Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Donny Syofyan

Hubungan Fiksi dan Psikiatri: Mengapa Psikiater Harus Menjadi Penulis?

Sastra | 2025-09-13 06:56:34

Donny Syofyan

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Psikiater dan penulis fiksi adalah dua profesi yang tampaknya berada di dunia berbeda, tetapi benarkah demikian? Sebuah artikel dari BJPsych Bulletin membahas pertanyaan menarik ini: haruskah psikiater menulis fiksi? Henry Bladon (2018) mengeksplorasi hubungan antara psikiatri dan fiksi, khususnya peran psikiater sebagai penulis fiksi, dan bagaimana hal ini dapat mengatasi masalah stigma serta citra negatif yang sering digambarkan dalam media.

Menurut Bladon, psikiater seharusnya menulis fiksi. Mengapa? Karena mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan klinis yang unik yang bisa mereka masukkan ke dalam narasi fiksi, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih positif tentang kesehatan mental. Ada banyak contoh psikiater yang juga menjadi penulis terkenal, seperti Anton Chekhov dan Oliver Sacks. Femi Oyebode, seorang psikiater dan penyair, bahkan melihat adanya kesamaan antara tugas penulis fiksi dan psikiater, yaitu sama-sama mencoba memahami perilaku manusia.

Dulu, ada hubungan erat antara sastra dan psikiatri, namun hubungan ini terputus di abad ke-20. Dengan menulis fiksi, psikiater bisa membantu memulihkan kembali hubungan itu. Penulis fiksi sering menggunakan "kegilaan" sebagai subjek yang menarik, tetapi sering kali penggambaran mereka tidak akurat, menghasilkan stereotip negatif tentang kesehatan mental dan para profesionalnya.

Di sinilah peran psikiater-penulis menjadi sangat penting. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang pasien mereka, yang bisa menghasilkan ilustrasi karakter dan latar yang lebih lengkap dan akurat. Psikiater sudah selangkah lebih maju dalam proses penulisan fiksi, karena mereka sudah memiliki pengetahuan yang dibutuhkan. Penulis seperti Sebastian Faulks bahkan menghabiskan lima tahun untuk riset bukunya tentang psikiatri, "Human Traces," sementara psikiater bisa melewati tahap itu.

Namun, ada beberapa pihak yang menentang ide ini. Mereka khawatir psikiater akan memanipulasi pasien atau penulisan mereka akan terlalu kaku dan penuh jargon teknis. Para kritikus ini berpendapat bahwa penulis yang bekerja secara terapeutik seharusnya tidak menulis. Tapi, Bladon berargumen bahwa keahlian seorang penulis justru terletak pada kemampuannya menciptakan dunia yang berbeda dari pengalaman nyata, meskipun tujuannya adalah agar dunia itu terasa nyata.

Bladon menyarankan dua tujuan utama bagi psikiater yang ingin menulis fiksi. Pertama, mengoreksi stigma; meningkatkan kesadaran, mendidik masyarakat, dan mempromosikan kesehatan mental yang baik. Kedua, melawan citra negatif; mengubah persepsi negatif terhadap psikiatri dan psikiater.

Media sering kali menyebarkan citra negatif tentang kesehatan mental, yang berdampak besar pada stigma. Fiksi yang ditulis oleh psikiater dapat menjadi rumus ampuh untuk menyampaikan kebenaran dan kebijaksanaan, yang menghasilkan pemahaman yang lebih baik. Sastra fiksi dapat memengaruhi cara masyarakat memandang penyakit mental. Hal ini akan mendorong pandangan yang lebih simpatik dan terinformasi tentang pekerjaan psikiater.

Citra negatif ini sudah lama menghantui psikiatri. Jacqueline Hopson berpendapat bahwa psikiater dijadikan iblis dalam fiksi, digambarkan sebagai sosok yang mencurigakan dan menakutkan, sering kali dengan tema penyalahgunaan kekuasaan. Karya-karya seperti "The Snake Pit" atau "The Bell Jar" karya Sylvia Plath memperkuat citra ini. Dampak dari penggambaran negatif ini sangat signifikan, mulai dari masalah rekrutmen psikiater hingga cemoohan dari kolega di cabang kedokteran lain.

Dengan menulis, psikiater dapat menunjukkan seperti apa profesi mereka sebenarnya. Psikiater Monica Starkman, misalnya, menulis novel "The End of Miracles" dengan tujuan menunjukkan psikiatri dan psikiater sebagaimana adanya, bukan sebagai stereotip. Meskipun ada beberapa karakter psikiater yang tidak negatif, seperti Robert Hendricks di novel Sebastian Faulks, ada dimensi yang berbeda ketika psikiater sendiri yang menulis.

Psikiater-penulis juga harus mempertimbangkan etika. Mereka harus menjaga kerahasiaan dan sensitivitas profesional, serta berhati-hati dalam menciptakan karakter. Meskipun beberapa orang menganggap fiksi hanyalah fiksi, Gandolfo berpendapat bahwa fiksi memiliki kekuatan untuk mengubah hidup orang. Oleh karena itu, psikiater-penulis harus jujur dan realistis dalam penggambarannya.

Kendala lain adalah penggunaan jargon teknis. Meskipun psikiater memiliki akses ke pikiran dan perasaan terdalam banyak orang, mereka harus memastikan tulisan mereka tidak hanya informatif, tetapi juga menghibur. Nathan Filer, penulis novel "The Shock of the Fall," hanya menggunakan istilah "skizofrenia" dua kali di bukunya, meskipun protagonisnya mengalami psikosis berat. Ini menunjukkan bahwa penderitaan dapat disampaikan tanpa harus membanjiri pembaca dengan terminologi medis.

Pada akhirnya, psikiater menghadapi tantangan besar dari fiksi, yang sering kali menggambarkan pekerjaan mereka dengan cara yang misterius atau mengancam. Namun, dengan menulis fiksi, psikiater dapat membantu mengoreksi kesalahan persepsi ini. Fiksi dapat menjadi alat bagi psikiater untuk merefleksikan praktik mereka dan mengeksplorasi isu-isu penting. Jika mereka dapat menghindari jebakan yang ada, menulis fiksi dapat mencapai banyak hasil positif.

Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Daniel Racey, meskipun karya seni tidak diciptakan dengan agenda etika yang sadar, penulisan fiksi oleh psikiater tetap dapat memengaruhi bagaimana masyarakat memandang gangguan mental. Dengan menggabungkan pengetahuan klinis dan kemampuan bercerita, psikiater dapat menjadi jembatan antara dunia sains dan seni, memulihkan hubungan yang hilang dan menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image