Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Malik Sani Ibnu Zahir

Antara Kata dan Lupa: Potret Sepinya Sastra Masa Kini

Sastra | 2025-04-11 00:31:23
kenapa sastra kian dijauhi?

Sastra, sebagai salah satu pilar utama kebudayaan, telah memainkan peran penting dalam membentuk peradaban manusia. Ia tidak hanya menjadi wadah ekspresi jiwa, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, politik, dan budaya dari zaman ke zaman. Namun, belakangan ini, dunia sastra mengalami penurunan minat yang cukup signifikan, terutama di kalangan generasi muda. Perpustakaan yang dahulu menjadi tempat favorit para pencinta kata kini sepi pengunjung. Buku-buku sastra klasik pun lebih sering terlihat sebagai pajangan daripada bacaan yang digemari. Lalu, mengapa sastra kini kian sepi dan kurang peminat?

1. Perubahan Pola Konsumsi Media

Kehadiran teknologi digital membawa perubahan besar dalam cara orang mengonsumsi informasi dan hiburan. Masyarakat kini lebih tertarik pada konten visual yang cepat dan instan, seperti video pendek, podcast, dan media sosial. Kecepatan menjadi nilai utama, menggantikan kedalaman dan kontemplasi yang ditawarkan oleh karya sastra. Di tengah arus informasi yang deras dan serba cepat, membaca novel setebal 500 halaman bukan lagi pilihan utama. Sastra kalah saing dalam hal kepraktisan dan kecepatan.

2. Minimnya Eksposur dan Apresiasi Sastra di Pendidikan Formal

Sistem pendidikan formal belum sepenuhnya berhasil menghidupkan gairah sastra di kalangan pelajar. Pembelajaran sastra sering kali terbatas pada aspek teknis dan hafalan, bukan pada pemahaman makna dan penghayatan estetika. Guru seringkali lebih fokus pada struktur puisi atau latar cerita daripada menggali nilai-nilai humanistik yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, siswa tidak merasakan kedekatan emosional dengan karya sastra dan menganggapnya sebagai beban akademik semata.

3. Krisis Literasi dan Budaya Membaca

Meskipun angka melek huruf meningkat, hal ini tidak serta merta berbanding lurus dengan minat baca. Krisis literasi yang terjadi saat ini lebih bersifat kualitatif: banyak orang bisa membaca, tapi tidak terbiasa membaca dengan mendalam. Mereka cenderung membaca secara sekilas, tanpa merenungi isi dan konteks. Sastra yang menuntut perhatian, kesabaran, dan empati menjadi kurang diminati karena tidak sesuai dengan kebiasaan membaca yang terbentuk di era digital.

4. Kurangnya Dukungan terhadap Penulis dan Penerbit Sastra

Industri sastra menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan eksistensinya. Banyak penerbit enggan mengambil risiko menerbitkan karya sastra karena dianggap tidak menguntungkan secara komersial. Di sisi lain, penulis sastra juga kesulitan menemukan ruang publikasi yang memadai. Tanpa dukungan yang kuat dari ekosistem penerbitan dan media, karya-karya sastra sulit menjangkau pembaca luas.

5. Stigma Elitis dan Kurangnya Relevansi

Sastra sering kali dipandang sebagai sesuatu yang "berat" dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan intelektual. Citra ini menciptakan jarak antara karya sastra dan pembaca awam. Padahal, sastra sejatinya lahir dari kehidupan rakyat dan menceritakan persoalan-persoalan manusia yang universal. Kurangnya pendekatan yang menjembatani sastra dengan realitas sehari-hari membuat karya sastra terasa jauh dan tidak relevan.

6. Tantangan dan Peluang di Era Digital

Meski era digital menjadi tantangan, ia juga menghadirkan peluang baru. Platform digital dapat menjadi wadah alternatif bagi penulis dan pembaca sastra. Blog, e-book, dan media sosial dapat dimanfaatkan untuk mendistribusikan karya sastra secara lebih luas dan demokratis. Komunitas sastra daring, seperti forum diskusi dan klub buku virtual, menjadi ruang baru untuk menumbuhkan minat dan apresiasi terhadap sastra. Namun, ini semua membutuhkan kreativitas dan inovasi dari para pelaku sastra untuk menyesuaikan diri dengan zaman.

Menumbuhkan Kembali Gairah Sastra

Menghidupkan kembali minat terhadap sastra bukanlah tugas yang mudah, namun bukan pula sesuatu yang mustahil. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil antara lain:

  • Memperbarui kurikulum pendidikan agar lebih menekankan aspek apresiatif dan kontekstual dalam pembelajaran sastra.
  • Mendorong kolaborasi antara dunia pendidikan, media, dan komunitas kreatif untuk memperluas akses terhadap karya sastra.
  • Memberikan insentif dan dukungan kepada penulis muda dan penerbit independen.
  • Mengangkat tema-tema yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dalam karya sastra agar lebih membumi dan mudah dipahami.
  • Mengembangkan platform digital khusus sastra yang menarik dan interaktif.

Sastra adalah jendela untuk memahami kompleksitas manusia dan kehidupan. Ia adalah cermin budaya, sekaligus alat untuk membentuk empati, kritisisme, dan imajinasi. Ketika minat terhadap sastra memudar, kita kehilangan sebagian dari jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya. Oleh karena itu, upaya untuk menghidupkan kembali sastra adalah tanggung jawab bersama—dari pemerintah, institusi pendidikan, media, komunitas, hingga individu pembaca.

Sudah saatnya kita tidak hanya menanyakan, "Mengapa sastra sepi?", tetapi juga bertanya, "Apa yang bisa saya lakukan untuk membuatnya hidup kembali?"

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image