Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahma Rafila

Kehilangan Mestika: Perjuangan Perempuan dalam Bayang Tradisi dan Harapan

Sastra | 2025-05-23 14:32:21

Fatimah Hasan Delais, yang dikenal juga dengan nama pena Hamidah, merupakan salah satu penulis perempuan yang ikut mewarnai dunia sastra Indonesia pada awal abad ke-20. Lahir di Muntok, Bangka, pada tahun 1915, Fatimah bukan hanya sekadar penulis, tetapi juga seorang pejuang bagi hak-hak perempuan. Karya-karya beliau sering kali menyoroti ketidakadilan sosial yang dihadapi oleh perempuan pada masa itu, serta perjuangan mereka untuk meraih pendidikan dan kebebasan. Salah satu karya monumental yang ia tulis adalah Kehilangan Mestika, sebuah novel yang mengangkat tema tentang perjuangan perempuan melawan tradisi yang membatasi kebebasan mereka.

Melalui Kehilangan Mestika, yang diterbitkan pada tahun 1935, Fatimah Hasan Delais mengukir sebuah karya yang tak hanya penting dalam konteks sastra Indonesia, tetapi juga sebagai cermin perjuangan sosial yang abadi.

Dokumen Pribadi

Sinopsis Novel Kehilangan Mestika

Kehilangan Mestika menceritakan perjalanan hidup Hamidah, seorang gadis cerdas dan berkemauan kuat yang hidup dalam masyarakat Melayu yang masih sangat kental dengan adat dan nilai-nilai patriarki. Ia tinggal di Pulau Bangka dan berasal dari keluarga terpandang. Sejak kecil, Hamidah dididik untuk menjadi perempuan "ideal" versi masyarakat: sopan, tunduk, dan patuh. Namun, sejak remaja, ia telah menunjukkan sifat yang kritis dan tidak sepenuhnya menerima norma-norma yang mengekang perempuan, terutama tradisi pingitan dan pernikahan paksa.

Hamidah dipingit pada usia yang masih sangat muda. Ia dikurung dalam rumah selama bertahun-tahun, tidak diperbolehkan bergaul bebas, apalagi melanjutkan pendidikan. Orang tuanya sudah menjodohkannya dengan pria pilihan keluarga tanpa memedulikan perasaan dan keinginannya. Meski dalam keterbatasan, Hamidah tetap berusaha membaca dan belajar secara diam-diam, menunjukkan bahwa ia ingin menjadi lebih dari sekadar istri yang baik bagi seorang pria.

Ketika orang tuanya meninggal secara tiba-tiba, kehidupan Hamidah berubah drastis. Ia kehilangan sosok pelindung meski otoriter, mereka adalah keluarga yang menaunginya. Hamidah terpaksa meninggalkan rumah dan hidup berpindah-pindah kota, mulai dari Pangkalpinang, Palembang, Bengkulu, hingga akhirnya ke Jakarta. Dalam pengembaraannya, ia bertemu berbagai macam orang, termasuk lelaki yang mencintainya, serta orang-orang yang mengajarkannya tentang makna hidup, kasih sayang, dan juga pengkhianatan.

Namun hidup Hamidah tidak pernah berjalan mudah. Ia kembali mengalami kehilangan tidak hanya secara fisik (kehilangan orang-orang yang disayangi dan tempat tinggal), tetapi juga secara batin: kehilangan arah, impian, dan kepercayaan terhadap cinta dan kehidupan. Kisah cintanya pun tidak berjalan mulus. Hubungan yang dijalani lebih banyak menimbulkan luka karena tidak sejalan dengan kehendak keluarga atau karena laki-laki yang ia cintai tidak mampu memperjuangkan dirinya.

Sepanjang novel, Hamidah menghadapi dilema antara memilih tunduk pada kehendak masyarakat atau memperjuangkan kebebasan dirinya. Keteguhan hatinya diuji berkali-kali. Ia bahkan sempat menyerah dan merasa bahwa hidupnya tidak lagi memiliki tujuan. Namun di titik paling rendah dalam hidupnya, ia justru menemukan makna baru: bahwa kehilangan bisa membuka jalan untuk memahami nilai kehidupan yang sejati.

