Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

PHK di Mana-Mana, Apa yang Harus Dilakukan Negara?

Kolom | 2025-06-01 23:37:31
Foto Ilustrasi PHK (Sumber: detik.com)

Di tengah badai ekonomi global, disrupsi teknologi, dan ketidakpastian pasar, perusahaan berdalih efisiensi. Benarkah efisiensi menjadi pembenar tunggal untuk melepas pekerja tanpa kejelasan masa depan? Di sinilah negara harus hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pengatur, pelindung, dan penjamin keadilan.

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pasal 1 Ayat 3 jo. Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945). Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah bagian dari hak konstitusional warga. Oleh karena itu, ketika gelombang PHK menghantam, negara tidak boleh tinggal diam atau sekadar menyarankan pekerja untuk "ikut pelatihan".

Tanggung jawab negara adalah menjamin keberlangsungan hidup warga negara, bukan hanya melalui bantuan sosial jangka pendek, tetapi dengan kebijakan hukum yang berpihak, tanggap, dan progresif.

Dalam kerangka hukum nasional, Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) sebetulnya banyak dikritik karena memberikan ruang lebih luas bagi perusahaan untuk melakukan PHK, antara lain melalui pengurangan pesangon dan penyederhanaan prosedur pemutusan hubungan kerja.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat belum sepenuhnya membenahi ketimpangan tersebut. Ketika PHK terjadi secara massal dan sistemik, negara tidak cukup hanya mengandalkan UU yang pro-pasar tanpa perlindungan sosial yang memadai.

Perlu ada reformulasi terhadap regulasi ketenagakerjaan, termasuk; 1. perlindungan hukum bagi korban PHK massal, termasuk hak atas kompensasi yang adil dan transparan; 2. penguatan peran serikat pekerja dalam negosiasi PHK dan perencanaan restrukturisasi perusahaan; 3. sanksi administratif dan pidana bagi perusahaan yang melakukan PHK sepihak tanpa mengikuti prosedur hukum.

PHK massal sejatinya adalah indikator krisis sosial dan ekonomi. Negara harus menyusun employment contingency policy atau kebijakan darurat ketenagakerjaan yang berpihak pada korban PHK, termasuk:

Pertama, dana transisi pekerjaan yang diberikan selama pencarian kerja baru. Kedua, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang lebih dari sekadar formalitas, tetapi hadir tepat waktu dan cukup untuk kebutuhan dasar. Ketiga, peta pelatihan dan penempatan kerja berbasis data, bukan pelatihan serampangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Terakhir, harus ada dukungan psikososial dan hukum bagi korban PHK.

Tanpa kebijakan afirmatif dan perlindungan nyata, PHK akan terus menjadi tragedi yang berulang setiap kali krisis datang. Pekerja menjadi korban, negara lepas tangan, dan keadilan sosial tinggal slogan

PHK juga harus dilihat sebagai masalah hukum dan hak asasi manusia. Dalam banyak kasus, PHK disertai dengan pelecehan, intimidasi, dan penolakan hak normatif pekerja. Negara, melalui aparat penegak hukum dan pengawas ketenagakerjaan, harus aktif melakukan investigasi atas laporan pelanggaran, bukan sekadar menjadi penengah pasif.

Sanksi terhadap pelanggaran ketenagakerjaan harus ditegakkan untuk memberikan efek jera dan menjaga kepercayaan publik terhadap hukum. Kementerian Ketenagakerjaan, Dinas Tenaga Kerja, dan lembaga pengawasan perlu ditingkatkan kapasitas dan keberaniannya untuk berpihak pada pekerja.

Pertanyaan besarnya: Apa yang harus dilakukan negara ketika PHK terjadi di mana-mana?

Jawabannya jelas: Hadir. Hadir dengan regulasi yang adil, kebijakan yang berpihak, perlindungan sosial yang nyata, dan keberpihakan hukum yang tak ragu.

Jika negara terus absen atau setengah hati, maka kepercayaan publik akan hilang, dan ketimpangan sosial akan makin tajam. Kita tidak sedang menuntut negara untuk menyelamatkan semua, tetapi setidaknya jangan biarkan rakyat menanggung semuanya sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image