)
Agama | 2022-02-25 09:11:47Meskipun secara hierarkis berada pada urutan kedua dari rukun Islam, ibadah salat merupakan simbol pengejawantahan dari seluruh rukun Islam. Syahadat, zakat, shaum, dan ibadah haji, secara metafor berada dalam pelaksanaan ibadah salat.
Membaca dua kalimah syahadat yang merupakan ikrar keislaman seseorang berada dalam salah satu rukun salat, yakni ketika kita melaksanakan tasyahud, baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir. Sementara zakat secara bahasa berarti membersihkan atau menyucikan. Dalam hal mengeluarkan zakat, berarti membersihkan hak-hak orang lain yang ada pada harta kita.
Secara metafor dalam melaksanakan ibadah salat, secara bahasa kita sedang melaksanakan zakat. Kita dituntut membersihkan dan menyucikan lahir maupun batin kita. Ibadah wudhu yang dilaksanakan sebelum ibadah salat merupakan upaya penyucian lahir dan batin .
Selain itu, sebelum melaksanakan ibadah salat pun kita harus menyucikan perilaku. Tingkat paling minimal sedapat mungkin mengurangi rasa iri dan kebencian kepada siapapun yang tertanam dalam hati ketika kita akan melaksanakan ibadah salat.
Shaum atau ibadah puasa yang secara bahasa berarti menahan atau diam juga berada dalam pelaksanaan ibadah salat. Bukankah ketika kita tengah melaksanakan ibadah salat kita menghentikan segala aktivitas selain fokus terhadap pelaksanaan ibadah salat?
Meskipun hanya beberapa menit, secara bahasa, pada saat kita melaksanakan ibadah salat, kita tengah melaksanakan shaum atau puasa. Kita tidak makan, tidak minum, tidak beraktivitas lainnya, bahkan tidak berkata-kata, kecuali melafalkan bacaan-bacaan yang berhubungan dengan ibadah salat.
Demikian pula dengan ibadah haji. Selain wukuf di padang Arafah sebagai puncaknya pelaksanaan ibadah haji, menuju ka’bah untuk berkeliling thawaf merupakan rangkaian yang tak boleh ditinggalkan dalam melaksanakan ibadah haji.
Dalam melaksanakan ibadah salat, salah satu dari syarat syah salat adalah menghadap ke kiblat alias ke arah ka’bah. Dengan demikian, secara metafor, orang melaksanakan ibadah salat ruhaninya sedang berada di sekitar ka’bah, lakskana orang yang sedang thawaf.
Melangkah lebih jauh lagi, ibadah salat merupakan gambaran kehidupan ideal seorang muslim. Jika nilai-nilai salat benar-benar diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Kemuliaan hidup pasti akan dapat diraih.
Dalam bahasa Arab kata salat terdiri dari huruf shad (ص), lam (ل ) ), alif ( أ ), dan ta ( ة ). Kalau kita bedah secara akronim saja, kita akan menemukan ibadah salat sebagai gambaran kehidupan ideal.
Huruf ص dalam kata salat sebagai metafor صِدْقُ الْقَلْبِ (shidqul qalbi) dan صِدْقُ اللِّسَانِ (shidqul lisan). Shidqul Qalbi artinya lurus dan bersihnya hati ketika melakasanakan ibadah salat. Lurus dalam arti keyakinan bahwa ibadah salat merupakan perintah dari Allah, Pemilik dan Pengatur Kehidupan.
Lurusnya hati juga berarti bahwa ibadah salat yang kita laksanakan benar-benar disadari sebagai kewajiban seorang hamba yang tugas utamanya beribadah kepada-Nya. Lurusnya keyakinan ini pada akhirnya melahirkan lurusnya tujuan ibadah salat yakni lillahi ta’ala, pengabdian hanya untuk Allah semata. Shidqul Qalbi inilah yang seharusnya menjadi ruh segala aspek kehidupan.
“Katakanlah: sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (Q. S. Al An’am : 162).
