Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zahra Nur rahma

Midah: Melodi Perlawanan

Sastra | 2025-05-22 19:29:49
Langkah Kebebasan. (Sumber: https://www.pexels.com/id-id/)

Feminisme Marxis adalah gerakan yang berjuang untuk melawan penindasan yang dialami perempuan akibat sistem kapitalis dan patriarki. Dalam gerakan ini, ditekankan bahwa perbedaan kelas antara orang kaya (borjuis) dan orang miskin (proletar) sangat berpengaruh dalam mengeksploitasi perempuan, terutama dalam hal reproduksi dan peran sosial. Teori yang dikemukakan oleh Friedrich Engels menjadi dasar pemahaman ini, menjelaskan bagaimana status perempuan menurun seiring dengan munculnya kepemilikan pribadi. Kegiatan produksi yang awalnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi berubah menjadi untuk pertukaran, di mana laki-laki mengambil alih kontrol atas produksi dan hubungan sosial. Hal ini membuat perempuan sering dianggap sebagai objek atau barang, kehilangan hak dan kendali atas tubuh serta pilihan hidup mereka. Dalam masyarakat yang berorientasi pada keuntungan, muncul kelas sosial yang memperkuat penindasan ini. Jika sistem kapitalisme runtuh, maka struktur sosial yang menindas dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan bisa dihilangkan. Novel "Midah Si Manis Bergigi Emas" karya Pramoedya Ananta Toer menjadi contoh yang tepat untuk menganalisis kenyataan ini, menggambarkan perjuangan Midah sebagai perwakilan perempuan yang terjebak dalam sistem yang menindas.

"Haram! Haram! siapa memutar lagu itu di rumah? dan waktu dilihatya Midah masih asyik mengiringi lagu itu, ia tampar gadis itu pada pipinya" (Halaman 18)

Kutipan ini merepresentasikan bagaimana sistem patriarki dan nilai-nilai ideologis kelas dominan bekerja untuk mengendalikan perempuan, terutama dalam lingkungan keluarga. Ayah Midah, dalam hal ini, berperan sebagai representasi kelas dominan yang menetapkan norma, aturan moral, dan batas-batas ekspresi perempuan.Kata “haram” yang diulang dua kali menandakan bagaimana kekuasaan laki-laki membingkai tindakan atau ekspresi perempuan dalam batas-batas yang dianggap sah secara budaya, agama, dan moral. Lagu yang diputar oleh Midah tidak hanya dianggap melanggar norma, tetapi menjadi simbol pembangkangan terhadap sistem nilai yang selama ini dijaga ketat oleh sang ayah. Ketika Midah tetap menyanyi dan menikmati lagu tersebut, ia dihukum secara fisik, yaitu ditampar, sebagai bentuk disiplin atas tubuh dan ekspresi seorang perempuan. Tindakan ini mencerminkan penindasan ideologis terhadap perempuan. Midah tidak memiliki otoritas atas tubuh, pilihan, maupun bentuk hiburannya sendiri.

"Midah, sekarang engkau sudah besar. Sebentar lagi kawin. Jangan kira engkau tidak cantik. Sudah banyak bapakmu menerima lamaran. Tapi bapakmu hanya mau menerima lamaran kalau ada hadji dari Cibatok yang mengerjakannya." (Halaman 20)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Midah tidak diberi ruang untuk menentukan nasib dan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam hal memilih pasangan. Pernyataan ayahnya, "sudah banyak bapakmu menerima lamaran," memperjelas posisi Midah sebagai objek yang ditawar-tawarkan, dan bukan sebagai subjek yang memiliki kehendak. Kalimat "tapi bapakmu hanya mau menerima lamaran kalau ada hadji dari Cibatok yang mengerjakannya" menyingkap adanya syarat kelas dan status sosial tertentu yang diharapkan dari pihak laki-laki. Di sini terlihat bahwa pernikahan dijadikan sebagai alat tukar antar kelas sosial, di mana perempuan menjadi “nilai tukar” dalam mempertahankan kehormatan dan status keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa penindasan perempuan tidak selalu berbentuk fisik, melainkan juga hadir dalam bentuk pengaturan hidup dan pilihan melalui sistem nilai yang dibangun oleh kelas dominan (laki-laki).

