Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trias Istina

Sekolah Ingin Mendidik untuk Hidup, Tapi Sistem Masih Mengejar Nilai?

Edukasi | 2025-04-21 10:10:38

Di tengah gelombang perubahan global yang semakin cepat dan kompleks, pendidikan Indonesia seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyiapkan generasi yang tangguh, berpikir kritis, adaptif, dan berkarakter. Namun realitas yang kita hadapi di lapangan sering kali menunjukkan sebaliknya: siswa masih dicekoki hafalan, guru diburu target administrasi, dan orang tua terjebak pada obsesi nilai rapor. Di antara semangat inovasi dan realitas konservatif itulah sistem pendidikan kita terombang-ambing, kehilangan arah yang sejati.

Pendidikan untuk Siapa?

Jika ditanya kepada sebagian besar orang tua, pendidikan yang baik adalah yang menjamin anaknya masuk sekolah favorit, lulus dengan nilai tinggi, lalu diterima di perguruan tinggi ternama. Tidak sedikit pula yang menganggap pendidikan semata jalur untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, keberhasilan siswa pun dinilai dari aspek kognitif yang terukur melalui angka—bukan proses belajar, bukan karakter, bukan kompetensi kehidupan.

Pandangan tersebut tentu tidak salah sepenuhnya, namun sudah tidak relevan dengan tuntutan masa depan. Di era digital, lapangan pekerjaan berubah drastis. Banyak pekerjaan lama menghilang, dan profesi-profesi baru bermunculan. Dunia kerja kini lebih mencari kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, dan karakter yang tangguh. Sayangnya, sistem pendidikan kita belum sepenuhnya menyiapkan itu semua.

Sekolah Terjebak di Tengah Tarik Ulur

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah sebenarnya telah mencoba menggeser arah pendidikan melalui Kurikulum Merdeka. Ada upaya menekankan pembelajaran berdiferensiasi, proyek penguatan profil pelajar Pancasila, serta pengurangan beban kognitif yang berlebihan. Kurikulum ini membawa angin segar karena memberi ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dan minatnya, serta mengaitkan pembelajaran dengan konteks dunia nyata.

Namun, di lapangan, sekolah seringkali kesulitan menjalankan pendekatan ini secara utuh. Mengapa? Karena sekolah berada dalam tekanan dari dua arah. Di satu sisi, ada dorongan dari pemerintah untuk berubah. Di sisi lain, ada harapan konservatif dari sebagian besar orang tua yang masih menganggap nilai dan peringkat sebagai satu-satunya indikator keberhasilan pendidikan. Maka, tak jarang sekolah akhirnya menjalankan “dua wajah”: satu sisi mencoba inovatif, tapi sisi lain tetap tunduk pada tuntutan nilai.

Lebih rumit lagi, guru pun masih dibebani oleh tumpukan administrasi dan asesmen formal yang rigid. Alih-alih fokus pada proses pembelajaran yang bermakna, mereka sibuk menyusun perangkat, mengejar target, dan menghindari teguran. Akibatnya, proses pembelajaran sering kali dangkal, tidak kontekstual, dan minim refleksi.

Anak-anak yang Terjepit

Yang paling dirugikan dari tarik ulur antara sistem, sekolah, dan rumah adalah peserta didik. Di satu sisi, mereka didorong untuk kreatif dan berpikir mandiri. Di sisi lain, mereka ditekan untuk menghafal dan mendapat nilai tinggi. Anak-anak menjadi bingung: mana yang sebenarnya penting? Tak sedikit yang kehilangan minat belajar karena merasa proses di sekolah tidak memberi makna, hanya tekanan.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap meningkatnya angka stres, kecemasan, bahkan depresi pada pelajar. Banyak dari mereka merasa gagal hanya karena tidak mencapai nilai tertentu, padahal mereka sedang belajar secara aktif dan berkembang dalam dimensi lain yang tidak diukur oleh angka.

Solusi: Membangun Ekosistem Pendidikan yang Kolaboratif

Masalah pendidikan Indonesia bukan hanya terletak pada kurikulumnya, tapi pada ekosistem pendidikannya secara keseluruhan. Tidak cukup membenahi isi dokumen kurikulum, kita juga perlu mereformasi cara pandang masyarakat terhadap makna pendidikan itu sendiri.

Pertama, perlu ada literasi pendidikan yang menyeluruh untuk para orang tua. Sekolah harus membuka ruang dialog terbuka dengan keluarga, bukan hanya saat pembagian rapor atau ketika ada masalah. Orang tua perlu memahami bahwa dunia anak-anak sangat berbeda dari masa sekolah mereka dulu. Nilai bukan segalanya. Yang lebih penting adalah apakah anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang mampu menghadapi tantangan hidup dengan percaya diri, punya empati, dan mampu belajar sepanjang hayat.

Kedua, sekolah dan guru perlu diberi kepercayaan lebih untuk menjalankan pendekatan yang kontekstual. Alih-alih dikontrol ketat dengan aturan administratif yang kaku, mereka perlu difasilitasi untuk berinovasi dan menyesuaikan pendekatan pembelajaran dengan karakteristik peserta didik. Supervisi harus beralih dari orientasi kelengkapan dokumen ke penguatan kualitas proses belajar.

Ketiga, asesmen harus berubah. Asesmen masa depan tidak bisa hanya berbasis pilihan ganda dan ujian akhir. Kita perlu menilai proses belajar, keterampilan berpikir, kerja tim, dan refleksi diri. Bukan hal mudah, tetapi sangat mungkin jika ada kemauan politik dan dukungan lintas sektor.

Pendidikan untuk Masa Depan

Masa depan Indonesia akan sangat ditentukan oleh arah pendidikannya hari ini. Jika kita terus menilai anak-anak berdasarkan angka semata, kita akan kehilangan generasi pemikir yang bebas, kreatif, dan solutif. Jika kita terus menekan sekolah dengan administrasi dan ujian, kita akan kehilangan ruang untuk inovasi dan refleksi.

Sebaliknya, jika kita mau membangun pendidikan yang memerdekakan, kolaboratif, dan berorientasi pada kehidupan nyata, maka kita sedang menanam benih masa depan bangsa yang lebih tangguh. Pendidikan bukan sekadar jalan ke pekerjaan, tapi jalan menjadi manusia seutuhnya.

Arah Pendidikan Adalah Arah Bangsa

Sudah saatnya kita bertanya ulang: pendidikan ini untuk siapa? Untuk mengejar nilai atau untuk menyiapkan kehidupan? Untuk ranking atau untuk makna?

Masa depan tidak akan menunggu kita. Jika kita tidak segera mengubah cara pandang dan cara kita mendidik, maka bukan hanya anak-anak yang tertinggal—tapi seluruh bangsa ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image