Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dhimas Wisnu Mahendra

Kencan Pertama untuk Selamanya

Agama | 2025-05-16 16:16:08

“Aku selalu suka tempat ini. Sebab di sinilah kencan pertamaku dan istriku di bulan Ramadhan.”

Lelaki berkacamata itu menerawang masa tiga puluh tahun ke belakang.

Waktu itu usianya masih tujuh belas tahun, kelas tiga SMA, dan adik kelas itu masih kelas satu. Awalnya biasa saja, tak ada getar rasa di antara mereka selain sama-sama aktivis Rohis di sekolah, membuat dari kenal menjadi akrab. Hingga suatu ketika, di sore berhujan yang masih ia ingat khas aroma petrikor, harum tanah basah membubung ke udara, hari ke sepuluh di bulan Ramadhan

“Lho, Vin, masih belum pulang?”

“Eh, kak Alvin. Iya nih Kak, hujannya deras, awet banget lagi. Padahal Vina ada janji buka puasa bersama teman-teman SMP, duh gimana donk? Mana udah jam lima lagi!”

Ia tampak gelisah menggigit bibir.

“Memang janjian bukberannya dimana?”

“Di Blok M, Kak. Di Gulai Tikungan, tapi gak tahu juga jadi gak ya kalau hujan begini, khan tukang gulai itu jualannya di pinggir jalan.”

“Yang di Mahakam itu ya?”

Alvin melirik jam tangan.

“Mungkin masih keburu, kalau kamu tak keberatan, biar kubonceng dengan motor, aku ada jas hujan!”

“Hah? Gak apa-apa emangnya, Kak? Janganlah, nanti jadi ngerepotin ”

“Nggak kok, khan aku pulangnya juga ke arah sana. Gimana? Mau ya?”

“Sepuluh menit kemudian, kami berboncengan dalam deras berjas menembus hujan.”

Aku tersenyum menyimak ceritanya sambil menghidangkan menu pilihannya.

“Ibu pasti cantik banget ya, Pak?”

“Cantik itu relatif, tapi keceriaan yang terpancar dari ketulusan hatinya tak pernah lekang ditelan waktu, selalu menyemangati dan membahagiakanku.”

Aku jadi turut membayangkan, betapa indah dan sederhana kisah kasih masa itu. Masa dimana belum tercipta telepon seluler. Masa dimana rindu terjembatani kepingan koin yang banyak lewat boks telepon umum. Masa dimana surat-menyurat dan selip-menyelip surat cinta dalam buku atau dimasukkan ke tas sudah membuat wajah merah memias dan hati buncah memanas.

“Terus, kok bisa nyasar kencan di restoran ini, Pak?”

“Hehehe, ternyata benar. Gulai Tikungan-nya bubar, sebab hujan tak mengurangi derainya. Ketika kami tiba, tak seorangpun teman SMP istriku yang dijumpai di sana. Waktu itu khan belum zaman ada ponsel, jadi tak bisa tiba-tiba membatalkan janji. Bertepatan tiba waktu adzan pula, akhirnya aku memberanikan diri mengajaknya buka puasa, celinguk kanan kiri, yang terdekat adalah restoran ini.”

Hatsyiii!

“Menggigil karena tampias hujan meski telah mengenakan jas, Vina mulai terkena flu. Aku spontan lalu membuka jaket dan menawarkannya untuk ia kenakan. Vina masih malu-malu menolak dengan halus.”

“Pakailah, nanti kau sakit. Kalau perlu, buka saja seragammu ”

Wajah pucatnya memerah, kian semu kian malu.

“Biar tidak masuk angin. Sementara pakai jaket ini saja, lumayan menghangatkanmu.”

“Akhirnya ia setuju. Izin ganti pakaian ke kamar mandi, aku diam-diam melirik isi dalam dompetku.”

“Apa menu paling istimewa di restoran ini? Begitu gayaku bertanya kepada pramusaji setelah ia kembali.”

“Opor ayam bumbu kuning.”

“Kamu mau?”

“Terserah kakak, Vina sich apa saja ”

“Baiklah, kami pesan dua. Minumnya apa?”