"Di tangan lelaki ini Midah tak ubahnya dengan sejumput tembakau. Ia bisa dipilin pendek dipilin panjang–dipilin dalam berbagai bentuk. Di daerah, di mana dahulu bapaknya dilahirkan, ia merasa sebagai sebatang tanggul terpancang di tengah-tengah padang. Apalagi setelah diketahuinya bahwa Hadji Terbus bukan bujang dan buka muda. Bininya telah tersebar banyak di seluruh Cibatok. Ini diketahuinya waktu ia mengandung tiga bulan." (Halaman 20-21)

Dalam kutipan di atas, Midah diperlakukan seperti sejumput tembakau—barang kecil yang bisa digulung atau dibentuk sesuka hati. Artinya, Midah tidak dianggap sebagai manusia yang punya pilihan, tetapi seperti benda yang bisa dikendalikan dan dimanfaatkan oleh Hadji Terbus, suaminya. Setelah dinikahi, Midah juga merasa kesepian dan terasing, seperti "sebatang tanggul" (tiang kayu) di tengah padang. Ini menggambarkan bahwa dia merasa tidak punya tempat, tidak punya kuasa, dan bahkan tidak dihargai, apalagi setelah tahu kalau suaminya sudah punya banyak istri. Yang lebih menyakitkan, ia baru mengetahui kenyataan itu ketika sudah mengandung tiga bulan, yang artinya dia benar-benar terjebak dalam pernikahan itu.

"Anak Hadji Abdul tidak bakal lari dari rumah lakinya. Anak hadji Abdul di didik baik. Engkau yang jadi biang keladi kalau terjadi seperti itu." (Halaman 22)

Dalam kutipan ini, terlihat bagaimana perempuan dikontrol oleh norma sosial dan kehendak keluarga, bukan oleh kehendaknya sendiri. Midah, sebagai perempuan, tidak diberi kebebasan untuk membuat keputusan tentang hidupnya—termasuk jika dia ingin meninggalkan suaminya. Keluarganya menekankan bahwa "anak Hadji Abdul tidak bakal lari dari rumah lakinya", artinya perempuan harus taat sepenuhnya pada suami, walaupun pernikahannya tidak bahagia atau bahkan merugikannya. Ini mencerminkan budaya patriarki, di mana perempuan dianggap bertanggung jawab penuh atas keharmonisan rumah tangga, dan tidak boleh melawan sistem atau tradisi, meskipun dirinya dirugikan. Kemudian kalimat "anak Hadji Abdul dididik baik" menunjukkan bahwa perempuan diukur dari seberapa patuh dan tunduk nya ia terhadap suami, bukan dari kebahagiaan atau kemauan pribadinya.

"Baiklah, kalau begitu aku mencoba mencari kerja, kata Midah malam itu." (Halaman 23)

Pada kutipan ini, Midah mengatakan bahwa ia ingin mencari kerja. Ini bisa dibaca sebagai usaha untuk melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi dan penindasan yang selama ini ia alami. Dengan bekerja, Midah berusaha mendapatkan kemandirian, baik secara finansial maupun secara pribadi. Tindakan Midah ini bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem sosial dan ekonomi yang menindas perempuan. Ia berusaha naik kelas, keluar dari posisi tertindas, dan mulai mengontrol hidupnya sendiri.

"Kini tarikan untuk memasuki kehidupan tanpa kesulitan itu makin terasa. Kehidupan yang hanya mengabdi kepada kenikmatan, kegirangan, dan keriaan ditingkah kroncong." (Halaman 25)

Kutipan ini menunjukkan bahwa Midah mulai tergoda dengan kehidupan yang terlihat menyenangkan dan bebas dari masalah, seperti dunia hiburan atau kesenangan yang ditandai dengan musik dan pesta. Tapi kalau dilihat dari teori feminisme Marxis, ini bukan hanya tentang kesenangan biasa.Teori ini menjelaskan bahwa perempuan seperti Midah sebenarnya berada dalam tekanan ekonomi dan sosial. Ia tidak diberi pilihan yang banyak. Ia sudah ditekan oleh ayahnya, dipaksa menikah, dan hidupnya dikontrol. Jadi, saat dia melihat ada "jalan keluar" yang lebih bebas dan menyenangkan, wajar saja kalau dia tertarik—walau itu mungkin bukan pilihan ideal.

