Jejak Perlawanan Midah: Bersuara, Bertindak, dan Berdaulat atas Diri Sendiri
Sastra | 2025-05-23 14:23:30Sastra tidak hanya sekadar kisah-kisah rekaan, tetapi juga cerminan dari realitas sosial, sejarah, dan pergulatan batin manusia. Dalam tangan para sastrawan besar, sastra menjadi alat yang ampuh untuk menggugat ketidakadilan dan membela kaum yang terpinggirkan. Di Indonesia, salah satu nama paling berpengaruh dalam ranah ini adalah Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis yang tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga membangun perlawanan melalui tulisan.
Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang nasionalis dan penuh semangat perlawanan. Pengalaman hidupnya yang keras, termasuk masa-masa dipenjara tanpa pengadilan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru, memberikan warna kuat pada karya-karyanya. Ia dikenal sebagai penulis yang berpihak pada rakyat kecil, kaum tertindas, dan mereka yang suaranya kerap dibungkam, terutama perempuan. Gaya bahasa Pramoedya lugas, puitis, namun penuh kritik sosial dan kedalaman intelektual.
Di antara karya-karyanya yang paling terkenal adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang mengangkat tokoh Minke dan perjuangannya melawan kolonialisme. Selain itu, Pramoedya juga menulis karya-karya penting lainnya seperti Gadis Pantai, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Perburuan, dan Nyai Ontosoroh semuanya memperlihatkan keberpihakannya pada kaum perempuan dan perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang timpang.
Salah satu karya menarik Pramoedya yang kurang mendapat sorotan luas namun sangat penting dari sisi kajian gender dan sosial adalah Midah, Si Manis Bergigi Emas. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1954 dan menampilkan sosok Midah, seorang perempuan yang harus berjuang keras membebaskan diri dari kungkungan budaya patriarkal, tekanan keluarga religius, dan eksploitasi dalam masyarakat. Midah bukan hanya karakter rekaan, tetapi representasi dari perempuan yang memilih untuk bersuara, bergerak, dan berdaulat atas hidupnya meskipun dengan harga sosial yang mahal.
Sinopsis Midah Si Manis Bergigi Emas
Midah adalah seorang perempuan muda yang tumbuh dalam lingkungan keluarga religius dan berkecukupan di Batavia. Ayahnya, Haji Abdul, adalah tokoh masyarakat yang dihormati karena status sosial dan agamanya. Namun, di balik penampilan religius tersebut, rumah Midah adalah ruang represi, terutama bagi dirinya sebagai anak perempuan. Perlakuan ayah yang keras dan otoriter membuat Midah tidak punya banyak pilihan dalam menentukan jalan hidupnya.
Pelarian emosional Midah adalah dunia musik, khususnya lagu-lagu keroncong yang waktu itu dianggap “rendahan” oleh kalangan elite dan haram di telinga ayahnya yang konservatif. Puncak represi keluarga terjadi ketika Midah dijodohkan secara paksa dengan Hadji Terbus, seorang lelaki tua kaya raya yang telah memiliki banyak istri. Midah tidak memiliki hak untuk menolak. Dalam rumah tangga itu, Midah justru terjebak dalam kekerasan fisik dan mental. Merasa martabatnya diinjak dan hidupnya tidak lagi berarti, Midah memutuskan untuk kabur dalam keadaan hamil, meninggalkan kemewahan palsu demi menyelamatkan harga dirinya dan calon bayinya.
Pelariannya tidak mudah. Tanpa dukungan keluarga, ia berjuang sendiri di tengah kota besar. Berbekal suara merdunya dan keterampilan menyanyi keroncong yang ia pelajari secara otodidak, Midah mulai mengais rezeki dari panggung ke panggung kecil, dari jalanan hingga kafe-kafe malam. Ia sempat bergabung dengan sebuah rombongan musik keroncong jalanan, namun kembali mengalami penolakan dan kekerasan verbal dari sesama anggota, terutama karena ia membawa serta bayinya.
