Tantangan dan Strategi Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia
Hukum | 2025-05-29 15:24:06
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sangat kompleks dan multidimensi, yang tidak hanya berdampak pada individu dewasa, tetapi juga memberikan dampak psikologis dan fisik yang mendalam bagi anak-anak sebagai korban atau saksi kekerasan tersebut. Dalam konteks Indonesia, isu KDRT masih menjadi permasalahan yang menuntut perhatian serius, terutama mengingat karakteristik sosial budaya yang kuat dan sistem hukum yang masih mengalami berbagai kendala dalam pelaksanaan.
Landasan Hukum KDRT dan Perlindungan Anak di Indonesia
Indonesia sudah memiliki payung hukum yang cukup komprehensif untuk mengatur dan melindungi korban KDRT, khususnya perlindungan terhadap anak-anak yang merupakan kelompok paling rentan. Salah satu dasar hukum paling fundamental adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) yang telah direvisi oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009. Undang-undang ini mengatur dengan jelas berbagai jenis kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran, serta menyediakan mekanisme perlindungan hukum bagi korban sekaligus sanksi tegas terhadap pelaku. Dengan demikian, UU ini menjadi instrumen utama dalam perlindungan hukum korban KDRT.
Selain itu, perlindungan khusus terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan pengganti dan penyempurnaan dari UU No. 23 Tahun 2002. UU Perlindungan Anak menegaskan hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Selain perlindungan hukum domestik, Indonesia juga telah meratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC) melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yang menjadi komitmen internasional bagi negara untuk melindungi hak-hak anak secara menyeluruh, termasuk perlindungan dari kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk mendukung pelaksanaan undang-undang tersebut, pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi pelaksana, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang mewajibkan penyediaan layanan terpadu mulai dari aspek hukum, medis, psikososial, hingga rehabilitasi bagi korban kekerasan, termasuk anak-anak.
Tantangan Implementasi Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban KDRT
Meskipun kerangka hukum Indonesia sudah cukup mapan, masih terdapat beberapa tantangan signifikan dalam implementasinya yang menjadi penghambat perlindungan optimal terhadap anak korban KDRT.
Pertama, budaya patriarki yang kuat di masyarakat Indonesia masih memandang kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan privat keluarga yang seharusnya tidak dicampuri oleh pihak luar. Konsep “aib keluarga” dan “menjaga nama baik keluarga” sering kali menekan korban, termasuk anak-anak, untuk diam dan tidak melapor. Kondisi ini diperparah dengan stigma sosial terhadap korban yang dapat mengalami diskriminasi atau dikucilkan oleh lingkungan sekitar. Akibatnya, angka pelaporan kasus KDRT dan kekerasan terhadap anak tetap rendah, sehingga banyak kasus yang tidak tertangani secara hukum.
Kedua, aparat penegak hukum dan lembaga terkait masih kurang memiliki sensitivitas dan pemahaman yang memadai mengenai isu kekerasan berbasis gender dan perlindungan anak. Kurangnya pelatihan khusus membuat proses penanganan kasus seringkali tidak responsif terhadap kebutuhan korban, bahkan kadang menambah trauma psikologis akibat prosedur hukum yang panjang dan kurang manusiawi. Penanganan yang tidak berorientasi pada pemulihan ini membuat korban merasa tidak mendapatkan keadilan sejati.
Ketiga, fasilitas pendukung yang memadai seperti rumah aman (shelter), layanan konseling psikologis, dan program rehabilitasi masih sangat terbatas, khususnya di daerah-daerah terpencil atau kurang berkembang. Ketimpangan akses ini menjadi hambatan serius dalam memberikan perlindungan yang holistik kepada anak-anak korban kekerasan, sehingga mereka seringkali harus menghadapi proses pemulihan tanpa dukungan yang memadai.
Pendekatan Multidisipliner dalam Perlindungan Anak Korban KDRT
Menghadapi kompleksitas persoalan ini, pendekatan penanganan KDRT dan perlindungan anak harus bersifat multidisipliner, yang melibatkan kolaborasi lintas sektor, antara lain aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, pendidik, serta organisasi masyarakat sipil. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan tidak hanya secara hukum tetapi juga pemulihan psikososial yang komprehensif.
Peningkatan kapasitas aparat hukum menjadi prioritas utama agar proses penegakan hukum tidak hanya mengedepankan aspek pemidanaan tetapi juga perlindungan dan pemulihan korban. Pelatihan tentang sensitivitas gender, trauma-informed approach, dan mekanisme perlindungan anak harus diberikan secara berkelanjutan. Hal ini penting untuk menciptakan sistem peradilan yang responsif dan berkeadilan bagi anak korban.
Selain itu, edukasi masyarakat perlu digalakkan secara masif untuk mengubah paradigma budaya yang selama ini mendiamkan kekerasan dalam rumah tangga. Penyuluhan dan kampanye anti-kekerasan yang melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan media massa dapat meningkatkan kesadaran dan keberanian korban untuk melapor, sekaligus menekan pelaku untuk menghentikan tindak kekerasan.
Pemerintah juga harus mengupayakan perluasan dan pemerataan fasilitas layanan pendukung seperti rumah aman, layanan konseling, dan rehabilitasi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah-daerah terpencil. Kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil dan lembaga donor dapat membantu memenuhi kebutuhan sumber daya dan pelatihan staf pendukung layanan tersebut.
Meskipun Indonesia telah memiliki payung hukum yang kuat dan berbagai regulasi pelaksana, perlindungan hukum anak korban KDRT masih menghadapi berbagai tantangan kultural, struktural, dan teknis. Untuk menjamin terpenuhinya hak anak dalam lingkungan keluarga yang aman dan bebas dari kekerasan, perlu dilakukan upaya serius dalam penguatan kapasitas aparat hukum, reformasi budaya masyarakat, serta penyediaan fasilitas layanan yang memadai dan merata.
Perlindungan anak dari KDRT bukan semata-mata isu hukum, melainkan tanggung jawab sosial kemanusiaan bersama yang harus diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa. Hanya dengan pendekatan holistik dan sinergis, anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dalam lingkungan yang kondusif dan aman.
Sumber Referensi:
- Nugroho, B. (2020). Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan, 50(2), 213-230.
- Sari, M. P., & Prasetyo, A. (2019). Pendekatan Multidisipliner dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Anak di Indonesia. Jurnal Sosial dan Budaya, 16(1), 45-60.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