"Kini ia menghadapi kenyataan sebagai wanita dalam kerumunan pria gelap kamar. Kini ia berhadapan dengan tenaga gila yang dibuat darah yang sedang mendidih."

"Ia melawan, tetapi percuma. Akhirnya berbisik lemah: Jangan ganggu aku. Aku sedang mengandung. Tetapi Mimin tidak peduli. Tubuhnya telah terguncang-guncang oleh terkaman itu." (Halaman 40)

Kutipan ini menggambarkan kejadian kekerasan seksual yang dialami Midah oleh seorang laki-laki bernama Mimin. Midah saat itu sedang hamil, dan dalam kondisi rentan, tapi tetap tidak dihormati atau dilindungi. Ia sudah berusaha menolak dan melawan, tapi tidak berhasil. Dalam teori feminisme Marxis, perempuan sering dianggap seperti "milik" atau "barang" yang bisa diperlakukan semaunya oleh laki-laki, terutama jika perempuan itu tidak punya kuasa atau status sosial yang kuat. Midah berada di posisi lemah dalam arti, ia bukan lagi anak Hadji Abdul yang dihormati, dan ia tidak punya suami atau pelindung. Jadi, dalam sistem sosial yang patriarkal dan kapitalistik, perempuan seperti Midah menjadi sangat mudah ditindas, bahkan oleh laki-laki biasa seperti Mimin. Feminisme Marxis juga melihat bahwa ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tapi juga soal relasi kuasa dan kelas. Mimin merasa bisa berbuat semaunya karena tahu Midah tak berdaya. Midah tidak punya kuasa ekonomi, tidak punya perlindungan sosial, dan dianggap “rendah” karena ia penyanyi keroncong. Dalam sistem seperti ini, perempuan dianggap sah-sah saja untuk dimanfaatkan.

"Kami tidak terima orang. Semua tempat sudah dipesan." "Di mana aku harus melahirkan?" "Pulang saja. Kan ada dukun kampung di sana?" (Halaman 49)

Percakapan ini terjadi saat Midah ingin melahirkan, tapi ditolak oleh tempat bersalin. Ia disuruh pulang dan melahirkan saja dengan bantuan dukun kampung. Ini jelas menggambarkan ketidakadilan yang dialami Midah sebagai perempuan yang tidak punya kekuasaan, uang, atau status sosial. Midah dianggap orang biasa yang tidak punya koneksi atau uang, hak dasarnya sebagai perempuan—yaitu melahirkan dengan aman—tidak dihargai. Dia ditolak begitu saja dan dianggap bukan prioritas. Saran untuk melahirkan ke dukun kampung juga memperlihatkan bahwa perempuan yang miskin dan tak punya kuasa hanya dianggap pantas mendapat pelayanan seadanya, meskipun itu bisa membahayakan nyawanya. Artinya, sistem ini tidak adil dan tidak peduli pada keselamatan perempuan dari kelas bawah.

"Kita bisa kawin dengan wali hakim. Itupun hanya menambahi kebingungannya. Dan air matanya menderas. Tindakan-tindakan yang menurut saluran-saluran sah itu menakutkan hatinya. Ia takut kehilangan kebebasannya yang hanya bisa diperolehnya dengan menghindari jalan-jalan yang sah itu." (Halaman 58)

Dalam kutipan ini, Midah merasa bingung dan takut saat ditawari untuk menikah secara sah lewat wali hakim. Padahal, biasanya orang merasa tenang dengan pernikahan yang diakui hukum. Tapi buat Midah, hal itu justru menakutkan. Kenapa? Karena selama ini Midah sudah berusaha hidup bebas dan mandiri. Dia sudah keluar dari aturan-aturan yang mengikat perempuan, seperti harus menikah sesuai keinginan orang tua, atau hidup tergantung pada laki-laki. Ia takut kalau menikah secara sah, ia akan kembali terikat dan kehilangan kebebasannya. Jadi, meskipun menikah secara hukum terdengar baik, buat Midah, itu seperti jebakan yang bisa membuatnya kembali "dikendalikan" baik oleh suami, hukum, atau norma masyarakat. Ia merasa lebih bebas saat berada di luar hubungan yang “sah” itu.

