Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Pandemi, Masker, dan Pendidikan Karakter

Eduaksi | 2022-02-24 10:37:27
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/sejumlah-siswa-mengikuti-simulasi-pembelajaran-tatap-muka-ptm-terbatas_211004130530-995.jpg

Suatu waktu Kiai Dahlan diprotes santri-santrinya, karena terus mengajarkan Surah Al-Maun sampai mereka bosan. Mereka sudah hafal dan bahkan mempraktikkannya menjadi bacaan shalat. Maka para murid ini menuntut pengajaran surah baru, karena terlalu lama belajar Al-Maun.

“Apakah kalian sudah mengamalkannya?,” begitu tanya Kiai Ahmad Dahlan. Dan ternyata para santrinya baru tahap menghafalkan, belum mengamalkan pesan penting yang terkandung dalam Al-Maun, yakni keharusan mengurusi orang-orang dhuafa, mereka yang hidup dalam rantai kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Kiai Dahlan pun lantas meminta para santri berkeliling mencari orang miskin dan membawanya pulang. Tak sekadar dibawa, orang mikisn ini harus dimandikan dengan sabun, diselimuti dengan pakaian yang bersih, diberi makan dan minum hingga disediakan tempat tidur yang layak.

Lewat praktik demikian, Dahlan ingin menegaskan bahwa teks agama tidak cukup hanya dipahami sebagai doktrin, dihafal dan dikaji, tetapi minim pengamalan. Maka muncullah ungkapan Kiai Dahlan yang dikenang sampai saat ini; Ad-diinu huwa amal. Bahwa beragama adalah dengan beramal. Inilah pelajaran penting tentang pendidikan karakter yang dibenamkan seorang ulama pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Meski ia telah wafat pada 1923, tetapi ajaran nilai karakter yang ditanamkannya tetap langgeng sampai satu abad setelahnya. Pelajaran Al-Maun telah menjelma menjadi gerakan memperjuangkan layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umum untuk umat. Kini gerakan tersebut menjelma menjadi ratusan rumah sakit, ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi di seantero nusantara.

Apa yang diwariskan KH Ahmad Dahlan ini adalah contoh nyata paling monumental, betapa dahsyatnya dampak dari pendidikan karakter untuk para murid. Muhammadiyah kini menjadi organisasi Islam dengan aset amal usaha yang konon terbesar di dunia.

Saat ini, pendidikan karakter justru menjadi salah satu isu krusial yang dituntutkan publik pada praktik pendidikan sekolah di Indonesia. Nilai-nilai pendidikan karakter dianggap kian susut dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Cerita-cerita tentang kenakalan pelajar, sampai guru yang diperlakukan dengan semena-mena, masih sering kita baca dan tonton dari pemberitaan.

Krisis pendidikan karakter ini semakin menjadi ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak awal 2020 lalu dan berdampak pada semua sektor, termasuk pendidikan. Selama lebih dari setahun, anak-anak didik terpaksa harus mengikuti pola pembelajaran yang benar-benar baru bagi mereka, yakni pembelajaran jarak jauh secara daring. Tidak ada interaksi tatap muka guru dan murid, murid dengan murid, karena pembelajaran dilakukan di depan layar perangkat gadget dari rumah masing-masing. Pola ini membuat banyak guru, siswa hingga orang tua tertekan, stres. Bukan melulu karena kesulitan beradaptasi dengan teknologi, atau tidak juga an sich karena bertambahnya pengeluaran orang tua untuk beli perangkat ponsel pintar dan paket data internet. Lebih dari itu, para guru sadar metode pengajaran online ini tak bisa sepenuhnya efektif, rentang kendali yang jauh, dan tentu saja tak mampu mengcover misi mendidik itu sendiri.

Para orang tua pusing juga, karena jurus baru bernama daring ini alih-alih mempermudah akses belajar tanpa batas, yang terjadi justru lebih banyak mudharatnya: anak-anak yang menghabiskan waktu dengan gadget; paket data lekas habis lebih karena terkuras untuk game dan streaming youtube. Dan jangan salah, anak-anak juga stres, karena sekolah menjadi amat menemukan, mereka tak bisa bersosialisasi dan bermain bareng teman sekolah. Semua itu terjadi karena kebijakan pembetasan sosial demi memutus mata rantai penularan Covid-19.

