Mis Orientasi: Matinya Pendidikan Karakter Bangsa
Pendidikan dan Literasi | 2025-01-19 23:25:26Tragedi yang menimpa seorang siswi SMP di Palembang pada 1 September 2024 lalu, di mana ia menjadi korban pembunuhan dan rudapaksa oleh empat bocah, telah mengguncang masyarakat Indonesia. Kejadian ini, dilaporkan Tribun Sumsel pada 5 September 2024, mengingatkan kita kembali akan peran pendidikan yang lebih dari sekadar men-transfer pengetahuan, tetapi juga membentuk akhlak mulia serta karakter generasi muda.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut "UU SISDIKNAS"), pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Fungsi pendidikan bukan hanya untuk menghasilkan anak didik yang cerdas secara akademis, melainkan juga membentuk kepribadian yang baik, menjauhkan mereka dari perilaku kekerasan, bullying, apalagi tindakan kriminal seperti pembunuhan dan rudapaksa. Namun, tragedi seperti yang terjadi di Palembang menunjukkan adanya kegagalan dalam mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan sistem pendidikan kita? Mengapa nilai-nilai moral dan akhlak tidak mampu membendung tindakan keji ini? Tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai pentingnya pendidikan dalam membangun karakter generasi bangsa, serta tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan amanat dari UU SISDIKNAS.
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Karakter merupakan fondasi dari setiap individu dan pendidikan memiliki peran kunci dalam pembentukannya. Menurut Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan karakter, pendidikan karakter adalah usaha yang disengaja untuk membantu individu memahami, mempercayai, dan melaksanakan nilai-nilai moral yang baik. Pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada intelektual, tetapi juga pada pengembangan karakter peserta didik agar mereka dapat bertindak berdasarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut UU SISDIKNAS, fungsi utama sekolah adalah menjadikan anak didik sebagai individu yang berakhlak mulia. Namun kenyataannya, sistem pendidikan kita sering kali hanya berorientasi pada prestasi akademik, mengabaikan aspek moral dan etika. Abdullah Idi, seorang ahli pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, menyatakan bahwa banyak sekolah hanya fokus pada ujian dan nilai, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada pendidikan karakter. Ini yang membuat anak-anak kurang memiliki sensitivitas moral sehingga mudah terjerumus pada perilaku yang tidak terpuji.
Penyebab dan Motif Tindakan Kriminal Anak Usia Sekolah
Kasus kejahatan oleh anak-anak bukanlah fenomena baru di Indonesia, tetapi peristiwa yang melibatkan 4 (empat) bocah sebagai pelaku pembunuhan dan rudapaksa sungguh mengejutkan. Ada banyak faktor yang diduga menjadi motif di balik tindakan ini, mulai dari kurangnya pengawasan orang tua, pengaruh media sosial, hingga lingkungan pergaulan yang buruk. Namun, salah satu faktor yang sering terabaikan adalah kegagalan pendidikan dalam membentuk karakter anak.
Menurut Seto Mulyadi, psikolog anak sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), salah satu penyebab utama perilaku kriminal pada anak adalah lemahnya pengajaran tentang nilai-nilai moral dan etika di sekolah. Ia menegaskan bahwa pendidikan karakter harus diberikan sejak dini, baik di sekolah maupun di rumah agar anak-anak memiliki pondasi moral yang kuat dalam menghadapi tantangan hidup. Selain itu, Seto Mulyadi juga menyoroti pengaruh negatif dari paparan media sosial yang sering kali menampilkan kekerasan sebagai hal yang normal sehingga anak-anak cenderung meniru tanpa pemahaman yang benar.
Peran Pendidikan dalam Mengatasi Masalah Karakter
Kasus tragis ini seharusnya menjadi cermin bagi seluruh elemen masyarakat, terutama lembaga pendidikan, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan. Sekolah tidak boleh hanya menjadi tempat anak belajar akademik, tetapi juga menjadi tempat mereka belajar tentang kehidupan, nilai-nilai kebaikan, dan cara berperilaku yang benar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat pendidikan karakter di sekolah. Seperti yang diusulkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui Proyek Pengembangan Profil Pelajar Pancasila (P5) dapat menjadi salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah ini.
P5 mengintegrasikan nilai-nilai religius, nasionalis, gotong royong, integritas, dan kemandirian dalam setiap aspek pembelajaran. Dengan demikian, setiap pelajaran tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai moral.
Selain itu, sekolah juga harus lebih aktif dalam membangun komunikasi dengan orang tua. Sebuah studi yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Orang tua dan guru harus bekerja sama dalam membimbing anak-anak untuk memahami perbedaan antara yang benar dan salah serta membentuk perilaku yang positif.
Meningkatkan Kesadaran tentang Bahaya Bullying dan Kekerasan Seksual
Kasus kekerasan seksual dan bullying di kalangan pelajar bukanlah isu yang baru, namun perhatian terhadap masalah ini masih minim. Sekolah perlu mengambil langkah lebih tegas dalam mencegah tindakan bullying dan kekerasan seksual melalui edukasi dan sosialisasi yang lebih masif. Rini Handayani, seorang ahli pendidikan karakter, menekankan bahwa sekolah harus memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas, serta menyediakan program konseling yang mudah diakses oleh siswa. Ia juga menyarankan adanya pengenalan tentang kesetaraan gender dan pendidikan seks yang komprehensif di sekolah agar siswa memahami batasan-batasan perilaku yang baik dan buruk.
Tragedi pembunuhan dan rudapaksa oleh empat anak sekolah di Palembang adalah peringatan keras bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter anak bangsa agar mereka tumbuh menjadi individu yang berakhlak mulia, sesuai dengan amanat UU SISDIKNAS. Namun, untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan komitmen dari semua pihak, termasuk sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Pendidikan karakter harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan kita. Sekolah perlu berbenah, memperkuat pengajaran nilai-nilai moral, serta bekerja sama dengan orang tua dan lingkungan untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan akhlak yang baik. Tragedi ini harus menjadi titik balik untuk mengevaluasi kembali sistem pendidikan kita dan memastikan bahwa pendidikan di Indonesia benar-benar mampu menghasilkan generasi yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.