Dimana Letak Akal?
Agama | 2025-10-11 14:42:00Akal merupakan karunia agung yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dengan akal, manusia mampu berpikir, memahami, dan mengambil keputusan moral dalam kehidupannya. Karena itu, akal memiliki posisi penting dalam ajaran Islam, bahkan menjadi dasar bagi taklif atau pembebanan hukum syariat. Namun demikian, para ulama ushul berbeda pandangan mengenai hakikat dan tempat bersemayamnya akal. Perbedaan ini tidak hanya muncul karena perbedaan cara pandang teologis, tetapi juga karena beragamnya pendekatan dalam memahami hubungan antara hati, otak, dan jiwa manusia.
Definisi Akal dalam Perspektif Ulama
Dalam literatur klasik, para ulama memberikan definisi akal yang bervariasi. Al-Raghib al-Ashfahani, seorang ahli bahasa dan mufasir terkemuka, mendefinisikan akal sebagai kekuatan yang dipersiapkan untuk menerima pengetahuan, sekaligus kemampuan untuk menalar dan menarik kesimpulan dengan kekuatan tersebut. Definisi ini menggambarkan bahwa akal tidak hanya berfungsi sebagai penerima pengetahuan, tetapi juga sebagai alat aktif yang mendorong manusia untuk berpikir kritis dan mencari kebenaran.
Sementara itu, al-Zabidi dalam Taj al-‘Arus memandang akal sebagai sifat yang menetap dalam diri seseorang yang membuatnya mampu memahami sesuatu sebagaimana adanya, selama tidak tertutupi oleh kebalikannya. Makna “kebalikannya” di sini mengacu pada hawa nafsu, kesombongan, atau kedunguan yang dapat menutupi kebenaran. Dari dua definisi ini tampak bahwa akal dalam pandangan Islam bukan sekadar organ biologis, melainkan potensi spiritual dan intelektual yang memandu manusia menuju pengetahuan dan hikmah.
Perbedaan Pandangan tentang Letak Akal
a. Akal Berada di Hati
Sebagian besar ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal (dalam salah satu riwayat), al-Qurthubi, Ibn Hazm, Ibn Taimiyah, al-Syawkani, dan al-Shan‘ani berpendapat bahwa akal berpusat di hati (al-qalb). Pandangan ini didukung oleh banyak ayat Al-Qur’an yang menisbahkan aktivitas berpikir dan memahami kepada hati, bukan kepada otak. Allah Swt. berfirman: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami... karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. al-Hajj [22]: 46)
Ayat ini memperjelas bahwa kemampuan memahami dan membedakan kebenaran berasal dari hati. Banyak ayat lain seperti QS. al-A‘raf: 179, QS. at-Taubah: 45, dan QS. Qaf: 37 yang menggunakan redaksi serupa.
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim turut menguatkan pandangan ini saat menjelaskan hadis Nabi Saw. tentang hati sebagai pusat kebaikan dan keburukan dalam diri manusia: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik; jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak; ketahuilah, itulah hati.” Menurutnya, hadis ini menjadi dalil kuat bahwa pusat akal dan kesadaran manusia berada di hati, bukan di kepala.
b. Akal Berada di Otak
Pandangan kedua menyatakan bahwa akal terletak di otak (al-dimagh). Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan diikuti oleh sebagian ulama mazhab Hanafi. Mereka beralasan bahwa ketika otak mengalami kerusakan, fungsi berpikir manusia pun hilang. Hal ini dianggap sebagai bukti bahwa otak adalah wadah dari akal.
Pandangan ini bahkan memiliki konsekuensi hukum. Dalam fikih Hanafi, apabila seseorang mengalami luka di kepala hingga kehilangan akalnya, maka pelaku wajib membayar diyat al-‘aql (denda kehilangan akal), tanpa tambahan denda atas luka fisik yang menyebabkan hal itu. Hal ini berbeda dengan pendapat Malikiyah yang memandang akal berada di hati, sehingga hukum diyatnya berbeda.
Namun, ulama lain seperti al-Mazri mengkritik pandangan ini. Ia menjelaskan bahwa rusaknya akal karena rusaknya otak hanyalah hubungan kebiasaan (‘adah) yang ditetapkan Allah. Artinya, meskipun kerusakan otak berimplikasi pada hilangnya akal, hal itu tidak berarti bahwa akal secara substansi berada di dalam otak. Keterkaitan keduanya bersifat fungsional, bukan hakiki.
Akal Sebagai Sifat Jiwa yang Terkait dengan Hati dan Otak
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mencoba menengahi perbedaan di atas dengan pandangan yang lebih holistik. Menurutnya, akal merupakan sifat yang melekat pada jiwa manusia (al-nafs). Ia tidak sepenuhnya berada di hati ataupun di otak, melainkan berhubungan dengan keduanya. Dari sisi spiritual, akal bersumber dari hati; dari sisi biologis, ia berinteraksi dengan otak.
Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa hati memiliki peran penting dalam mengarahkan akal kepada kebenaran. Otak mungkin memproses informasi, tetapi hati menentukan arah dan nilai dari pengetahuan itu. Karena itulah, seseorang yang berilmu belum tentu bijaksana jika hatinya tertutup oleh kesombongan.
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang bagaimana ia memperoleh ilmu, dan beliau menjawab dengan penuh kebijaksanaan: “Dengan lisan yang gemar bertanya dan hati yang cerdas.” (بلسان سئُول، وقلب عقول). Ungkapan ini menggambarkan sinergi antara kecerdasan intelektual dan kebersihan hati yang menjadi ciri khas seorang pencari ilmu dalam tradisi Islam.
Dari ketiga pandangan tersebut, terlihat bahwa Islam memahami akal bukan hanya sebagai instrumen rasional, tetapi juga sebagai bagian integral dari kesadaran spiritual manusia. Pandangan yang menempatkan akal di hati menekankan pentingnya dimensi moral dan ruhani dalam berpikir. Pandangan yang menempatkannya di otak menggarisbawahi aspek empiris dan rasionalitas. Sedangkan pandangan Ibn al-Qayyim menawarkan keseimbangan antara keduanya, bahwa akal adalah kemampuan jiwa yang berakar pada hati, namun beroperasi melalui otak.
Temuan-temuan modern dalam ilmu saraf (neurosains) memang menunjukkan bahwa proses berpikir terjadi di otak. Akan tetapi, Al-Qur’an menegaskan bahwa nilai-nilai moral, kesadaran, dan kebenaran berakar pada hati. Dengan demikian, pandangan Islam tetap relevan, karena ia tidak hanya berbicara tentang fungsi biologis akal, tetapi juga tentang makna etis dan spiritual dari berpikir itu sendiri.
Perbedaan ulama ushul tentang letak akal memperlihatkan keluasan pandangan Islam dalam memadukan dimensi rasional dan spiritual manusia. Akal bukan sekadar alat berpikir yang bersifat material, melainkan juga instrumen moral yang menuntun manusia mengenal Tuhannya.
Dalam pandangan Islam, kecerdasan sejati tidak hanya diukur dari kemampuan logika, tetapi dari kesucian hati yang menuntun pada kebenaran. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang memiliki hati, atau yang mendengarkan dengan penuh perhatian.” (QS. Qaf [50]: 37). Maka, manusia yang berakal sejati adalah mereka yang mampu memadukan nalar dan nurani, logika dan iman, sehingga pikirannya menjadi cahaya yang menuntun jalan menuju kebenaran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
