Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dedy Setyo Afrianto

Jika Covid19 seperti Belanda

Lomba | Sunday, 20 Feb 2022, 13:52 WIB
Ilustrasi siswa PJJ. Sumber : Republika.co.id

Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda beberapa waktu ini meminta maaf kepada pemerintah Indonesia atas perlakuan selama penjajahan pada periode 1945-1949 yang telah dilakukan dengan kekerasan ekstrim. Permintaan maaf ini diikuti dengan berbagai tanggapan oleh netizen Indonesia, ada yang menganggap ini adalah sebuah ungkapan ketulusan ataupun juga tidak ada gunanya selama minim kompensasi kepada pihak-pihak yang dirugikan kala itu.

Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda. Sumber : Republika.co.id

Tak ingin terlalu dalam membahas permasalahan ini, Saya mengimajinasikan jika sekiranya Covid19 ini adalah mirip penjajah Belanda yang dimasa depan mewujud sebagai manusia, jika “dia” memiliki kesadaran penuh atas kesalahannya, maka seyogyanya dia juga akan minta maaf. Untuk apa ?, berbagai hal yang terjadi beberapa belakangan ini, mulai dari terpuruknya ekonomi kita, penuhnya Rumah Sakit-Rumah Sakit kita, sampai dengan kembalinya anak-anak kita Belajar dari Rumah sampai dengan waktu yang lebih aman.

Setelah awal Februari 2022 yang lalu, diiringi dengan berbagai kenaikan angka sebaran covid19 dengan varian barunya Omicron, banyak daerah yang mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pembelajaran tatap muka. Pilihan pahit ini dilakukan, sebelum makin banyaknya korban berjatuhan terutama dari kalangan siswa dan guru. Saat Saya menyusun tulisan ini, lebih dari 50 ribu jiwa terpapar pada tiga hari terakhir diseluruh daerah di Indonesia.

Sebaran covid19 Indonesia. Sumber : https://covid19.go.id/peta-sebaran

Dua tahun masa pandemi ini, menjadi fase yang tidak mudah untuk belajar seperti masa sebelumnya, banyak riset menyebutkan terjadinya kehilangan belajar (learning loss) saat PJJ dan meningkatnya kesenjangan belajar setara dengan 6 bulan belajar (laporan Mendikbudristek saat peluncuran Merdeka Belajar Episode 15, pada 11 Februari 2022). Artinya, kurang lebih selama 6 bulan anak-anak kita belajar dengan tidak efektif. Masalah ini diiringi dengan berbagai kesulitan yang menghantui selama proses PJJ, mulai dari tidak adanya sarana yang memadai, tidak mungkinnya pendampingan orang tua sampai dengan kelelahan fisik yang terforsir saat anak kita menggunakan gawainya.

Jika learning loss itu lebih dekat dengan urusan kecerdasan kognitif, lalu bagaimana dengan kesehatan mental anak-anak saat PJJ ?. Dampak pandemi terhadap kesehatan & kesejahteraan mental anak-anak dan remaja terus memburuk. Data terbaru menurut UNICEF menunjukkan bahwa, setidaknya 1 menurut 7 anak mengalami akibat karantina, sementara 1,6 miliar anak terdampak sang terhentinya proses belajar mengajar. Gangguan terhadap rutinitas, pendidikan, rekreasi, dan kecemasan seputar keuangan keluarga & kesehatan menciptakan anak belia merasa takut, marah, sekaligus cemas akan masa depan mereka. Contohnya menurut survei daring di Tiongkok tahun 2020 yang dikutip The State of the World`s Children, yg menandakan bahwa lebih kurang 1/3 responden merasa takut atau cemas.

Ilustrasi siswa sedang PJJ. Sumber : Republika.co.id

Titik Balik

Kolumnis The New York Times, Thomas L. Friedman, peraih penghargaan internasional bergengsi Pulitzer Prize tiga kali ini, dalam tulisannya yang berjudul “After the Pandemic, a Revolution in Education and Work Awaits”, menyampaikan bahwa setelah pandemi akan ada banyak revolusi besar dalam dunia Pendidikan, salah satunya ada pada bagaimana pengelolaan pembelajaran dilakukan pada saat masa pandemi kini, dan setelah pandemi, kita akan kesulitan kembali pada cara-cara lama (seperti sebelum pandemi). Tak ingin terlalu berlebih dengan kecemasan yang berkepanjangan dengan PJJ, pada dasarnya kita sedang “mencicil” kebiasaan baru dimasa depan. Bahwa cara belajar tak kan lagi sama dibanding dengan masa sebelum covid19 merajalela.

