Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Indonesia Juara Pengangguran di ASEAN!

Kolom | 2025-05-28 01:23:30
Foto: Ilustrasi Pengangguran (Sumber: medcom.id)

Indonesia patut berbangga, setidaknya menurut cara berpikir satir. Di tengah berbagai krisis dan ketidakpastian global, Indonesia berhasil meraih satu “prestasi” yang menonjol: menjadi negara dengan tingkat pengangguran terbuka tertinggi di Asia Tenggara. Sungguh sebuah ironi dari negeri yang selama bertahun-tahun dipuja karena bonus demografinya dan digadang-gadang akan menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Data terbaru dari International Labour Organization (ILO) dan Asian Development Bank (ADB) mengungkap bahwa Indonesia mencatat angka pengangguran terbuka di atas 5,3 persen pada tahun 2024, mengungguli negara-negara ASEAN lainnya seperti Vietnam (2,1%), Thailand (0,9%), Filipina (4,8%), bahkan Kamboja yang mencatatkan di bawah 1%. Sementara negara-negara tetangga bergerak cepat memanfaatkan keunggulan sumber daya manusia mereka untuk menarik investasi padat karya, Indonesia justru tercecer dalam urusan menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya sendiri.

Sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia, Indonesia seharusnya berada di garis depan dalam hal pembangunan ekonomi inklusif. Dengan kekayaan alam melimpah dan jumlah angkatan kerja produktif yang tinggi, pengangguran semestinya bukan menjadi “medali emas” kita di pentas regional. Sayangnya, potensi ini justru berbalik menjadi beban karena ketidaksiapan struktural negara dalam mengelola tenaga kerja dan menciptakan ekosistem ekonomi yang menyerap lapangan kerja secara massif.

Bonus demografi yang sering dijadikan jargon kampanye pembangunan nyatanya belum terkonversi menjadi bonus ekonomi. Angkatan kerja muda kita mendominasi, tetapi mayoritas dari mereka berada dalam posisi rentan: tidak bekerja, bekerja di sektor informal dengan upah tak layak, atau terjebak dalam pekerjaan tanpa jaminan sosial dan perlindungan hukum.

Program Kerja, tapi Tak Bekerja

Pemerintah bukan tidak memiliki program. Namun, sebagian besar kebijakan penanggulangan pengangguran berorientasi proyek jangka pendek, bukan solusi jangka panjang. Program kartu prakerja, misalnya, lebih condong menjadi proyek pelatihan daring dengan output yang tidak terukur dalam bentuk penyerapan kerja riil. Evaluasi dari berbagai lembaga, termasuk LIPI dan Komnas HAM, mencatat bahwa program ini rawan tumpang tindih, tidak tepat sasaran, dan kerap menjadi ladang komersialisasi pelatihan tanpa kontrol mutu yang memadai.

Sementara itu, reformasi birokrasi ketenagakerjaan berjalan lamban. Data kementerian tenaga kerja dan Dinas Ketenagakerjaan daerah seringkali tidak sinkron. Belum lagi problem rendahnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja tanpa kontrak resmi atau dengan sistem outsourcing eksploitatif. Kebijakan pengupahan yang tidak adil dan lemahnya posisi tawar pekerja membuat kondisi dunia kerja semakin suram, terutama bagi kalangan muda dan perempuan.

Serbuan investasi asing yang kerap dijadikan indikator keberhasilan ekonomi ternyata tak otomatis menurunkan angka pengangguran. Banyak proyek infrastruktur dan pertambangan yang justru membawa serta tenaga kerja asing dalam jumlah besar. Alih-alih memberdayakan lokal, industri ekstraktif ini lebih memilih tenaga kerja impor dengan dalih “spesialisasi” teknis. Celakanya, regulasi pengawasan tenaga kerja asing lemah, bahkan kadang ditoleransi dengan “kearifan birokrasi”.

Di sisi lain, sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan makanan justru mengalami kontraksi akibat ketergantungan pada pasar luar negeri dan ketidakstabilan nilai tukar. PHK massal menghantui buruh di berbagai kawasan industri, seperti Karawang, Bekasi, dan Pasuruan. Pemerintah pusat terlalu sibuk dengan ambisi IKN dan agenda politik elitis, hingga melupakan denyut ekonomi rakyat di pinggiran.

Pendidikan : Bangkit atau Bangkrut?

Pendidikan kita masih menjadi pabrik ijazah, bukan pusat inovasi dan keterampilan. Lulusan perguruan tinggi menjadi penyumbang terbesar pengangguran terbuka, sementara dunia kerja justru membutuhkan tenaga teknis dan vokasional. SMK yang dirancang untuk menyiapkan siswa siap kerja justru menjadi sarang pengangguran karena kualitas pengajar dan alat praktik jauh dari standar industri.

Di sisi hukum, tidak ada langkah progresif dari negara untuk mengatur standar kompetensi lintas sektor. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tidak menyentuh problematika struktural ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan kebutuhan dunia usaha. UU Sisdiknas yang direvisi pun gagal memasukkan paradigma keterhubungan lintas sektor ini secara tegas.

Reformasi ketenagakerjaan Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa sistem kita tidak bekerja. Tidak ada integrasi data tenaga kerja nasional yang akurat. Tidak ada pemetaan kebutuhan industri berbasis wilayah. Tidak ada koneksi yang efektif antara perguruan tinggi, balai latihan kerja, dan sektor riil. Bahkan, peran lembaga negara seperti BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) pun kurang terintegrasi secara optimal dalam kebijakan ketenagakerjaan nasional.

Negara perlu membangun ulang ekosistem ketenagakerjaan: mulai dari menyusun database nasional pekerja yang valid, memperkuat pelatihan berbasis kebutuhan industri lokal, hingga mendorong sektor informal naik kelas melalui insentif fiskal dan perlindungan hukum. UU Cipta Kerja bukanlah jawabannya bila hanya menciptakan fleksibilitas bagi investor, tanpa keadilan bagi pekerja.

Menjadi juara pengangguran berarti negara ini sedang mengalami krisis dalam fungsinya yang paling mendasar: menyediakan kehidupan yang layak bagi warganya. Krisis ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga ketimpangan struktural, akses sosial, dan keadilan hukum. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka, kegagalan menyediakan pekerjaan bukan hanya kesalahan kebijakan, melainkan pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri.

Negara tidak boleh terus bersembunyi di balik dalih “situasi global”, “kondisi pandemi”, atau “perang dagang dunia”. Negara harus bertanggung jawab. Sudah terlalu banyak generasi muda yang kehilangan harapan, bekerja tanpa perlindungan, atau terpaksa menjadi buruh migran demi sesuap nasi.

Pertanyaannya sederhana: apakah kita akan terus nyaman menjadi juara pengangguran, atau mulai membenahi sistem secara jujur dan berani? Pekerjaan rumah ini tidak bisa ditunda. Kita butuh reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang menyeluruh: dari sektor pendidikan, hukum, industri, hingga keadilan sosial.

Bila tidak, kita hanya akan terus berbangga dengan proyek-proyek mercusuar, sembari membiarkan jutaan rakyat tak bekerja dan tak dihargai. Indonesia bukan hanya sedang gagal mengelola ekonomi. Indonesia sedang gagal memenuhi janji dasarnya sebagai negara kesejahteraan. Apa kabar Indonesia emas?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image