Pada bagian akhir cerita, Hamidah tidak digambarkan sebagai tokoh yang menang dalam arti konvensional ia tidak mendapatkan semua yang ia impikan. Namun, ia menang secara moral dan spiritual. Ia berhasil berdiri di atas prinsipnya sendiri, menjadi perempuan merdeka yang tidak lagi bergantung pada laki-laki atau sistem yang menindasnya.

1. Perjuangan Perempuan dalam Bayang Tradisi

Tokoh utama, Hamidah, mengalami tekanan dari masyarakat yang memaksanya untuk mengikuti tradisi, seperti pingitan dan perjodohan paksa.

“Perbuatanmu ini melanggar kesopanan adat istiadat negerimu sendiri. Adakah adat kita memperkenankan seorang bujang membawa gadis ke rumahnya?”

Kutipan ini menunjukkan bagaimana adat digunakan sebagai alat kontrol sosial yang membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan. Paman Ridhan mewakili pandangan konservatif yang menilai tindakan Ridhan dan Hamidah sebagai pelanggaran terhadap norma, meskipun tidak ada niat buruk di baliknya. Hal ini mencerminkan tekanan sosial yang dihadapi perempuan untuk selalu menjaga "kesopanan" menurut standar masyarakat, yang sering kali tidak adil

2. Perjuangan Perempuan dalam Bayang Harapan

Meskipun menghadapi berbagai tekanan dan kehilangan, Hamidah tetap berusaha untuk mandiri dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, terutama dalam bidang pendidikan.

“Bapakku rupa-rupanya sudah lebih dahulu menyelami sekaliannya itu. Beliau menghendaki supaya aku tinggal di negeriku sendiri, berusaha memberikan pelajaran di antara saudarasaudaraku, supaya mereka dapat menurut kemauan zaman.”

Kutipan ini menunjukkan dukungan ayah Hamidah terhadap pendidikan dan peran aktif perempuan dalam masyarakat. Ayahnya menyadari pentingnya adaptasi terhadap perubahan zaman dan mendorong Hamidah untuk menjadi agen perubahan melalui pendidikan. Ini memberikan harapan bahwa perempuan dapat memiliki peran yang lebih besar dan setara dalam masyarakat.

Dalam novel Kehilangan Mestika, Fatimah Hasan Delais menyampaikan berbagai nilai dan isu sosial yang menyentuh persoalan perempuan di tengah masyarakat tradisional Indonesia. Salah satu isu paling menonjol dalam novel ini adalah emansipasi perempuan, yaitu proses pembebasan perempuan dari ketidaksetaraan dan pembatasan peran sosial yang selama ini lebih menguntungkan laki-laki.

Emansipasi perempuan bukan berarti ingin mengungguli laki-laki, melainkan menuntut hak yang setara dalam pendidikan, pekerjaan, serta dalam menentukan arah hidup sendiri termasuk kebebasan untuk memilih pasangan atau menolak pernikahan paksa. Hal ini tergambar jelas melalui perjuangan tokoh Hamidah yang menolak tunduk pada tradisi pingitan dan perjodohan yang tidak ia kehendaki.

Fatimah tidak serta-merta menolak adat dan budaya, namun ia secara halus mengkritik bagaimana adat yang dijalankan tanpa akal sehat dan pertimbangan moral justru bisa membelenggu perempuan secara sosial dan emosional. Dalam konteks ini, pendidikan digambarkan sebagai alat utama untuk membebaskan perempuan dari keterkungkungan peran tradisional, yang hanya menempatkan perempuan di dapur dan kamar. Pendidikan memberikan Hamidah kekuatan untuk berpikir, bersuara, dan membuat keputusan sendiri. Selain itu, novel ini juga secara gamblang menyoroti ketimpangan gender, memperlihatkan bagaimana perempuan diposisikan sebagai warga kelas dua, tidak punya kebebasan menentukan nasib, bahkan tidak dianggap memiliki hak untuk bermimpi.

Melalui Kehilangan Mestika, Fatimah Hasan Delais tidak hanya menceritakan kisah seorang gadis, tetapi juga menyuarakan keresahan dan harapan perempuan pada masanya sebuah suara awal dari perjuangan panjang emansipasi perempuan di Indonesia.

