Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Judol, Budi Arie, dan Problematika Etika Penegakan Hukum

Kolom | 2025-05-28 14:28:36
Foto Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (Sumber:Okezone.com)

Pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahwa Budi Arie Setiadi bisa dipanggil kembali dalam kasus pemblokiran situs judi online (judol) jika ada petunjuk hakim, menyimpan banyak persoalan yang lebih dalam dari sekadar “prosedur”. Bagaimana mungkin sistem penegakan hukum yang seharusnya aktif dan responsif, justru bergantung pada kehendak lembaga yudisial yang sifatnya pasif menunggu berkas? Pernyataan ini, jika tidak diluruskan secara kelembagaan, berpotensi menyuburkan persepsi publik bahwa hukum di negeri ini masih berpihak pada jabatan, bukan keadilan.

Padahal, publik masih ingat bagaimana Budi Arie, saat menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, sempat berada dalam sorotan tajam lantaran sistem pemblokiran situs-situs judi online yang dinilai lemah, tidak akurat, bahkan seolah ‘membiarkan’. Ketika dikritik, ia justru mengklaim pihaknya bekerja keras dan menyebut isu itu sebagai pengalihan isu. Namun kenyataannya, hingga detik ini, situs-situs judol tetap mudah diakses, bahkan oleh anak-anak melalui tautan media sosial. Artinya, sistem pengawasan dan eksekusi kebijakan digital tak berjalan maksimal dan ini adalah tanggung jawab struktural yang tak bisa dilimpahkan begitu saja ke “algoritma”.

Dari sudut pandang hukum administrasi negara, pejabat publik seperti menteri tidak hanya bertanggung jawab secara teknis, tetapi juga secara prinsipil melalui mekanisme ministerial responsibility. Artinya, tanggung jawab tidak berhenti pada “niat baik”, tapi harus sampai pada tataran akuntabilitas yang konkret. Jika ada kelalaian, bahkan jika bukan ia pelaku langsung, maka menteri tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara administratif dan bahkan pidana, apabila ada unsur pembiaran atau kesengajaan yang dapat dibuktikan dalam rangkaian hukum acara.

Namun, jika penyelidikan hanya akan dilakukan "jika ada petunjuk hakim", hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah penegak hukum kini memosisikan dirinya sekadar pelengkap yudisial, dan bukan lagi organ proaktif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP? Padahal, sebagai aparat penegak hukum, kepolisian memiliki otoritas penuh untuk melakukan pemeriksaan tambahan terhadap pihak yang pernah diperiksa, sepanjang relevan untuk pengembangan perkara.

Permasalahan ini tak dapat dipisahkan dari kondisi sosial hari ini. Judi online bukan lagi sekadar “hiburan maya”, tapi telah menjadi penyakit struktural yang menghancurkan ekonomi rumah tangga dan masa depan anak muda. Banyak buruh, pelajar, bahkan guru terjebak dalam ekosistem judol. Tapi ironisnya, sementara masyarakat kecil digerebek dan dipermalukan di media sosial karena terlibat sebagai pengecer atau pengguna, para pejabat yang memiliki otoritas sistemik dalam pengawasan digital justru hanya dimintai “klarifikasi”, bukan diproses dengan semangat yang sama.

Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih belum setara: keras ke bawah, lunak ke atas. Padahal, asas equality before the law adalah prinsip utama dalam negara hukum modern. Hukum tidak boleh pilih kasih, apalagi tunduk pada tekanan kekuasaan.

Yang menarik, Budi Arie kini menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM. Pada masa awal jabatannya, ia menggulirkan program ambisius: membentuk 80.000 Koperasi Merah Putih hingga 2027. Program ini diklaim sebagai upaya strategis untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan mendorong digitalisasi koperasi. Namun pertanyaannya kini, setelah ia “berpindah panggung” dari Menkominfo ke Kemenkop, apakah program-program besar seperti itu tetap relevan dan layak dipercaya di tengah kontroversi masa lalunya?

Perlu digarisbawahi bahwa koperasi adalah entitas ekonomi yang bertumpu pada kepercayaan dan integritas. Maka, ketika arsitek programnya belum menyelesaikan polemik tanggung jawab di jabatan sebelumnya, ini menjadi batu sandungan etis bagi program itu sendiri. Bagaimana mungkin kita membangun koperasi berbasis moral dan keadilan sosial, jika moral jabatan masa lalu belum diuji secara jernih?

Terlebih, pembentukan koperasi dalam jumlah masif juga rentan terhadap manipulasi data, koperasi fiktif, atau penyalahgunaan dana bantuan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa tahun terakhir menunjukkan masih banyak koperasi yang bermasalah secara administratif, tidak aktif, atau bahkan menjadi kendaraan politik lokal. Jika tidak diawasi dengan ketat, maka program 80.000 koperasi justru bisa menjadi bom waktu korupsi baru dengan label “ekonomi kerakyatan”.

Seperti yang pernah dikatakan Bung Hatta, “Koperasi adalah jalan keadilan sosial.” Maka, jalan itu tidak boleh dilalui oleh mereka yang belum selesai menjawab pertanyaan dasar tentang tanggung jawab dan etika jabatan.

Dalam konteks ini, pemeriksaan ulang terhadap Budi Arie bukan sekadar tuntutan keadilan hukum, tetapi juga prasyarat moral untuk melanjutkan program-program strategis negara. Seorang pejabat publik tidak bisa terus-menerus berpindah jabatan tanpa menyelesaikan beban tanggung jawabnya di masa lalu. Jabatan bukan pelarian. Pejabat publik harus berani menghadapi konsekuensi hukum, bukan berlindung di balik kesibukan kerja baru.

Kita harus berhenti membiarkan narasi “kerja keras” dijadikan tameng untuk menghindar dari tanggung jawab. Tidak ada pekerjaan publik yang lebih penting daripada menjaga integritas dan akuntabilitas. Apalagi jika menyangkut sektor strategis seperti pemberantasan judi dan penguatan koperasi.

Kasus ini seharusnya menjadi momentum reflektif bagi seluruh elemen negara. Pertama, agar penegak hukum tidak ragu memproses siapapun yang memiliki posisi, selama terdapat bukti atau indikasi yang layak diuji di pengadilan. Kedua, agar kementerian yang menjalankan program rakyat bisa bebas dari bayang-bayang konflik kepentingan dan jejak kinerja yang tak tuntas.

Jika penegakan hukum dibiarkan lunak terhadap mereka yang punya kuasa, maka negara bukan lagi milik rakyat, tapi milik segelintir elite yang bisa bertahan dari hukum hanya karena memiliki jabatan baru.

Sebagaimana dikatakan oleh mantan hakim agung Amerika Serikat, Louis Brandeis: “Sunlight is said to be the best of disinfectants.” Maka, mari terangi kasus ini dengan kejujuran, bukan dengan penundaan dan pengalihan isu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image