Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image muhamad fidhan

Bukan Kutukan, Cuma Penyakit: Bongkar Stigma HIV/AIDS dengan Empati

Edukasi | 2025-01-02 18:42:29

Apa yang ada pikirkan kalian ketika bertatap muka dengan pasien pengidap HIV/AIDS? Tentu saja akan merasa aneh atau memilih menghindar. Pada pembahasan kali ini Stigma sosial terhadap Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) akan menjadi fokus utama. Stigma Masyarakat tentang HIV/AIDS masih menjadi tantangan besar dalam masyarakat kita. Meskipun kemajuan medis telah membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan penyakit ini, persepsi negatif yang bersumber dari ketidaktahuan dan prasangka terus menciptakan hambatan bagi individu yang hidup dengan HIV/AIDS.

Dalam perspektif Masyarakat sekitar, stigma terhadap HIV/AIDS seringkali terkait dengan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan keyakinan yang ada dalam masyarakat. Penyakit ini sering diasosiasikan dengan perilaku yang dianggap menyimpang atau tidak bermoral, seperti penggunaan narkoba dan hubungan seksual di luar nikah. Stereotip semacam ini menciptakan gambaran yang salah tentang bagaimana HIV ditularkan, sehingga memperburuk diskriminasi terhadap penderita.

Sumber Ilustrasi: Tribun Lampung/wow.tribunnews.com

Sebuah laporan dari UNAIDS menunjukkan bahwa lebih dari 60% orang yang hidup dengan HIV di Asia Tenggara masih mengalami diskriminasi di lingkungan kerja karena ketidaktahuan tentang bagaimana HIV ditularkan. Selain itu, penelitian oleh Yuniarti et al. (2023) menunjukkan bahwa stigma terhadap ODHA di Indonesia masih tinggi, terutama di daerah dengan akses informasi yang terbatas.

Budaya juga memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini. Dalam beberapa komunitas, HIV/AIDS dianggap sebagai bentuk hukuman atas pelanggaran moral atau dosa. Pandangan ini tidak hanya menambah beban emosional bagi penderita, tetapi juga mendorong mereka untuk menyembunyikan kondisi mereka, sehingga menghambat akses ke layanan kesehatan yang diperlukan. Pendekatan budaya kesehatan menyoroti pentingnya memahami konteks lokal dalam mengatasi stigma ini.

Salah satu contoh nyata dari tantangan ini adalah bagaimana masyarakat sering kali lebih fokus pada siapa yang "bersalah" atas penularan HIV daripada mendukung langkah-langkah pencegahan dan pengobatan. Menurut laporan dari WHO (2023), diskriminasi berbasis stigma mengurangi efektivitas program kesehatan masyarakat hingga 40%, terutama di wilayah pedesaan.

Namun, ada harapan. Pendidikan adalah kunci utama dalam memerangi stigma. Dengan memberikan informasi yang akurat tentang cara penularan HIV, pentingnya pengobatan antiretroviral, dan fakta bahwa HIV tidak menular melalui kontak sehari-hari, kita dapat mengurangi ketakutan yang tidak berdasar. Kampanye kesadaran publik yang melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan media juga dapat membantu mengubah persepsi masyarakat. Selain itu, pendekatan berbasis komunitas yang mempertimbangkan nilai-nilai budaya lokal sangat penting. Dalam beberapa kasus, program kesehatan masyarakat yang melibatkan tokoh adat atau pemuka agama terbukti lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan terhadap penderita HIV/AIDS.

Komunikasi yang Efektif dan Terapeutik

Komunikasi yang efektif dan terapeutik sangat penting dalam mendukung individu yang hidup dengan HIV/AIDS. Cara-cara berikut dapat diterapkan untuk menciptakan komunikasi yang lebih baik:

  1. Pendekatan Empati: Dengarkan dengan seksama tanpa menghakimi. Empati membantu menciptakan rasa aman bagi penderita untuk berbagi pengalaman mereka.
  2. Bahasa yang Sensitif: Gunakan kata-kata yang tidak menstigmatisasi. Hindari penggunaan istilah yang bersifat menghakimi atau diskriminatif.
  3. Keterbukaan Informasi: Sampaikan informasi dengan jelas, faktual, dan mudah dimengerti, sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman terkait HIV/AIDS.
  4. Mendukung Keberdayaan: Dorong penderita untuk mengambil keputusan yang mendukung kesehatan mereka, seperti mengikuti terapi antiretroviral secara konsisten.
  5. Privasi dan Kerahasiaan: Pastikan bahwa percakapan yang dilakukan bersifat rahasia untuk membangun kepercayaan.

Mengutip dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Prihanto et al. (2023), menjelaskan bahwa komunikasi berbasis empati meningkatkan kepatuhan penderita HIV/AIDS terhadap terapi hingga 70% dibandingkan dengan pendekatan komunikasi biasa Dengan pendekatan komunikasi ini, tenaga kesehatan dan masyarakat dapat membantu mengurangi stigma serta memberikan dukungan yang berarti bagi mereka yang hidup dengan HIV/AIDS.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image