Dalam kesendiriannya, Midah bertemu Ahmad, seorang polisi yang juga seniman. Ahmad melihat potensi dalam diri Midah dan membantunya mengembangkan kemampuan bernyanyi secara lebih profesional. Lewat Ahmad, Midah masuk ke dunia radio dan mulai dikenal sebagai penyanyi. Namun, Ahmad ternyata juga menyimpan niat buruk ia memperkosa Midah, dan saat ia hamil, Ahmad menolak bertanggung jawab. Ini menjadi luka baru bagi Midah, namun juga momen penting dalam pembentukan tekadnya untuk tidak lagi bergantung pada siapa pun.
Midah terus melangkah sendiri. Dalam proses itu, ia juga memilih jalan yang sulit dan penuh risiko: menjadi perempuan penghibur, menjalin relasi dengan para hartawan lokal dan asing. Pilihan ini bukan karena keterpaksaan, melainkan bentuk kontrol penuh atas tubuh dan hidupnya, suatu keputusan yang menabrak nilai-nilai moral keluarga lamanya, tapi baginya adalah lambang kebebasan.
Kisah hidup Midah adalah kisah tentang perempuan yang berkali-kali dihancurkan oleh sistem patriarki, namun selalu berhasil bangkit. Ia menunjukkan bahwa kemandirian perempuan bisa dicapai dengan cara yang tak selalu sesuai dengan norma, tetapi tetap sah sebagai pilihan yang berdaulat. Di balik senyum manis dan gigi emasnya, Midah menyimpan kekuatan yang tidak mudah ditundukkan. Ia bukan hanya penyintas, tapi simbol perlawanan terhadap dominasi maskulin dan ketidakadilan sosial.
1. Midah yang Bersuara
Midah tidak dibesarkan dalam ruang yang memberinya kebebasan untuk berbicara. Sejak kecil, ia hidup di bawah kendali seorang ayah religius, Hadji Abdul, yang menganggap suara perempuan sebagai aib, apalagi jika dinyanyikan melalui musik keroncong yang dianggap cabul dan rendah. Namun, justru dari suara itulah Midah membentuk identitas dan perlawanan. Musik keroncong menjadi simbol resistensi kelas dan gender. Dalam konteks kolonial dan pasca-kolonial, keroncong bukan hanya seni “kelas bawah”, tapi juga bentuk budaya tandingan terhadap moral borjuis-priyayi yang kaku.
“Aku punya suara. Aku tak bisa hidup tanpa suara. Dan aku ingin menyanyi.”(Midah Si Manis Bergigi Emas, hlm. 54)
Kalimat ini merefleksikan keberanian Midah dalam mengartikulasikan kehendaknya di hadapan ayah dan masyarakat. “Suara” di sini ganda: literal (nyanyian) dan metaforis (eksistensi perempuan). Ia menjadikan suara bukan hanya ekspresi seni, tetapi bentuk pernyataan: “Aku ada dan aku menolak tunduk.” Suara dan nyanyian Midah adalah bentuk kapital simbolik yakni alat yang memberinya pengakuan dan eksistensi dalam arena seni dan masyarakat. Ia menciptakan kapital dari yang dianggap "tidak bermodal" oleh kelas elit.
2. Midah yang Bertindak
Midah tidak hanya berani menyuarakan pendapatnya, tetapi juga mengambil tindakan nyata. Ia memilih kabur dari pernikahan yang menindas dan menentukan jalan hidupnya sendiri, meskipun penuh risiko. Ketika dijodohkan secara paksa kepada Hadji Terbus, seorang tua kaya raya yang misoginis dan kasar, ia tidak pasrah. Saat pernikahan menjadi penjara fisik dan mental, Midah memilih tindakan ekstrem: kabur sambil hamil, demi menyelamatkan hidup dan harga dirinya.
