Kolaborasi Ilmiah adalah Kekuatan dalam Membangun Ilmu Pengetahuan
Pendidikan dan Literasi | 2025-05-16 17:18:57
Kolaborasi ilmiah dalam penyusunan sebuah artikel penelitian merupakan hal yang wajar dan bahkan dianjurkan. Melalui kolaborasi, ide-ide dapat diuji, perspektif diperluas, dan hasil penelitian menjadi lebih kaya serta berkualitas. Dalam praktiknya, tidak jarang kolaborasi melibatkan pembagian peran yang beragam ada yang fokus pada metodologi, ada yang mendukung dalam analisis, ada pula yang membantu dari sisi teknis, seperti penerjemahan atau pendanaan publikasi. Sepanjang kontribusi tersebut jelas dan disepakati secara internal, praktik semacam ini masih dapat ditoleransi sebagai bagian dari dinamika kerja ilmiah.
Namun, akhir-akhir ini muncul fenomena yang sangat memprihatinkan di sejumlah grup WhatsApp. Beredar tawaran kolaborasi yang mencantumkan judul artikel, link jurnalnya beserta daftar penulis yang sebagian masih kosong. Masing-masing posisi penulis tersebut kemudian ditawarkan dengan harga tertentu sesuai reputasi jurnalnya, misalnya penulis satu (terisi nama seseorang) Rp250.000, penulis kedua (kosong) Rp200.000, penulis ketiga (kosong) Rp150.000 dan seterusnya. Posisi nama penulis sebagai sesuatu yang dapat dibeli, seolah-olah publikasi ilmiah hanyalah urusan administratif yang bisa diselesaikan dengan transaksi. Judul penelitian dan posisi urutan penulis dijajakan secara terang-terangan seperti barang dagangan.
Praktik semacam ini jelas mencederai etika akademik dan merendahkan martabat karya ilmiah. Penelitian yang seharusnya lahir dari proses panjang penuh telaah, diskusi, validasi, dan tanggung jawab akademik justru direduksi menjadi komoditas. Padahal, karya ilmiah merupakan representasi dari integritas, kapasitas berpikir kritis, dan dedikasi terhadap ilmu pengetahuan.
Tawaran terbuka semacam ini bukan hanya merusak citra peneliti dan nama jurnalnya, tetapi juga mempermalukan dunia akademik. Ini berbeda dengan kolaborasi-kolaborasi internal yang tidak diumumkan secara terbuka, di mana kontribusi bisa bersifat teknis atau finansial tanpa harus menjadikan nama penulis sebagai komoditas transaksi atau lebih parah lagi, objek lelang jual beli nama peneliti.
Jika praktik ini terus dibiarkan, maka bukan hanya kepercayaan terhadap hasil karya ilmiah yang akan luntur, tetapi juga terhadap kualitas individu yang lahir dari dunia akademik itu sendiri. Portofolio akademik menjadi tidak valid, karena tidak lagi merepresentasikan kapasitas dan kontribusi riil dari seseorang. Akibatnya, gelar akademik seperti doktor atau bahkan profesor bisa saja disandang oleh individu yang sejatinya belum memiliki kemampuan riset yang jujur. Ini adalah konsekuensi serius yang dapat terjadi ketika publikasi ilmiah hanya dijadikan sarana mengejar angka kredit (KUM) semata, tanpa disertai proses ilmiah yang jujur dan bertanggung jawab.
Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ekosistem akademik yang buruk, di mana gelar tinggi tidak lagi menjamin kapasitas intelektual, karena bisa diperoleh lewat transaksi, bukan prestasi. Dunia akademik harus segera mengambil sikap. Etika kolaborasi karya ilmiah perlu ditegaskan kembali. Kolaborasi sejatinya adalah kekuatan dalam membangun pengetahuan, tetapi jika disalahgunakan demi kepentingan pragmatis jangka pendek, justru bisa menjadi ancaman bagi kualitas dan kredibilitas karya ilmiah itu sendiri.
Bagi yang merasa belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menulis karya ilmiah secara utuh dan mandiri, tidak perlu merasa malu. Proses belajar adalah bagian dari perjalanan akademik yang justru harus diapresiasi. Saat ini tersedia berbagai pelatihan penulisan jurnal ilmiah yang kredibel, baik yang berfokus pada jurnal bereputasi seperti Scopus maupun jurnal nasional terindeks SINTA 2. Pelatihan-pelatihan ini umumnya diselenggarakan oleh para praktisi berpengalaman yang menjunjung tinggi etika akademik. Maka, alih-alih membeli posisi penulis melalui cara instan, para akademisi muda sebaiknya membuka diri untuk belajar dan membangun kapasitasnya secara bertahap.
Karya ilmiah adalah bentuk dedikasi intelektual yang menuntut kejujuran, kerja keras, dan proses panjang yang tidak instan. Ia bukan sekadar tugas administratif seorang akademisi, melainkan cerminan integritas ilmiah. Jika publikasi ilmiah terus diperlakukan sebagai komoditas, maka akan melahirkan generasi akademisi yang hanya sibuk mengumpulkan angka bukan membangun ilmu.
Sudah saatnya dunia akademik menegaskan kembali bahwa penelitian bukan sekedar formalitas administratif, melainkan bentuk tanggung jawab intelektual yang menuntut kejujuran, kerja keras, dan dedikasi. Oleh karena itu, menjaga etika dalam setiap proses penelitian adalah bentuk penghormatan insan akademik terhadap ilmu dan masa depan pendidikan itu sendiri.
Wallahu a’lam bish-shawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
