Melacak Titik Awal Perjalanan Islamophobia (Bagian 2)
Sejarah | 2022-02-21 21:14:12Irena Milosevic & Randi E. McCabe dalam bukunya Phobias The Psycology of Irrational Fear, 2015 : xiv dan 304 menyebutkan, secara etimologis phobia berasal dari bahasa Yunani, phobos yang berarti takut.
Dalam mitos Yunani, Phobos merupakan sosok dewa yang menakutkan. Biasanya digambarkan dengan sosok berwajah seram, bertaring tajam yang bercucuran darah, dengan latar belakang gambar api yang membara. Tugas dewa ini adalah mengusir musuh-musuh yang mengacaukan negeri Yunani.
Todd H. Green dalam bukunya The Fear of Islam An Introduction to Islamphobia in the West, 2015 : 9 memberikan pengertian terminologis terhadap islamophobia yakni kengerian dan kebencian terhadap ajaran Islam yang sekaligus juga kebencian terhadap para penganutnya.
Ketakutan (phobia) terhadap Islam merupakan ketakutan yang tak beralasan alias ketakuatan secara sosial-politik yang dipaksakan. Akibatnya, para penganut Islam harus dikeluarkan dari berbagai kegiatan sosial, politik, dan ekonomi.
Dengan demikian, secara keilmuan, istilah islamophobia yang berkembang pada saat ini bukanlah istilah yang mengacu kepada psikologi klinis, seperti misalnya nomophobia (ketakutan berlebihan ketika berpisah dengan handphone), ophidiophobia (ketakutan berlebihan akan ular), atau pyrophobia (ketakutan berlebihan akan api). Namun, istilah islamophobia lebih mengarah kepada emosi dan sikap negatif yang diarahkan kepada Islam dan umatnya.
Lalu adakah perilaku islamophobia pada masa-masa umat Islam hidup bersama Rasulullah saw?
Meskipun belum dikenal istilah islamophobia, benih-benih kebencian terhadap Islam baik secara lisan maupun tulisan sudah ada sejak masa dakwah Rasulullah saw. Secara lisan dan tulisan, orang-orang yang membenci Islam pada waktu itu, dan selalu menyebarkan stigma Rasulullah saw.
Sebut saja Musailamah al Kadzdzab yang habis-habisan menghina Rasulullah saw. Ibnu Katsir dalam salah satu karyanya Tafsir al Quran al ‘Adhim Juz VIII, 1997 M – 1418 H : 479 menyebutkan, penghinaan yang ia lakukan tak tanggung-tanggung, ia mengaku sebagi Nabi pesaing Nabi Muhammad saw dan juga membuat sya’ir yang diklaim dirinya sebagai pesaing al Qur’an yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.
Sosok lainnya yang menyebar kebencian terhadap Islam adalah Abu Izzah Amr Bin Abdullah Al-Jumahi. Ia seorang sastrawan kafir Quraisy. Ia sangat terkenal bukan karena syair-syairnya yang bagus dan mengesankan, melainkan karena keberaniannya mengejek dan menjelek-jelekan Rasulullah saw dan para pengikutnya.
Ketika terjadi perang Badar, Abu Izzah tertangkap. Ia ditawan atas perintah Rasulullah saw. Selama dalam tawanan, ia menunjukkan sikap yang baik, sampai-sampai Rasulullah saw dan para sahabat berkeyakinan, ia benar-benar telah menyesali perbuatannya.
Oleh karena itu, ketika ia mengajukan “grasi”, Rasulullah saw mengabulkannya. Ia dibebaskan dengan syarat tak akan lagi menghina, menjelekkan, dan menghalangi lagi dakwah Rasullah saw dan para sahabatnya. Ia menyetujui dan mengucapkannya dengan mantap.
Namun setelah dibebaskan, ia tak berhenti mengejek dan menjelek-jelekkan Rasulullah saw. Ia berupaya keras membangkitkan semangat orang-orang kafir untuk mengahalangi dakwah Rasullah saw dan para sahabatnya.
Imam an Nawawi dalam salah satu karyanya Al Minjah fi Syarhi Shahih Muslim bin Al Hajjaj Syarhu al Nawawi ‘ala Muslim (Syarah Kitab Hadits Shahih Imam Muslim) hadits nomor 2998 menyebutkan, setelah perang Uhud, ia tertangkap lagi.
Setelah beberapa lama ditawan, tanpa rasa malu ia mengajukan kembali “grasi” dengan janji seperti ketika tertangkap di perang Badar. Namun, Rasululullah saw menolak permohonan “grasi” yang diajukannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.