“Aku lari karena tak ingin hidupku ditentukan orang lain. Lebih baik mati kelaparan daripada hidup seperti barang dagangan.” (Midah Si Manis Bergigi Emas, hlm. 66)
Kalimat ini mencerminkan titik balik emansipasi Midah. Ia menolak menjadi objek transaksi patriarki. Keputusan kabur sambil mengandung bukan tindakan lemah, melainkan bukti ia sanggup mengelola risiko demi kedaulatan.Midah memilih untuk melarikan diri dari rumah dan pernikahannya karena ia merasa terjebak dalam hubungan yang tidak adil dan menyakitkan. Pernikahan yang dipaksakan padanya bukanlah tempat kasih sayang, tapi justru menjadi alat bagi ayah dan masyarakat untuk mengatur hidupnya.
Dalam masyarakat seperti itu, perempuan sering tidak diberi pilihan dan hanya dijadikan alat untuk mempertahankan kehormatan atau status keluarga. Dengan kabur, Midah sebenarnya sedang menolak sistem yang menjadikan perempuan tidak punya suara. Ia tidak mau terus hidup dalam aturan yang menindas, dan ingin menentukan sendiri jalan hidupnya. Jadi, pelariannya bukan semata-mata karena ingin bebas, tapi juga bentuk perlawanan terhadap aturan pernikahan yang tidak berpihak pada perempuan.
Ia membuktikan bahwa perempuan bisa keluar dari ruang domestik dan membentuk ruang alternatifnya sendiri. Midah berpindah arena, dari arena keluarga religius ke arena publik (musik, jalanan, hiburan), dan menunjukkan bahwa perempuan bisa berpindah ruang sosial sambil membawa nilai dan habitus baru.
3. Midah yang Berdaulat atas Diri Sendiri
Setelah ditinggalkan dan dikhianati berkali-kali oleh ayah, oleh suami, bahkan oleh Ahmad (yang awalnya menolong namun memperkosanya) Midah tidak runtuh. Ia membentuk sistem nilai sendiri yang menolak tunduk pada moral keluarga dan agama yang patriarkis.
“Aku tahu apa yang kukerjakan. Tubuh ini pun milikku, dan aku yang menentukannya.” (Midah Si Manis Bergigi Emas, hlm. 98)
Midah menolak dikontrol oleh negara, agama, keluarga, bahkan cinta. Ia mengambil kendali penuh atas tubuh dan kehidupannya. Ia menjalin relasi dengan lelaki kaya, bukan karena ketergantungan, tapi karena ia menyadari posisinya dalam negosiasi sosial. Pilihan ini adalah bentuk kedaulatan sadar, bukan korban eksploitasi.Dalam tubuh Midah, Pramoedya menampilkan narasi tubuh perempuan yang tidak pasrah. Tubuh bukan alat transaksi, bukan simbol aib, melainkan subjek politik dan sosial. Gigi emas dan senyumnya menjadi metafora atas kekuatan luar dan luka dalam: ia tetap tegar di hadapan trauma dan stigma.Midah membalikkan stigma menjadi strategi: ia menggunakan daya tarik tubuh sebagai modal sosial dan simbolik untuk bertahan hidup dalam masyarakat yang menindas.
Dalam perjalanannya, Midah tidak hanya mengandalkan bakat. Ia mengembangkan berbagai jenis kapital: ekonomi (penghasilan dari menyanyi), sosial (relasi dengan grup musik, masyarakat, dan tokoh-tokoh penting), simbolik (popularitas dan pengakuan publik), dan budaya (pengetahuan dan keterampilan seni). Ia tidak hanya bertahan hidup, tapi berhasil menguasai arena sosial yang sebelumnya menindasnya. Bahkan ketika ia ditolak dan dikhianati oleh orang-orang yang awalnya menolong, seperti Ahmad, seorang polisi sekaligus seniman yang memperkosa dan meninggalkannya, Midah tidak menyerah. Ia justru semakin kuat dan yakin pada langkah hidup yang ia pilih.