Perbedaan pada prinsip PJJ dibanding dengan pertemuan pembelajaran tradisional, salah satu hakikatnya adalah pada “kebebasan” pembelajar untuk menentukan waktu, sumber ajar yang lebih terbuka, bahkan hingga targetan belajar yang lebih personalize sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Jika pada pembelajaran tradisional semua proses dilakukan secara klasikal dalam satu kelas, bahkan materi dan goals pembelajarannya disesuikan dengan cara yang homogen untuk semua kebutuhan siswa sekelas, maka kebutuhan individual belum dapat difasilitasi secara lebih banyak.

Belajar lebih personalize.

Bahwa ada tantangan dalam penerapannya, hal ini yang perlu sama-sama kita atasi, baik bagi siswa, orang tua, maupun pihak pengelola sekolah maupun stake holder lainnya. Tak hanya dalam pemenuhan alatnya, caranya, dan membiasakannya.

Saya termasuk yang optimis, bahwa “musuh bersama” yang bernama covid19 ini juga kesempatan emas kita untuk terus menerus menguatkan kerjasama yang menjadi ciri khas kita semenjak masa perjuangan dulu. Para relawan diberbagai daerah bergerak untuk bantu donasi gawai bekas bagi pelajar yang belum punya sarana memadai. Berbagai komunitas juga bergerak untuk secara berantai dukung PJJ ini agar lebih baik, ada di Malang, Bandung, dan tempat-tempat lainnya. Saya makin meyakini, andaikata pandemi berakhir besok atau lusa, semoga DNA saling membantu ini tetap melekat menjadi kekhasan kita.

Kesehatan Mental

Tidak hanya supporting PJJ dan akademiknya semata, kesehatan mental siswa juga menjadi issue yang paling mendapatkan perhatian.

Dalam (Kuriake, 2018) level intervensi paling basic dalam program dukungan psikososial kondisi siswa ataupun guru, dilandasi atas kebutuhan dasar dan rasa aman, hal ini bisa didapatkan dari dukungan lingkaran terdekatnya yakni orang tua dan masyarakat terdekat. Untuk level yang lebih tinggi lagi dapat melibatkan relawan, pekerja sosial, fasilitator masyarakat sampai dengan konselor terlatih. Dengan dukungan guru BK di sekolah, bekerja sama dengan orang tua, akan menjadi kolaborasi yang apik untuk minimalisir keresahan ini. Dukungan Psikologis Awal (DPA) menjadi kemampuan penting untuk guru ibarat P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan).

Ibarat penjajahan Belanda dimasa lalu, disadari atau tidak, pandemi mengajarkan kita lebih banyak hal, tentang cara baru belajar, lebih concern dengan kesehatan mental serta kesetiakawanan sosial, merasa senasib sepenanggungan merupakan peristiwa heroik yang perlu ditumbuhkan dalam kondisi apapun. Rasa empati diasah dengan dengan kesadaran penuh, bahwa setiap tetangga dan teman-teman di sekitar kita, merupakan keluarga dekat kita yang senantiasa perlu kita sama-sama jaga. Semoga covid19 lekas pergi dari bumi persada pertiwi.

Referensi

Kharismawan, Kuriake. (2018). Dukungan Psikososial Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Krisis. Modul pelatihan dukungan psikososial untuk Wahana Visi Indonesia. Tangerang: WVI

Laporan UNICEF 5 Oktober 2021. https://www.unicef.org/indonesia/id/press-releases/dampak-covid-19-terhadap-rendahnya-kesehatan-mental-anak-anak-dan-pemuda-hanyalah

Friedman, Thomas. (2020). The New York Times 20 Oktober 2020. https://www.nytimes.com/2020/10/20/opinion/covid-education-work.html

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image