"Dengan gigi emas mu itu engkau bertambah manis. Sayang tak mau jadi biniku. Jadi..." "Baiklah. Baiklah. Aku mengerti, kata Midah akhirnya. Dan sambil membawa anak dan buntalan po serta pakaiannya ia tinggalkan penginapan itu." (Halaman 65)

Dalam dialog ini, Midah ditolak secara halus oleh seorang laki-laki karena ia tidak mau menikah dengan laki-laki itu. Kalimat “Sayang tak mau jadi biniku. Jadi...” seolah memberi isyarat bahwa karena Midah tidak mau tunduk pada kehendak laki-laki (untuk menikah), maka ia harus pergi. Midah tidak dipandang sebagai perempuan yang bebas memilih, tapi malah seperti harus ikut aturan kalau mau "diterima" di kelompok tersebut. Ketika ia memilih untuk tetap mandiri dan tidak menikah, konsekuensinya adalah ia harus pergi, membawa anak dan barang-barangnya sendiri. Ini menunjukkan bagaimana perempuan seperti Midah tidak memiliki kekuatan ekonomi dan sosial yang setara, sehingga mereka mudah “dipindahkan”, “ditinggalkan”, atau “disingkirkan” kalau tidak memenuhi keinginan laki-laki.

"Apa yang kupinta? Akui ini anakmu. Beri aku surat sah, bahwa ini anakmu. Aku dengan kejadian ini akan bertanggung jawab. Tetapi akui ini anakmu."

"Engkau mau jebak aku."

"Menjebak? Ini hanya akibat perbuatanmu."

"Tidak! Engkau mau jebak aku. Engkau mau paksa aku kawini kau."(Halaman 108)

Percakapan antara Midah dan Ahmad mencerminkan ketidakadilan gender yang sering dialami perempuan dalam masyarakat yang patriarki. Ketika Midah meminta Ahmad untuk mengakui dan bertanggung jawab atas anak mereka, ia menunjukkan upaya untuk mendapatkan hak dan pengakuan yang seharusnya ia terima sebagai seorang ibu. Namun, Ahmad justru menuduh Midah ingin menjebaknya, yang mencerminkan sikap defensif yang sering dimiliki laki-laki ketika dihadapkan pada konsekuensi dari tindakan mereka. Dari sudut pandang feminisme Marxis, dialog ini menggambarkan bagaimana sistem sosial yang tidak adil menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah, di mana mereka sering kali harus berjuang untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan. Dalam konteks ini, Midah melawan ketidakadilan tersebut dengan berani menuntut tanggung jawab, meskipun ia menghadapi penolakan dari Ahmad.SimpulanDalam analisis novel "Midah Si Manis Bergigi Emas," terlihat jelas bagaimana sistem patriarki dan kapitalisme bekerja sama untuk menindas perempuan. Midah, sebagai tokoh utama, menggambarkan perjuangan perempuan yang ingin mendapatkan kembali hak dan kebebasan dalam hidupnya di tengah batasan dan norma sosial yang ketat. Dari kekerasan yang dialaminya hingga penolakan untuk diakui dan diberi tanggung jawab oleh laki-laki, setiap pengalaman Midah menunjukkan kenyataan pahit yang dihadapi perempuan dalam masyarakat yang tidak adil. Dengan berani menuntut keadilan dan mencari kemandirian. Novel ini tidak hanya menggambarkan kehidupan satu individu, tetapi juga menjadi cermin bagi masalah sosial yang lebih besar, mengajak kita untuk berpikir tentang pentingnya melawan penindasan gender dan kelas demi menciptakan keadilan sosial yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

 

  • Retnani, S. D. (2017). Feminisme dalam Perkembangan Aliran Pemikiran dan Hukum di Indonesia. Alethea: Jurnal Ilmu Hukum.
  • Toer, P. A. (2003). Midah Si Manis Bergigi Emas. Jakarta: Lentera Dipantara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image