Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Hukum yang Retak: Ketika Shalat Berjamaah Menjadi Sanksi bagi Penjahat Berseragam

Hukum | 2025-05-27 15:03:50
Dok: Tempo.co

Di negeri penuh azan dan bendera ini, hukum ternyata hanyalah seni pertunjukan. Baru-baru ini, panggung teater hukum Indonesia menampilkan lakon terbaru: enam orang anggota polisi di Kalimantan Selatan ketahuan mengonsumsi narkoba, dan tahukah Anda apa hukumannya? Bukan penjara, bukan pemecatan. Cukup datang ke musholla tepat waktu untuk salat berjamaah. Ya, Anda tidak salah baca. Seolah-olah sabu-sabu bisa dihapus dengan wudhu dan takbiratul ihram.

Lucunya, kita tidak sedang menonton sinetron religi absurd di TV swasta, tapi menyaksikan opera tragis negara hukum yang katanya menjunjung tinggi keadilan. Ironi ini tak main-main. Di saat ibu-ibu pencuri kayu dihukum setahun penjara dan anak-anak miskin dipenjara karena mencuri buah tetangga, aparat berseragam yang jelas-jelas menghancurkan kepercayaan publik malah diberi “sanksi moral” yang bahkan tak layak disebut hukuman.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan tegas mengatur bahwa pengguna narkotika bisa dihukum pidana. Namun rupanya, ketika pelakunya adalah 'orang dalam' berseragam cokelat, pasal-pasal hukum bisa lentur seperti karet. Jika Anda rakyat jelata, hukum adalah palu godam. Jika Anda aparat, hukum berubah jadi ceramah ustaz sebelum tarawih.

Apakah ini bentuk pendekatan humanis? Jangan naif. Ini bukan soal pendekatan moral, ini adalah penistaan terhadap akal sehat. Bagaimana mungkin seseorang yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan narkoba malah dilindungi dengan metode “pemurnian spiritual”? Jika logika ini diterapkan merata, maka silakan tutup seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia dan ganti dengan pesantren. Biarkan seluruh maling, koruptor, dan pemerkosa bertobat lewat salat berjamaah.

Lebih parah lagi, kejahatan ini ditangani secara internal oleh institusi kepolisian sendiri, yang selama ini sudah kenyang dengan reputasi buruk soal impunitas. Publik hanya diberi secuil informasi – bahwa pelaku akan dibina secara rohani. Tidak ada transparansi, tidak ada kejelasan proses hukum, dan tentu saja tidak ada rasa keadilan.

Sementara itu, rakyat kecil terus dicekik oleh sistem hukum yang sadis. Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan bahwa lebih dari 70% narapidana kasus narkotika adalah masyarakat kelas bawah. Mereka dihukum dengan cepat dan tanpa belas kasih. Hakim-hakim dengan toga dan wajah datar menjatuhkan vonis puluhan tahun kepada pengguna yang bahkan tak sanggup membayar pengacara. Tapi polisi pengguna narkoba? Cukup datang ke masjid/musholla lima waktu. Allahuakbar!

Di sinilah hukum tidak hanya pincang, tapi lumpuh dan busuk. Institusi kepolisian kehilangan kredibilitasnya secara telanjang. Survei LSI Denny JA pada 2024 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap kepolisian terus anjlok. Mengapa? Karena kasus seperti ini memperlihatkan bahwa institusi yang seharusnya menegakkan hukum justru menjadi pengkhianat paling brutal terhadap prinsip keadilan.

Dan agama? Ah, agama. Betapa sering ia dijadikan tameng paling praktis untuk menutup borok kekuasaan. Salat berjamaah bukanlah alat cuci dosa institusional. Ia adalah kewajiban pribadi, bukan sarana cuci tangan hukum. Ketika ibadah digunakan untuk menambal pelanggaran, yang terjadi adalah pelecehan terhadap dua hal sekaligus: hukum dan agama.

Mungkin aparat kita sudah terlalu jenuh dengan penegakan hukum, sehingga kini mereka mencoba metode baru: pembersihan dosa lewat ritual. Seolah-olah seragam dan sajadah bisa menutup mulut publik dan menyumpal amarah masyarakat. Seolah-olah masyarakat ini terlalu bodoh untuk melihat absurditas ini. Apakah kita masih percaya pada sistem hukum seperti ini? Apakah kita masih bisa berharap keadilan ditegakkan oleh institusi yang bahkan tidak sanggup menghukum dirinya sendiri? Ini bukan hanya krisis hukum. Ini adalah bunuh diri moral.

Yang lebih menyakitkan adalah diamnya para pejabat. Kompolnas, Komnas HAM, bahkan Presiden seolah tak merasa ini darurat. Tidak ada evaluasi sistemik, tidak ada tekanan publik dari dalam institusi. Semuanya seperti sedang menonton wayang dari belakang layar: menikmati lakon, tak peduli makna. Sementara itu, rakyat tetap dihajar. Mereka yang lapar dipenjara karena mengambil makan. Mereka yang putus asa dikriminalkan karena mengambil milik yang bukan haknya. Negara hadir bukan untuk membela mereka, tapi untuk mencatat pelanggaran dan membubuhkan stempel hukum pada penderitaan mereka.

Keadilan macam apa yang kita harapkan dari sistem seperti ini? Keadilan yang hanya berlaku bagi mereka yang tak punya kuasa? Keadilan yang berpihak pada status dan pangkat? Jika ya, maka mari kita sepakat bahwa keadilan di negeri ini sudah menjadi lelucon paling getir.

Salat berjamaah adalah ibadah, bukan hukuman. Dan jika aparat bisa bebas dari jerat hukum dengan hanya menempelkan jidat di sajadah, maka percayalah: kita sedang hidup di negeri di mana hukum sudah tidak relevan. Yang relevan hanya pangkat, jabatan, dan seberapa dalam Anda bisa mencium tangan atasan.

Negeri ini bukan hanya kekurangan keadilan. Ia sedang kelebihan kemunafikan!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image