Salah satu kelebihan utama dari novel Kehilangan Mestika adalah keberaniannya dalam mengangkat tema yang revolusioner untuk zamannya. Diterbitkan pada tahun 1935, saat isu-isu perempuan masih dianggap tabu, Fatimah Hasan Delais tampil berani menyuarakan persoalan gender melalui tokoh utama perempuan yang vokal dan berpikiran maju. Tokoh Hamidah menjadi representasi perempuan yang menolak tunduk pada sistem patriarki, sesuatu yang sangat jarang muncul dalam karya sastra Indonesia kala itu. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini juga menjadi kekuatan tersendiri. Gaya penceritaan yang emosional dan reflektif, dibalut dengan narasi yang puitis dan melankolis, mampu menyentuh hati pembaca dan menggambarkan perasaan tokoh utama dengan sangat kuat. Kelebihan lainnya terletak pada penggunaan simbolisme, terutama dalam judul “Mestika” yang tidak hanya sebagai nama, tetapi sebagai perlambang nilai-nilai penting dalam kehidupan perempuan seperti harapan, cinta, dan harga diri. Tak kalah penting, novel ini memiliki daya realisme sosial yang kuat.

Tetapi dalam novel Kehilangan Mestika Karya Fatimah Hasan Delais ini tidak lepas dari kekurangan. Salah satu kelemahan yang cukup mencolok adalah alur cerita yang cenderung lambat. Beberapa bagian cerita berjalan repetitif dan kurang dinamis, yang mungkin membuat pembaca masa kini merasa jenuh. Selain itu, novel ini terlalu fokus pada tokoh utama, sehingga karakter pendukung kurang berkembang. Tokoh-tokoh lain tidak digali secara mendalam dan tidak memberi banyak warna terhadap perkembangan cerita, sehingga interaksi sosial dalam novel terasa agak datar. Terakhir, gaya penceritaan yang terlalu naratif dan minim dialog membuat cerita ini terasa berat bagi sebagian pembaca modern. Penekanan pada deskripsi panjang tanpa banyak adegan percakapan dapat mengurangi kesan dramatis dan membuat alur terasa monoton, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan cerita yang lebih cepat dan interaktif.

Kesimpulan

Kehilangan Mestika lebih dari sekadar karya sastra klasik, ia merupakan sebuah dokumen sejarah sosial yang menyuarakan awal perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia. Meskipun ditulis hampir satu abad lalu, pesan yang disampaikan tetap relevan hingga kini: perempuan berhak memilih, berpikir, dan bermimpi. Novel ini mengajak kita untuk merenung dan menilik kembali akar perjuangan perempuan dalam meraih kesetaraan dan kebebasan dalam kehidupan, terutama dalam pendidikan dan hak atas pilihan hidup.

Di zaman modern ini, meski sudah ada kemajuan, kesetaraan gender masih jauh dari merata. Banyak perempuan, terutama di daerah-daerah terpencil, yang belum bisa mengakses pendidikan yang layak karena alasan ekonomi atau tradisi. Gerakan seperti #SekolahPerempuan dan Komunitas Rumah Baca hadir untuk menembus tembok-tembok penghalang tersebut, sama seperti perjuangan Hamidah dalam novel ini yang berani melawan sistem adat yang mengekangnya demi mendapatkan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa semangat perjuangan untuk kesetaraan gender yang digambarkan dalam Kehilangan Mestika masih relevan, bahkan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini yang berjuang untuk hak-hak perempuan.

Novel ini bukan hanya memberikan wawasan mengenai kondisi sosial di masa lalu, tetapi juga menyemangati kita untuk terus berjuang untuk pendidikan dan kesetaraan gender. Kehilangan Mestika adalah bacaan yang sangat penting, tidak hanya untuk mereka yang tertarik pada sastra klasik atau studi gender, tetapi juga bagi para pembaca muda, guru, dan aktivis yang berjuang untuk perubahan sosial. Novel ini menjadi cermin yang mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk kesetaraan masih berlangsung dan perlu terus dilanjutkan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image