Meludah di Sumur, atau Merawat Airnya Tetap Layak Diminum?
Agama | 2025-05-30 15:10:52
Kita tentu sering mendengar ungkapan: "Jangan meludah di sumur yang airnya kita minum." Maksudnya, jangan mencela atau merusak institusi atau pihak yang telah memberi kita manfaat, terutama tempat kita bekerja. Sekilas, pepatah ini tampak bijak dan sarat etika. Tapi benarkah kritik terhadap lembaga tempat kita bekerja selalu dapat disamakan dengan "meludah di sumur"?
Mari kita renungkan. Bagaimana jika air sumur itu mulai keruh? Apakah kita harus diam demi rasa terima kasih, sementara airnya tak lagi layak diminum? Ataukah justru kita berkewajiban memberi tahu bahwa airnya tercemar, demi kebaikan semua yang meminumnya?
Kritik yang jujur dan konstruktif bukanlah bentuk pengkhianatan. Ia adalah panggilan nurani bagi perbaikan. Seorang guru yang mengkritik kebijakan pendidikan yang tak berpihak pada siswa, bukan sedang meludah, tapi sedang membersihkan. Seorang pegawai yang bersuara atas praktik tidak sehat dalam lembaganya, bukan sedang menggigit tangan yang memberi makan, tapi sedang mencegah tangan itu menebar racun ke banyak orang.
Lembaga bukan entitas suci yang tak boleh disentuh. Ia adalah ruang publik, tempat kita mengabdi dan juga membangun bersama. Justru karena kita peduli, kita bersuara. Karena kita ingin lembaga tetap sehat, kita mengingatkan. Karena kita ingin sumur itu jernih, kita bicara.
Tentu, cara menyampaikan kritik pun penting. Kritik tak perlu dibungkus caci maki. Tapi menuntut diam atas nama loyalitas adalah bentuk manipulasi. Lembaga yang sehat bukan yang bebas dari kritik, tapi yang bersedia mendengar, bahkan dari dalam dirinya sendiri.
Jadi, lain kali kita mendengar seseorang menyuarakan keberatan atau kegelisahan atas situasi di lembaganya, mari jangan buru-buru menuduhnya sedang meludah di sumur. Bisa jadi, dia sedang mencoba memastikan air yang kita minum tetap bersih, jernih, dan menyehatkan.
Agar kritik tidak berubah menjadi destruktif, perlu budaya musyawarah yang terbuka dalam lembaga. Allah Swt. berfirman: “...dan uruslah urusan mereka dengan musyawarah di antara mereka...” (QS. Asy-Syura: 38). Musyawarah adalah ruang sehat untuk menyampaikan pendapat tanpa rasa takut dikucilkan. Lembaga yang membiasakan budaya dialog akan tumbuh menjadi tempat yang bukan hanya nyaman ditinggali, tapi juga tangguh menghadapi tantangan.
Selain itu, setiap kritik harus disampaikan dengan niat memperbaiki, bukan menjatuhkan. Allah Swt. mengingatkan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...” (QS. An-Nahl: 125).
Kritik yang dilandasi hikmah akan lebih mudah diterima, karena ia lahir dari hati yang ingin membangun, bukan menghancurkan. Maka kritik harus disampaikan dengan bahasa yang santun, argumentasi yang kuat, dan solusi yang realistis.
Bagi pemimpin lembaga, penting untuk membuka telinga dan hati terhadap masukan dari internal. Pemimpin bukan hanya simbol kuasa, tapi juga penanggung jawab amanah. Dalam QS. Al-Baqarah: 286, Allah menegaskan bahwa setiap orang hanya dibebani sesuai kemampuannya. Maka ketika ada yang menyuarakan kesalahan, pemimpin tidak sedang dipermalukan, tapi diberi kesempatan untuk memperbaiki sebelum beban amanah itu menjadi hisab yang berat di akhirat.
Akhirnya, bagi siapa pun yang peduli pada kemajuan lembaga, mari kita perkuat rasa tanggung jawab bersama. Jangan bungkam karena takut dicap pembangkang, tapi juga jangan asal bersuara tanpa tujuan. Kritik adalah cinta yang berani, dan cinta sejati bukan diam saat yang dicintai melenceng, tapi hadir sebagai pengingat. Semoga kita termasuk golongan yang "saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran" (QS. Al-‘Ashr: 3), demi lembaga yang lebih amanah, profesional, dan penuh keberkahan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
