Perkembangan dan Problematika Kurikulum dari Masa ke Masa
Eduaksi | 2025-05-23 14:43:01Kurikulum memegang peran penting dalam pendidikan karena menjadi pedoman untuk menentukan tujuan, isi, dan cara belajar mengajar. Menurut Setiroyini (2023:2) Kurikulum merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan sehingga bisa dikatakan bahwa kurikulum merupakan rujukan bagi proses pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, kurikulum tentu tidak dapat dipandang sebelah mata yang hanya bentuk dokumen semata melainkan sebagai alat dan acuan tempat para pelaksana pendidikan untuk melaksanakan proses pendidikan terbaik demi mencapai tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan penjelasan tersebut artikel ini akan membahas perkembangan kurikulum di Indonesia terhadap mutu pendidikan Indonesia.
Kurikulum memegang peran penting dalam lembaga pendidikan sebagai alat utama untuk mencapai tujuan pendidikan. Ia memiliki posisi sentral dalam proses pendidikan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem pendidikan itu sendiri (Dhomiri, 2023). Peranan kurikulum sangat vital dalam menentukan arah dan capaian pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh Achruh (2022), terdapat tiga fungsi utama kurikulum. Pertama, peranan konservatif, di mana kurikulum bertugas mewariskan nilai-nilai dan warisan sosial budaya kepada generasi muda.
Kedua, peranan kritis atau evaluatif, yaitu peran kurikulum dalam mengajak peserta didik berpikir kritis terhadap budaya yang ada, tidak hanya menerima begitu saja, tetapi juga menilai dan memilih unsur budaya yang layak untuk diteruskan. Ketiga, peranan kreatif, yaitu kemampuan kurikulum untuk menciptakan hal-hal baru yang relevan dengan kebutuhan zaman, melalui penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang inovatif dan konstruktif demi membekali peserta didik menghadapi masa kini dan masa depan.
Di Indonesia, kurikulum sudah beberapa kali berubah seiring berjalannya masa ke masa. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor perubahan filosofis, sosiologis, politis, maupun historis. Perubahan kurikulum ini dilakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Perubahan masyarakat dari pola hidup agraris ke arah masyarakat industri mendorong pengembangan kurikulum, agar siswa bisa lebih siap menghadapi masa depan mereka. Setiap pemerintahan biasanya punya pandangan dan tujuan pendidikan yang berbeda, sehingga kurikulumnya pun ikut disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang didudukinya.
Meskipun kurikulum di Indonesia terus mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu, penerapannya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Beragam permasalahan, mulai dari keterbatasan sumber daya hingga kesenjangan dalam pemenuhan standar pendidikan, menjadi hambatan yang mengurangi efektivitas pelaksanaan kurikulum secara menyeluruh. Umumnya. Problematika tersebut bersumber dari Standar Nasional Pendidikan (Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi lulusan, Standar Pendidikan dan tenaga kependidikan, standar pembiayaan, standar pengelolaan, standar sarana prasarana dan Standar penilaian) guru, maupun ketersediaan fasilitas.
Perkembangan dan Problematika Kurikulum di Indonesia dari Masa ke Masa
Menurut Soetopo danSoemanto (1991: 40-41), terdapat sejumlah faktor yang dipandang mendorong perubahan kurikulum yaitu bebasnya sejumlah faktor yang dipandang mendorong perubahan kurikulum yaitu bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dan pertumbuhan yang sangat pesat dari penduduk dunia.
Perubahan kurikulum pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pergantian pemerintahan, kemajuan teknologi dan informasi, perkembangan zaman, serta munculnya gagasan baru dari para ahli pendidikan. Selain itu, dinamika sosial masyarakat juga turut mendorong perlunya pembaruan agar kurikulum tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman. Pembaruan kurikulum diharapkan mampu menciptakan lulusan yang siap menghadapi dunia kerja, memiliki keterampilan komunikasi, karakter kuat, serta mampu menyelesaikan masalah secara bijak. Oleh karena itu, proses perancangannya harus dilakukan secara matang dan pelaksanaannya perlu diawasi dengan baik agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai secara optimal.
1. Masa Orde Lama (1945-1965)
Perkembangan kurikulum di Indonesia dimulai pada masa Orde Lama, ketika kurikulum pertama tahun 1947, yang dikenal sebagai Rentjana Pelajaran, masih dipengaruhi oleh sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Fokus utama saat itu adalah membentuk karakter bangsa yang merdeka dan berdaulat. Tetapi Pada kurikulum ini tidak menekankan pendidikan dengan cara berfikir, melainkan hanya pendidikan watak dan bermasyarakat sehingga pada kurikulum ini mata.
Pada tahun 1952, kurikulum diperbarui dengan pendekatan yang lebih kontekstual, yakni mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi problematika-pun muncul karena Materi pada pembelajaran kurikulum 1952 hanya menghubungkan kehidupan sehari hari.
