Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Putusan MK dan Ironi Pendidikan Gratis: Negara Abai, Anak Bangsa Jadi Korban

Kolom | 2025-05-29 14:21:56
Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo (Sumber: Republika.co.id)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 kembali meneguhkan peran lembaga ini sebagai benteng konstitusi, sekaligus mercusuar keadilan sosial dalam bidang pendidikan. MK menegaskan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar secara gratis bagi seluruh warga negara, tanpa membedakan apakah mereka menempuh pendidikan di sekolah negeri atau swasta.

Putusan ini tampaknya sederhana dan seharusnya tidak menimbulkan polemik. Bukankah Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”? Namun, praktik birokrasi dan kebijakan pendidikan kita selama ini memperlihatkan realitas sebaliknya. Negara justru memilih jalan sempit dalam menafsirkan kewajibannya.

Alih-alih menjadi pelindung hak, negara sering kali menjadi entitas yang lihai mencari celah untuk menghindari kewajiban konstitusionalnya. Ganti presiden, ganti menteri, ganti pula tafsir terhadap regulasi. Kita seolah hidup dalam rezim kebijakan yang diatur berdasarkan selera kekuasaan lima tahunan, bukan semangat konstitusi yang bersifat lintas generasi.

Negara Tak Boleh Diskriminatif

Dalam amar dan pertimbangan hukumnya, MK dengan tegas menyebutkan bahwa perlakuan berbeda dalam pembiayaan antara sekolah negeri dan swasta adalah bentuk diskriminasi yang inkonstitusional. Dalam pertimbangan tersebut, MK menyoroti bahwa sekolah swasta, terutama di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh negara, telah mengambil peran penting dalam pemenuhan hak pendidikan dasar.

Sayangnya, sekolah-sekolah ini sering diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam sistem pendidikan. Mereka kerap kesulitan mengakses bantuan operasional sekolah (BOS) atau dana alokasi lainnya karena ketentuan administratif yang rumit dan syarat-syarat teknis yang tidak relevan dengan kondisi riil di lapangan.

Sebagian besar masyarakat kita mungkin tidak sadar bahwa lebih dari 30 persen peserta didik di Indonesia menempuh pendidikan dasar dan menengah di sekolah swasta. Angka ini bahkan lebih tinggi di daerah-daerah padat penduduk atau kawasan urban yang kekurangan lahan dan anggaran untuk mendirikan sekolah negeri baru.

Namun, sekolah swasta ini—yang banyak didirikan oleh yayasan sosial, lembaga keagamaan, hingga inisiatif masyarakat adat—justru menghadapi keterbatasan luar biasa dalam pendanaan. Mereka bergantung pada iuran orang tua yang tidak jarang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Jika negara tetap membiarkan situasi ini, maka sesungguhnya ia mendiamkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia secara struktural. Anak-anak dari keluarga miskin yang terpaksa masuk sekolah swasta karena ketiadaan sekolah negeri di wilayahnya, dipaksa membayar pendidikan yang seharusnya ditanggung negara.

Putusan MK, Menunggu Nyali Pemerintah

Putusan MK ini harus dibaca sebagai peringatan keras bahwa negara tidak boleh bersikap parsial dalam menunaikan kewajiban konstitusional. Selama ini, pembiayaan pendidikan dasar oleh negara hanya berfokus pada sekolah negeri. Padahal, baik menurut prinsip non-discrimination dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) maupun doktrin equal protection dalam hukum tata negara, negara tidak boleh menciptakan ketimpangan perlakuan hanya karena status lembaga pendidikan.

Jika pemerintah tetap berkeras hanya membiayai sekolah negeri, maka ia tidak hanya melanggar UUD 1945, tetapi juga prinsip keadilan sosial dan kewajiban negara dalam hukum internasional.

Namun seperti banyak putusan MK sebelumnya, tantangan terbesar bukan pada substansi hukum, melainkan pada implementasi politik dan anggaran. Pemerintah sering kali bersikap setengah hati dalam menindaklanjuti putusan-putusan yang tidak populis secara politik atau menimbulkan konsekuensi fiskal besar.

Di sinilah kita bertanya: Apakah pemerintah memiliki nyali politik dan etika konstitusional untuk merombak sistem pembiayaan pendidikan dasar sesuai putusan MK ini? Apakah DPR bersedia membuka ruang dalam APBN untuk menjamin anggaran pendidikan dasar secara universal, termasuk untuk sekolah swasta?

Bahkan, alih-alih menyusun regulasi turunan, tak jarang pemerintah justru melakukan “pengaburan konstitusi” melalui peraturan teknis yang bertolak belakang dengan semangat putusan MK. Dalam konteks ini, kekuasaan birokrasi menjadi aktor utama dalam pengkerdilan cita-cita konstitusional.

Pendidikan seharusnya menjadi agenda jangka panjang bangsa. Namun dalam praktiknya, kebijakan pendidikan lebih sering menjadi komoditas politik. Menteri berganti, kurikulum berubah. Skema pembiayaan berubah seiring berubahnya orientasi dan loyalitas politik.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin kita membangun masa depan bangsa jika landasan pendidikan dasar saja terus berubah setiap lima tahun?

Dalam kondisi ini, anak-anak Indonesia tidak hanya menghadapi ketimpangan kualitas pendidikan, tetapi juga ketidakpastian arah dan perlindungan hak. Mereka menjadi korban dari tarik-menarik politik anggaran, kebijakan yang pragmatis, serta birokrasi yang lebih mementingkan kepatuhan administratif daripada prinsip keadilan substantif.

Negara tidak boleh hanya membiayai yang dekat secara administratif, tetapi meninggalkan yang jauh secara geografis dan sosial. Di balik setiap anak yang tak mampu membayar sekolah swasta karena tidak ada sekolah negeri di dekatnya, terdapat tangis diam masa depan bangsa yang terkoyak.

Putusan MK Nomor 3/PUU-XXIII/2025 adalah momentum korektif yang tak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Ini bukan sekadar urusan sekolah, guru, atau dana BOS. Ini soal wajah negara dan keberpihakannya pada konstitusi.

Sudah saatnya negara berhenti bersembunyi di balik teknikalitas birokrasi. Pendidikan dasar adalah hak setiap warga negara, bukan hadiah dari penguasa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image