Apakah Perempuan Selalu Merugi?
Dunia sastra | 2025-05-28 18:37:41
Dalam struktur masyarakat yang patriarki, perempuan kerap menjadi pihak yang paling terdampak oleh aturan dan norma yang tidak berpihak pada mereka. Lewat novel Midah, Pramoedya Ananta Toer menghadirkan gambaran nyata tentang bagaimana perempuan harus berjuang menghadapi kerasnya hidup serta cap buruk dari masyarakat, hanya karena ia lahir sebagai perempuan. Dari kisah Midah, muncul sebuah pertanyaan “Apakah perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan?”
Midah awalnya anak yang baik, manis, dan periang, namun semenjak berubahnya orang tua Midah karena tidak memperhatikannya lagi, Midah merasa cemburu dan mencari kesenangannya sendiri, namun dia melampaui batas.
Gigi emasnya yang menjadi ciri khas dan julukannya menjadi simbol yang penuh makna: di satu sisi menawan, di sisi lain menjadi bahan ejekan. Meski ia digambarkan menarik dan lincah, Midah tetap dipandang rendah dan dijauhkan dari lingkaran sosial terhormat.
Dari sinilah terlihat kritik sosial pedas yang disampaikan Pramoedya. Midah bukan dijatuhi penilaian karena kesalahan pribadi, melainkan karena sistem sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah. Sosok seperti Midah sering kali menjadi kambing hitam, meski sebenarnya mereka hanya mencoba bertahan di tengah kondisi yang mereka tidak pilih sendiri.
Terdapat standar moral ganda yang jelas dalam masyarakat laki-laki bebas melanggar norma tanpa banyak konsekuensi, sementara perempuan dibebani dengan tuntutan menjaga kehormatan yang sering disalahartikan secara sempit. Midah menjadi korban dari sistem ini. Ia dijodohkan, lalu ditinggalkan begitu saja tanpa pembelaan. Ia pun harus menata ulang hidupnya seorang diri, dengan martabat yang tersisa. Sayangnya, setiap keputusan yang ia buat tetap menjadi bahan cemoohan.
Padahal, Pramoedya menggambarkan Midah sebagai pribadi yang kuat dan mandiri. Ia tidak sudi bergantung pada orang lain, apalagi pada laki-laki yang memperlakukannya semena-mena. Sikapnya yang tidak mau tunduk membuktikan bahwa meski terdesak oleh sistem, ia tidak pasrah begitu saja.
Jadi, benarkah perempuan selalu berada di posisi merugi? Tidak sepenuhnya benar. Namun, mereka memang sering kali harus mengorbankan lebih banyak untuk mendapatkan martabat dan kebebasan. Midah adalah bukti bahwa dalam keterbatasan dan tekanan, perempuan tetap bisa menentukan jalan hidupnya meski harus melewati banyak rintangan.
Dengan cerita Midah, Pramoedya bukan hanya menyampaikan kisah pilu perempuan tertindas, tapi juga menyatakan harapan dan kekuatan. Midah bukanlah sosok yang menyerah, tetapi simbol perlawanan terhadap norma-norma lama yang mengekang perempuan.
Pada akhirnya, Midah menjadi pengingat bahwa selama ketimpangan sosial masih terjadi, perempuan akan terus mengalami kerugian. Namun, novel ini juga membawa pesan penting: perempuan punya kekuatan untuk mengambil alih nasibnya sendiri. Selama mereka masih berani bersuara, kisah-kisah seperti Midah akan terus menantang pandangan bahwa perempuan harus selalu menjadi yang kalah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
