Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image EDY SUPRATMAN

Guru Robot hingga AI Tutor: Bagaimana Teknologi Ubah Ruang Kelas Masa Depan

Eduaksi | 2025-04-21 11:35:15

 

Bahasa Indonesia

Dalam sebuah kelas di Seoul, Korea Selatan, anak-anak usia 6 tahun dengan riang berinteraksi dengan robot berbentuk boneka beruang yang bisa berbicara, menari, bahkan mengajarkan kosakata baru. Robot itu bernama "Alpha Mini", dan ia bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian dari sistem pembelajaran harian. Fenomena seperti ini bukan lagi sekadar adegan dalam film fiksi ilmiah. Di berbagai penjuru dunia, teknologi mulai meresap ke dalam ruang kelas—mengubah cara guru mengajar, siswa belajar, dan institusi pendidikan beradaptasi.

Teknologi kecerdasan buatan (AI) dan robotika kini menjadi dua poros utama dalam revolusi pendidikan abad ke-21. Salah satu contoh paling mutakhir datang dari Finlandia, di mana startup bernama Curious Technologies memperkenalkan AI Tutor yang mampu menyesuaikan materi pelajaran berdasarkan emosi dan tingkat pemahaman siswa. Di Indonesia sendiri, beberapa sekolah swasta di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya mulai mengadopsi platform pembelajaran berbasis AI yang dapat memetakan gaya belajar tiap murid dan menyajikan materi secara personal.

“Yang kita saksikan saat ini adalah titik awal dari transformasi besar dalam dunia pendidikan,” ujar Prof. Diah Kusumawardani, pakar teknologi pendidikan dari Universitas Gadjah Mada. Dalam wawancara eksklusif, Diah menegaskan bahwa AI dan automasi bukanlah pengganti guru, melainkan alat yang memperluas kapasitas mereka. “Guru masa depan akan lebih menjadi fasilitator dan pembimbing kreatif, sementara tugas-tugas administratif dan repetitif akan ditangani AI.”

Namun, tidak semua pihak menyambut perubahan ini tanpa kekhawatiran. Dr. Samuel Tan, peneliti etika teknologi dari National University of Singapore, mengingatkan soal risiko ketergantungan pada sistem otomatis. “Ketika pembelajaran sangat disesuaikan oleh mesin, kita harus hati-hati agar nilai-nilai kemanusiaan seperti empati dan interaksi sosial tidak terpinggirkan,” katanya. Samuel juga menyoroti bagaimana teknologi dapat memperlebar jurang digital jika tidak diakses secara merata.

Di sisi lain, data menunjukkan potensi luar biasa dari pendekatan berbasis AI. Sebuah studi oleh McKinsey (2023) mencatat bahwa siswa yang menggunakan tutor AI secara reguler menunjukkan peningkatan 25% dalam hasil ujian matematika dan sains. Hal ini sejalan dengan pengalaman guru-guru di Jepang yang menggunakan sistem AI untuk mengevaluasi esai siswa secara instan, menghemat waktu dan memberikan umpan balik yang lebih cepat.

Tak kalah menarik, robot pengajar kini mulai diujicobakan dalam konteks pembelajaran inklusif. Di Belanda, robot “Tessa” digunakan untuk mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran dasar. Robot ini dirancang mampu membaca ekspresi wajah dan merespon emosi, sebuah terobosan dalam membantu anak-anak dengan autisme atau gangguan komunikasi lainnya.

Perubahan ini juga membawa dampak signifikan terhadap peran dan fungsi guru di dalam kelas. Jika sebelumnya guru adalah satu-satunya sumber pengetahuan, kini mereka lebih berperan sebagai pengelola informasi, fasilitator pembelajaran, bahkan mitra diskusi siswa. Di sekolah dasar di Singapura, misalnya, para guru bekerja berdampingan dengan asisten virtual bernama “SARA” (Smart Assistant for Real-time Assessment), yang bertugas menganalisis performa siswa dalam kuis harian dan memberikan rekomendasi materi tambahan. Dengan begitu, guru bisa lebih fokus mendampingi siswa yang mengalami kesulitan belajar secara individual, alih-alih sibuk memeriksa puluhan lembar tugas.

Pengalaman berbeda juga terjadi di SMA Negeri 6 Yogyakarta, yang sejak tahun 2023 mulai mengintegrasikan AI dalam mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris. “Awalnya saya ragu karena khawatir siswa terlalu bergantung pada mesin,” kata Yuniarti, guru matematika senior di sekolah tersebut. “Namun setelah beberapa bulan, saya melihat peningkatan keterlibatan siswa. Mereka jadi lebih aktif bertanya dan berdiskusi karena sudah punya pemahaman awal yang dibantu AI Tutor.” Menurut Yuniarti, tugasnya justru menjadi lebih menantang dan menarik, karena ia kini dituntut untuk mengelola diskusi yang lebih mendalam, bukan sekadar menyampaikan rumus.

Pergeseran ini menciptakan peluang sekaligus tantangan besar dalam sistem pendidikan nasional. Kurikulum harus dirancang ulang agar sejalan dengan kecerdasan buatan—bukan untuk menyainginya, tetapi untuk memaksimalkan potensi manusiawi siswa. “Kita tidak boleh hanya fokus pada adaptasi teknologi. Justru saat seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi apa esensi dari pendidikan itu sendiri,” ujar Dr. Rika Prameswari, Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek. Ia menambahkan bahwa pendidikan harus mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan empati—hal-hal yang belum bisa sepenuhnya digantikan oleh teknologi, bahkan oleh AI tercanggih sekalipun.

Menariknya, siswa sendiri menunjukkan respons yang cukup antusias terhadap teknologi ini. Dalam survei kecil yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan Indonesia (LPPI) terhadap 500 siswa SMA di lima kota besar, 68% responden menyatakan bahwa pembelajaran berbasis teknologi membuat mereka lebih termotivasi dan merasa ‘dipahami’ karena materi disesuaikan dengan ritme belajar masing-masing. Namun, 21% siswa menyatakan khawatir bahwa ketergantungan pada AI membuat mereka malas berpikir mandiri. Ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi di ruang kelas tetap memerlukan pengawasan dan pendekatan holistik, tidak sekadar mengganti guru dengan mesin pintar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image