Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Vika Azzahra

Bentuk Ketidakadilan yang Terjadi Terhadap Perempuan: Novel Kehilangan Mestika

Sastra | 2025-05-18 15:26:36
Gambar hasil dari screenshot buku pdf sendiri

Kehilangan mestika merupakan karya sastra yang di tulis oleh Fatimah Hasan Delais. Kehilangan mestika terbit pada tahun 1935 dan diterbitkan di balai Pustaka. Buku ini mengisahkan tentang perjuangan Hamidah dalam memperjuangkan hak perempuan di padang. Bukan hanya mengisahkan tentang perjuangannya, buku ini juga menceritakan tentang perjalanan cinta seorang Hamidah yang sangat jauh dari kata mulus. Percintaan yang Hamidah alami tidak pernah mencapai happy ending, Hamidah selalu diterpa badai dalam kisah percintaannya.

Kehilangan Mestika, memiliki alur maju di mana permulaannya adalah ketika Hamidah sudah menyelasaikan sekolahnya dan akan kembali ke kampung halamannya. Lalu, di lanjut dengan mulainya konflik ketika Hamidah sudah memulai perjuangan dengan bekerja sebagai pendidik. Kehilangan Mestika memiliki sudut pandang orang pertama, yaitu “aku”.

Tulisan ini akan memperlihatkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan di dalam novel Kehilangan Mestika.1. Pandangan masyarakat terhadap perempuanMasyarakat dahulu memiliki pandangan bahwa sebaiknya perempuan hanya di rumah saja, duduk di dapur, memasak, mencuci, dan melayani keluarga, tanpa harus berkeliaran ke luar untuk mencari kesenangan maupun pekerjaan.“Bukankah lapangan mereka hanya di dalam rumah saja? Apalagi gadis seperti yang kaubawa ini, gadis yang telah lerak ke mana-mana” (Kehilangan mestika, 13). 2. Perempuan tidak boleh bekerjaSeperti tadi, bahwa jelas masyarakat dulu sangat menatap hina perempuan yang berkeliaran, apalagi perempuan yang bekerja selain pekerjaannya di dapur.

Menurut masyarakat di sana, Hamidah dan bapaknya seperti mengikuti adat orang kulit putih, yang membiarkan anak perempuannya belajar, sekolah, dan bekerja di luar.“Karena di negeriku akulah pertama kali membuka pintu pingitan bagi gadis-gadis, maka bermacamlah cacian yang sampai ke telinga kaum keluargaku”.“Karena bapakku tiap-tiap hari mengatar dan menjemputku ke sekolah, ia di pandang orang kebelanda-belandaan, sebab menurut pengetahuan orang-orang itu hanya orang kulit putih saja yang beradat demikian” (KM, 16).3. Tradisi pingitPerempuan di zaman itu, diceritakan haruslah di pingit mengikuti tradisi yang ada.

Di pingit berarti perempuan tidak boleh keluar, tidak boleh belajar dan hanya duduk diam di rumah sampai calon suaminnya datang atau ada yang melamar.“Gadis-gadis mesti dipingit, tak boleh kelihatan oleh orang yang bukan sekeluarga lebih-lebih oleh lelaki”. (KM, 15).4. Tidak diberikannya hak untuk berpikir mengenai keinginannyaNovel ini memperlihatkan bahwa perempuan dituntut untuk mengambil keputusan dengan dipaksa oleh laki-laki. Perempuan seperti tidak diberi ruang untuk berpikir oleh masyarakat untuk kehidupannya. Perempuan dibungkam dan seolah dipaksa untuk menuruti keinginan masyarakat dan masyarakat tidak mau tahu apa yang sebenarnya menjadi keinginan perempuan.“Tidak Dah, aku tak kuasa lagi menunggu.

Oleh karena inilah makanya engkau kubangunkan pagi-pagi benar. Berilah jawabanmu sekarang juga, supaya aku jangan bimbang. Dapat atau kecewa! Tidakkah engkau menaruh kasihan kepadaku, kalau kau nanti terpaksa mencabut jiwaku sendiri? Tentangan paman dan keluargaku jangan engkau pusingkan. Semuanya itu tanggungan daku”. (KM: 26)“ya, memang lelaki itu dengan segera saja menghendaki keputusan sesuatu. Sedang kami, perempuan, merasa malu dan tak senang memberikan jawab dengan segera, walaupun ada terasa di dalam hati kami”. (KM: 49).“sekarang yang kami minta hanyalah jawab ‘ya’ daripadamu.

Engkau tak usah bimbang atau takut. Kami berbuat begini untuk keselamatan dan kesenanganmu”. (KM: 72).5. Pandangan rendah yang dilayangkan kepada perempuan“Sesungguhnya engkauh mahluk yang lemah, hai kaumku perempuan”“Klerk yang memberikan surat itu padaku, sungguh seseorang yang tak mempunyai adat kesopanan, tak tahu akan adat pergaulan, tak mempunyai prikerimanusian”


Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image