Pada tahun 1964, mulai dikembangkan konsep pembelajaran aktif dan produktif yang melatih siswa untuk berpikir kritis dan menyelesaikan masalah secara mandiri, dengan tujuan mencetak peserta didik yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki integritas moral dan fisik. Kurikulum ini mendapat tantangan dari para pendidik, karna banyak dipandang cara pembelajarannya menggunakan sistem pendidikan Pancasila.
2. Masa Orde Baru (1966-1998)
Memasuki era Orde Baru, pemerintah mengarahkan kurikulum untuk mendukung pembangunan nasional dan penguatan ideologi Pancasila. Kurikulum 1968 menekankan aspek intelektual namun cenderung teoritis dan tidak kontekstual. Problematika yang ada pada tahun 1968 ini adalah Kurikulum 1968 hanya memuat materi pelajaran yang bersifat teoritis.
Lalu diperbaharui pada Kurikulum 1975 hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, disusul Kurikulum 1984 yang mengadopsi pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) guna meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses belajar. Kurikulum 1994 kemudian memperkenalkan sistem caturwulan dengan materi padat dan penekanan pada pelajaran matematika serta bahasa, namun dinilai kurang fleksibel dan belum mengakomodasi keberagaman kebutuhan peserta didik.
3. Masa Reformasi hingga Kurikulum Merdeka
Era Reformasi membawa semangat perubahan dengan munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 yang menekankan penguasaan sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kurikulum ini memberikan keleluasaan bagi sekolah dalam merancang silabus. Dalam Problematikanya, Kurikulum 2004 merupakan kurikulum yang berbasis potensi, dimana setiap siswa harus mencapai atau menyelesaikan potensi Pontesi yang sudah di susun dalam kurikulum ini, potensi belajar pada kurikulum ini mencerminkan hasil kelulusan siswa. Akan tetapi bagaimana kita mengetahui bahwa siswa tersebut sudah mencapai hasil belajarnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 disusun berdasarkan standar nasional dan memberi ruang partisipasi sekolah dalam pengembangan kurikulum lokal. Problematika yang dialami oleh kurikulum ini adalah kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran, dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah binaan dan pemantauan dinas pendidikan daerah dan wilayah setempat.
Kurikulum 2013 menjadi penyempurnaan dari KTSP, dengan fokus pada pembentukan karakter dan penguatan kompetensi melalui pendekatan ilmiah. Problematika Kurikulum 2013 berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Tetapi kegiatan pembelajaran perlu diarahkan untuk membantu peserta didik untuk menguasai tingkat kompetensi minimal, agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Kurikulum Merdeka hadir sebagai respons terhadap tantangan abad ke-21, dengan penekanan pada fleksibilitas pembelajaran, penguatan karakter melalui proyek Profil Pelajar Pancasila, serta pengembangan keterampilan berpikir kritis, literasi digital, dan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Problematika Kurikulum merdeka belajar hanya berfokus pada materi yang diminati dan pengembangan kompetensi peserta didik sesuai dengan fasenya. Sampai sekarang masih banyak sekolah yang belum siap menjalankan kurikulum merdeka.
Standar Nasional Pendidikan sebagai Dasar Pelaksanaan Kurikulum
Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan tolok ukur minimal yang wajib dipenuhi dalam penyelenggaraan pendidikan. SNP berperan sebagai landasan dalam merancang, melaksanakan, serta mengawasi sistem pendidikan demi tercapainya pendidikan nasional yang berkualitas. Tujuan utamanya adalah untuk menjamin mutu pendidikan di seluruh Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk karakter dan peradaban yang bermartabat. Agar fungsi dan tujuan ini tetap terjaga, maka seluruh aspek Pendidikan mulai dari kurikulum, proses pembelajaran, hingga pengelolaan Pendidikan harus merujuk dan berlandaskan pada ketentuan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Ada 8 standar tolak ukur SNP sebagai dasar Pelaksanaan Kurikulum dan problematikanya:
1. Standar Isi
Kurikulum sekolah telah disusun sejak tahun 2008 berdasarkan panduan dari BSNP. Penyusunannya memperhatikan karakter siswa, budaya masyarakat sekitar, dan kondisi daerah. Kurikulum ini juga mencantumkan alokasi waktu belajar, program untuk siswa yang perlu pengayaan atau remedial, serta kegiatan pengembangan diri seperti konseling dan ekstrakurikuler. Meski sudah lengkap secara dokumen, masih ada masalah seperti belum semua guru mampu menyesuaikan materi dengan lingkungan siswa, serta integrasi nilai karakter yang belum optimal.
2. Standar Proses
Guru-guru di sekolah telah menyusun rencana pembelajaran dengan lengkap, mulai dari program tahunan, silabus, hingga RPP. Sebagian guru mulai menerapkan metode yang lebih bervariasi, seperti menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi. Namun, banyak guru yang masih mengandalkan metode ceramah. Hal ini karena masih ada keterbatasan kemampuan mengajar yang aktif dan menyenangkan. Selain itu, belum semua guru menerapkan prinsip pembelajaran yang memperhatikan perbedaan kemampuan, gaya belajar, dan latar belakang siswa. Maka dari itu, pelatihan guru masih sangat dibutuhkan.