Pilihan Midah untuk menjadi perempuan penghibur, meskipun kontroversial secara moral, ditampilkan sebagai bentuk kemandirian penuh. Ia tidak dipaksa, tidak ditekan, dan tidak berada di bawah kuasa siapa pun. Dalam dunia yang keras dan penuh dominasi laki-laki, Midah mengambil alih kendali atas tubuh dan hidupnya. Ia menunjukkan bahwa perempuan juga bisa memilih jalannya sendiri, menentukan nasibnya sendiri, dan bersuara atas dirinya sendiri, baik secara harfiah lewat nyanyian, maupun secara simbolik lewat tindakan.
Kesimpulan
Novel ini menyampaikan pesan kuat bahwa perempuan tidak harus tunduk pada struktur sosial yang mengekang. Pramoedya melalui karakter Midah, seperti juga pada tokoh-tokoh perempuan dalam karya-karya lainnya, memperjuangkan suara perempuan yang sering kali dibungkam. Ia mendorong perempuan untuk bersuara dan bertindak, untuk merebut kembali ruang sosial yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Dengan penggambaran yang jujur dan menyentuh, Midah tampil sebagai contoh perempuan yang berani, cerdas, dan mandiri.
Melalui kisah Midah, pembaca diajak merenungkan bagaimana perempuan bisa membentuk dunianya sendiri, bahkan dari puing-puing luka dan kekecewaan. Perjuangan Midah menjadi inspirasi bahwa kekuatan perempuan tidak hanya terletak pada kelembutan atau pengorbanan, tetapi juga pada keberanian untuk melawan, bertindak, dan menjadi pemilik atas hidupnya sendiri.Salah satu kelebihan utama novel Midah, Si Manis Bergigi Emas adalah keberaniannya mengangkat persoalan perempuan dalam masyarakat yang patriarkal. Pramoedya Ananta Toer menampilkan sosok Midah sebagai perempuan yang tidak mau tunduk pada sistem sosial yang menindas. Ia melawan kekerasan dalam rumah tangga, keluar dari pernikahan yang tidak ia pilih, dan berusaha hidup mandiri di tengah kota besar yang keras.
Tema ini menjadi kekuatan utama novel, apalagi ditulis di masa ketika isu-isu semacam itu belum banyak dibicarakan secara terbuka. Selain itu, simbolisme yang digunakan Pramoedya, seperti musik keroncong sebagai lambang kebebasan dan gigi emas sebagai penanda distingsi sosial, memperkaya lapisan makna dalam cerita. Gaya bahasanya pun kuat dan lugas, membuat pesan yang ingin disampaikan terasa tajam dan menyentuh. Novel ini juga tetap relevan hingga kini karena menyuarakan pentingnya kebebasan perempuan untuk menentukan hidupnya sendiri.
Namun demikian, novel ini tidak lepas dari kelemahan. Beberapa tokoh pendukung seperti Ahmad, Hadji Terbus, atau anggota rombongan keroncong tidak digambarkan dengan kedalaman karakter yang cukup. Mereka hadir sebatas fungsi untuk mendukung cerita Midah, tanpa banyak ruang untuk menunjukkan kompleksitas. Alur cerita pun kadang terasa melompat-lompat fase perubahan hidup Midah, seperti dari penyanyi jalanan ke dunia film dan kemudian ke kehidupan malam, terjadi terlalu cepat dan tanpa transisi emosional yang cukup. Selain itu, konflik dalam cerita kerap dibangun secara hitam-putih, menjadikan tokoh antagonis terlihat terlalu jahat tanpa sisi kemanusiaan.
Pilihan akhir Midah untuk menjadi perempuan penghibur juga dapat menimbulkan kontroversi karena bertabrakan dengan nilai-nilai moral konservatif. Meskipun dimaksudkan sebagai simbol kebebasan, sebagian pembaca mungkin memandangnya sebagai bentuk keputusasaan. Meskipun demikian, secara keseluruhan novel ini tetap penting dan layak diapresiasi sebagai karya sastra yang menyoroti perjuangan perempuan secara kritis dan berani.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