PTM oh PTM

Suasana pembelajaran daring itu berlangsung lebih dari setahun. Tetapi penantian para guru, siswa dan orang tua akhirnya datang juga menjelang triwulan terakhir 2021, pembelajaran tatap muka (PTM) mulai dibuka kembali dengan berbagai pembatasan protokol kesehatan yang ketat. Riuh rendah suasana kehidupan sekolah pun kembali terdengar.

Sayangnya, memasuki Februari tahun 2021 ini, kasus Covid-19 kembali menunjukkan tren meningkat, setelah sekian bulan melandai. Penyebabnya tentu varian baru bernama Omicron. Dikutip dari republika.co.id, per 23 Februari 2022, kasus Covid-19 bertambah 61.488, sehingga total sebaran mencapai 5.350.902. Sementara kasus Covid-19 meningkat, maka level PPKM banyak daerah pun otomatis naik, sehingga berdampak lagi bagi keberlangsungan PTM. Karena banyak daerah kembali masuk ke PPKM Level 3, maka kebijakan PTM terpaksa diperketat lagi, dengan mengurangi kapasitas rombongan belajar maksimal 50% dari normal. Beberapa sekolah juga sempat menghentikan PTM karena adanya temuan warga sekolah yang terpapar Covid-19.

Lantas, dengan kasus Covid-19 yang masih menunjukkan tren meningkat, apakah keberlangsungan PTM akan kembali terancam? Tentu saja peluang untuk kembali menghentikan PTM tetap saja ada. Tetapi kalau boleh urun pertimbangan, pemerintah perlu menakar betul skala kemudharatan dari risiko penularan Covid-19, antara siswa tetap belajar di sekolah (PTM) atau belajar dari rumah (daring). Dari kasus terkonfirmasi yang ditemukan di beberapa sekolah di Pekalongan, Batang, dan Kendal misalnya, sebagian besar bukanlah cluster sekolah, melainkan penularan dari keluarga.

Kedua, faktanya tingkat kedisiplinan anak melaksanakan protokol kesehatan (prokes) lebih tinggi saat di sekolah ketimbang di rumah. Terlebih, banyak masyarakat yang mulai jenuh menggunakan masker sejak kasus Covid-19 melaindai pasca gelombang II tahun lalu.

Ketiga, para ahli menyebut tingkat keparahan yang dihasilkan dari varian Omicron dinilai lebih rendah ketimbang Delta. Dengan gejala klinis yang relatif ringan, meski daya tularnya konon tinggi, maka yang terpenting adalah pada pendisiplinan siswa untuk terus mengenakan masker selama berada di lingkungan sekolah, dan syukur-syukur di lingkungan tempat tinggalnya pun demikian.

Maka menghadapi gelombang Omicron ini, masker adalah kunci bagi sekolah untuk mengawal pelaksanaan PTM yang aman. Karena itu jauh lebih baik dibanding PTM harus kembali dihentikan. Karena pastilah bakal ada gelombang kekecewaan kedua dari guru, siswa, dan para orang tua. Karena para guru tidak hanya ingin mengajar, tetapi juga mendidik (karakter). Para orang tua juga ingin sekolah membantu menanamkan karakter pada anak-anaknya. Pun para siswa, senakal apapun mereka, pastilah ingin belajar riil di ruang kelas, di mana sang guru terpantau nyata dari sudut matanya. Maka dalam situasi pandemi sekalipun, penuhilah pendidikan karakter peserta didik melalui PTM. Kalau cemas dengan potensi cluster sekolah, maka kuncinya adalah disiplin bermasker. Jadi karakter dan masker adalah koentji!

Karena pendidikan karakter adalah inti dari pendidikan, dan proses itu sulit didapatkan hanya dengan mengajar di depan layar. Seperti pesan mendiang Martin Luther King Jr. “Intelligence plus character is the goal of true education”. []

Referensi tambahan:

https://www.republika.co.id/berita/r7r8a1436/covid19-kembali-naik-hari-ini-bertambah-61488-kasus diakses pada 24/2/2022 pukul 09.30 WIB.

https://tirto.id/kh-ahmad-dahlan-praktik-surat-al-maun-dalam-keluwesan-pergaulan-dp91, diakses pada 24/2/2022 pukul 08.47 WIB.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image