3. Standar Kompetensi Lulusan
Secara umum, siswa telah mencapai nilai minimal yang ditentukan, baik di ujian harian maupun ujian nasional. Sekolah membantu pencapaian ini dengan memberikan tambahan belajar dan kegiatan pengayaan. Kegiatan pengembangan karakter seperti upacara, pramuka, dan kegiatan keagamaan juga sudah dilakukan. Meski begitu, tidak semua siswa memperlihatkan perilaku yang sesuai nilai-nilai sekolah, karena pengaruh lingkungan luar masih kuat. Ini menunjukkan bahwa pembinaan karakter perlu lebih diperkuat dan dilakukan secara menyeluruh.
4. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Jumlah guru sudah mencukupi dan sebagian besar telah memenuhi syarat pendidikan serta memiliki sertifikat pendidik. Namun, masih ada guru yang belum ikut pelatihan lanjutan secara rutin. Beberapa guru juga memiliki beban kerja yang tidak seimbang. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas pengajaran di kelas. Sekolah perlu mendorong peningkatan kualitas guru lewat pelatihan, seminar, dan pembinaan berkelanjutan.
5. Standar Sarana dan Prasarana
Fasilitas dasar seperti ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan ruang guru sudah tersedia. Namun, beberapa sekolah masih banyak kekurangan seperti ruang kelas yang belum memiliki tempat cuci tangan, peralatan laboratorium yang tidak lengkap, dan koleksi buku perpustakaan yang terbatas dan tidak merata. Semua ini berdampak pada kenyamanan dan keselamatan proses belajar-mengajar.
6. Standar Pengelolaan
Sekolah telah menyusun visi, misi, dan tujuan yang dirancang bersama guru, staf, dan komite sekolah. Dokumen perencanaan seperti RKS dan RKAS sudah dibuat dan disahkan. Namun, masih ada kendala dalam menyosialisasikan visi dan program kerja tersebut ke seluruh warga sekolah. Evaluasi terhadap kinerja sekolah juga belum dilakukan secara rutin. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya agar semua pihak sekolah memahami arah kebijakan dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
7. Standar Pembiayaan
Pengelolaan keuangan sekolah telah dilakukan sesuai prosedur, mulai dari perencanaan, pencatatan, hingga pelaporan. Namun dalam pelaksanaannya, terkadang realisasi anggaran tidak sesuai rencana karena perubahan kebutuhan atau keterlambatan dana. Selain itu, informasi tentang keuangan belum sepenuhnya terbuka dan mudah diakses semua warga sekolah. Ini menjadi tantangan dalam menciptakan pengelolaan keuangan yang transparan
8. Standar Penilaian Pendidikan
Sekolah telah menerapkan berbagai metode penilaian, baik tertulis, lisan, observasi, maupun penilaian proyek. Guru menilai siswa berdasarkan indikator yang sesuai dengan kompetensi dasar. Namun, masih ada guru yang fokus pada nilai akademik saja dan belum memperhatikan sikap serta keterampilan siswa. Beberapa guru juga kesulitan membuat alat penilaian yang sesuai standar. Maka dari itu, perlu peningkatan kemampuan guru dalam melakukan penilaian yang utuh dan adil.
Kesimpulan
Kurikulum memegang peran sentral dalam sistem pendidikan Indonesia sebagai pedoman utama untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Seiring perjalanan waktu, kurikulum mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan dinamika sosial, politik, dan perkembangan teknologi, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi dan Kurikulum Merdeka saat ini. Setiap perubahan kurikulum bertujuan agar pendidikan lebih relevan dan mampu mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan masa depan.
Namun, penerapan kurikulum di lapangan masih menghadapi sejumlah problematika yang bersumber dari ketidakseimbangan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Masalah-masalah tersebut meliputi keterbatasan kualitas dan kesiapan guru, sarana dan prasarana yang tidak merata, kendala dalam pengelolaan pendidikan, serta ketidaksesuaian dalam pelaksanaan standar proses dan penilaian. Ketimpangan dalam memenuhi delapan standar SNP termasuk standar isi, kompetensi lulusan, pendidik, sarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian menimbulkan kesenjangan antara kebijakan kurikulum yang ideal di atas kertas dengan realitas di sekolah.
Oleh karena itu, agar kurikulum dapat berfungsi optimal dan menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki karakter, keterampilan, dan sikap yang baik, perlu adanya perhatian serius pada pemenuhan dan pemerataan implementasi SNP di seluruh jenjang pendidikan. Penguatan kapasitas guru melalui pelatihan, peningkatan fasilitas pendidikan, pengelolaan yang transparan, serta pengawasan yang konsisten menjadi kunci utama dalam menyukseskan proses pembelajaran yang berkualitas sesuai dengan tuntutan kurikulum masa kini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