Jujur harus kita akui, ikrar seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut baru sebatas kita ucapkan dalam pembuka ketika mulai melaksanakan ibadah salat, yakni ketika membaca do’a iftitah, sementara dalam kehidupan nyata, banyak hal yang kita perbuat bukan lagi karena Allah, tapi karena hal-hal lainnya. Karena bukan lagi karena Allah, tidaklah mengherankan jika kita sering menghalalkan segala cara dalam meraih yang kita inginkan. Tak peduli lagi dengan aturan yang Allah tetapkan.
Shidqul Lisan berarti lurus dan bagusnya ucapan. Orang yang tengah melaksanakan ibadah salat merupakan orang yang tengah menjaga lisannya, menjaga ucapannya. Ia hanya fokus mengeluarkan kata-kata yang telah ditetapkan sebagai bacaan dalam ibadah salat. Jangankan kata-kata kasar atau kotor, bacaan yang termasuk zikir pun jika bukan bagian dari bacaan salat tidak ia ucapkan, sebab mengucapkannya hanya akan membatalkan ibadah salat.
Shidqul lisan inilah yang harus diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Harus diakui, gaduhnya segala aspek kehidupan selalu diawali dari lisan yang mengeluarkan kata-kata yang tidak layak untuk diucapkan seraya diiringi lambat bahkan tidak mau mengklarifikasi, mencabut, atau meminta maaf atas kata-kata yang telah terucap tersebut.
Rasulullah saw sering berwasiat agar kita senantiasa menjaga lisan atau ucapan. “Jagalah ucapan kalian, jangan sampai kalian direpotkan oleh ucapan kalian sendiri. Kalian disibukkan dengan permintaan maaf kepada khalayak setelah kalian mengucapkannya" (H. R. Ahmad dari Abu Ayyub, Sirajul Munir Juz I : 168).
Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw kedatangan seorang sahabat, Uqbah bin Amir yang bertanya tentang kehidupan yang selamat.
“Pegang olehmu tiga hal, kendalikan lisanmu, perluas rumahmu, dan perbanyaklah menangisi dosa dan kesalahanmu.” Demikian jawab Rasulullah saw (H. R. Ahmad dan At Tirmidzy).
Pada saat ini merupakan era semua orang bebas berbicara. Apapun dibicarakan dan dikomentari tak peduli lagi dengan ilmu dan kompetensi yang dimiliki. Orang-orang layaknya suara burung di alam bebas yang penting berkicau, tak peduli kata-katanya membuat hati orang menjadi galau, dan kehidupan sosial-politik menjadi kacau. Kini tak rakyat, tak pejabat, sering berbicara asbun (asal bunyi) saja.
Parahnya lagi, kini banyak orang, baik rakyat maupun pejabat yang gampang berbicara, namun lambat meminta maaf ketika kata-kata yang diucapkannya telah membuat gaduh kehidupan. Alih-alih meminta maaf, jurus membela diri dengan memainkan logika kata-kata selalu dikedepankan.
Demi tenteramnya kehidupan, merupakan keharusan bagi kita untuk mengimplementasikan shidqul lisan dalam kehidupan. Selain berkata-kata yang baik dan benar, termasuk bagian dari shidqul lisan adalah berkata atau berucap sesuai dengan ilmu dan kompetensi yang kita miliki.
Al qur’an sangat melarang kepada kita untuk mengatakan sesuatu yang tidak kita ketahui atau kita tidak memiliki pengetahuan tentang hal yang akan kita bicarakan.
Imam Ghazali, seorang ulama sufi berkata, “Andai saja orang-orang bodoh tidak banyak bicara, niscaya perselisihan diantara manusia akan mereda.”
Kata bodoh bukan berarti tak memiliki ilmu dan kompetensi saja, namun termasuk perilaku bodoh adalah ketika orang-orang berbicara seenaknya tanpa memikirkan dan membayangkan hal yang yang akan terjadi akibat dari ucapannya. (bersambung).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.