“Apa saja, terserah kakak ”

“Jangan terserah! Hidup itu harus berani punya pilihan. Jeruk manis hangat ada?”

“Itu juga boleh. Sama ”

“Petang itu kami menikmati kebersamaan perdana dari semula tak terencana. Tak pakai kata jadian, tapi kami sependapat, itu adalah momentum paling indah, kencan kami yang pertama. Ia begitu bersinar, sangat cantik, mengenakan jaketku yang kebesaran untuk tubuhnya yang mungil. Pemandangan itu tak pernah terlupa, seperti baru setahun kemarin ”

“Opor ayam bumbu kuning. Dua porsi. Selamat makan, Pak ”

Aku tersenyum, dan ia ramah angguk balas senyum. Jemari keriput dan lengan ringkihnya mengangkat sendok dan menyuap perlahan menu lezat yang tak pernah terlupakan.

“Sejak itu, tiap tanggal sepuluh Ramadhan, mereka rutin mengenang kencan dengan buka puasa di sini. Selalu menu yang sama. Opor ayam bumbu kuning, jeruk manis hangat, untuk dua porsi ”

Begitu kisah manajerku keesokan hari. Ialah pramusaji yang dulu melayani pasangan romantis itu.

“Hingga lima tahun lalu, Pak Alvin datang sendiri ”

“Bu Vina?”

“Bu Vina baru meninggal, satu minggu sebelumnya. Bu Vina sakit kanker lumayan lama. Tahun sebelum itu, Pak Alvin dengan sabar menuntun Bu Vina yang sudah botak kepala lantaran rontok rambutnya, dan lumpuh hingga duduk di kursi roda, datang ke restoran ini. Masih sama, tanggal sepuluh Ramadhan, dan memesan menu favorit mereka ”

Dadaku terasa sesak.

“Aku masih ingat, Pak Alvin begitu telaten menyuapi istrinya, dan Bu Vina menangis tetapi tampak amat bahagia. Mungkin ia sudah sadar, itu bisa jadi momentum nostalgia kencan pertama yang terakhir untuk keduanya ”

Tanpa kusadari mataku mengembang air mata.

“Sejak itu, tiap sepuluh Ramadhan, Pak Alvin datang sendiri. Tapi ia tetap memesan makanan dua porsi. Jika tak kuat menghabiskan, porsi istrinya dibungkus, lalu dibawa pulang. Tapi bukan itu saja. Kebiasaan baru setelah istrinya tiada, setelah makan biasanya ia membayar tak hanya miliknya, tapi siapapun para pengunjung bahkan karyawan rumah makan yang sedang di tempat itu saat itu, ditraktir kemurahannya.”

“Meneruskan kebaikan istri saja.”

Begitu kata Pak Alvin kepadaku tadi malam, sambil memastikan aku juga mendapatkan bagian bungkus menu traktiran.

“Istriku selalu dermawan dan memikirkan orang lain lebih dulu dibanding dirinya. Ramadhan bulan yang penuh kasih sayang. Rahmat Allah berlimpah di bulan ini. Sepuluh hari pertama adalah Syahrul Rahmah. Sepuluh hari kedua Syahrul Maghfirah, dan sepuluh hari yang ketiga Idkum Minan Naar. Tak ada lain dari tujuan saya, hanya semata memohon panjat do’a kalian untuk istri saya, semoga Tuhan menyayangi, mengampuni, dan menyelamatkannya dari siksa api neraka.”

Aku begitu terharu, spontan tulus mengaminkan.

Pak Alvin tak datang tahun berikutnya.

Tak ada yang tahu apa yang terjadi kepadanya.

Begitupun sepuluh Ramadhan tahun selanjutnya.

Tapi kami tak pernah melupakan mereka berdua.

Kencan pertama dan untuk selamanya, di restoran kami tercinta

Untuk Pak Alvin dan Bu Vina, pelanggan setia, teristimewa

Allahumaghfirlahum, warhamhum, wa’afihi, wa’fuanhum.

Al Fatihah []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image