Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ginanjar Utama

Bintang di Langit Sejarah: Ayah Teladan dalam Al-Quran

Cantik | 2025-05-15 12:39:35

 

Subḥānallāh, betapa Al-Qur’an menghadirkan kisah-kisah yang tak lekang oleh zaman—menjadi aliran hikmah yang menyejukkan jiwa, laksana mata air bening di tengah padang gersang. Di antara kisah yang paling menyentuh hati adalah untaian cinta antara ayah dan anak. Bukan sekadar hubungan biologis, namun relasi spiritual yang dipenuhi kasih, ditenun oleh nilai, dan diarahkan oleh cahaya wahyu dari Sang Maha Pencipta.

Bayangkanlah, Ayah Bunda, bagaimana Al-Qur’an merajut kisah ini. Relasi ayah dan anak bukan sekadar pengasuhan duniawi, tetapi ladang subur bagi tumbuhnya iman, tempat benih tauhid ditanam dan disiram dengan doa, dialog, dan keteladanan. Di situlah masa depan peradaban dibentuk, dimulai dari satu keluarga yang bertakwa.

Ketika Sang Khalil Berbisik pada Buah Hati

Siapa yang tak takjub pada kisah agung Nabi Ibrahim alayhis-salām bersama putranya, Ismail alayhis-salām. Setelah penantian panjang yang membentang hingga usia senja, Allah mengabulkan doa beliau: “Rabbi hab lī minaṣ-ṣāliḥīn”—dan Dia pun menganugerahkan seorang anak yang lemah lembut dan sabar, ghulāmin ḥalīm.

Didikan Hajar, sang ibu, berpadu dengan tarbiyah penuh cinta dari Ibrahim. Maka tumbuhlah Ismail dalam suasana yang sarat iman. Hingga tibalah ujian yang menggetarkan langit dan bumi—bukan hanya ujian bagi sang ayah, tetapi juga pengujian bagi sang anak: sejauh mana iman telah berakar?

“...Yā bunayya, innī arā fīl-manāmi annī adzbaḥuk, fa-nẓur mādzā tarā...” “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?” (Q.S. Ash-Shaffāt: 102)

Perhatikan, Ayah Bunda. Tak ada pemaksaan. Yang ada justru dialog yang halus, ajakan berdiskusi dari hati ke hati. Dan sang anak, Ismail, menjawab dengan kedalaman iman:

“Yā abati, if‘al mā tu’mar, satajidunī in syā’ Allāh minaṣ-ṣābirīn.” “Ayahanda, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Beginilah buah dari tarbiyah tauhid: cinta kepada Allah melampaui cinta kepada diri, bahkan kepada kehidupan sekalipun.

Sentuhan Hikmah Luqman pada Sang Permata Hati

Berbeda dengan Ibrahim, kita mengenal Luqman bukan sebagai nabi, namun sebagai sosok bijak yang namanya diabadikan dalam kitab suci. Panggilannya kepada anaknya, “Yā bunayya”—wahai anakku tercinta—penuh kelembutan dan kasih sayang. Dan lihatlah bagaimana nasihatnya dimulai:

“Yā bunayya, lā tusyrik billāh. Inna as-syrka laẓulmun ‘aẓīm.” “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)

Nasihat ini adalah fondasi utama—mengakar dalam tauhid. Namun Luqman tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan dengan pesan tentang bakti kepada orang tua, kesadaran akan pengawasan Allah, shalat, amar ma'ruf nahi munkar, serta adab dalam bersikap. Sebuah kurikulum keimanan dan akhlak, dirangkai dengan penuh cinta dan hikmah.

Kasih Ya‘qub yang Waspada, Doa Nuh yang Tak Bertepi

Lihat pula Nabi Ya‘qub `alayhis-salām. Di tengah kecemasannya, ia tetap mengedepankan kasih. Saat mengirim anak-anaknya ke Mesir, ia berkata:

“Yā banī, lā tadkhulu min bābin wāḥid, wadkhulu min abwābin mutafarriqah...” “Wahai anak-anakku, janganlah kalian masuk dari satu pintu, tetapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda...” (Q.S. Yūsuf: 67)

Sebuah strategi yang cerdas, namun juga ungkapan cinta yang waspada. Ia ingin menjaga mereka—secara fisik dan spiritual.

Dan siapa yang tak terenyuh pada seruan Nabi Nuh `alayhis-salām, di tengah amukan ombak yang hendak menenggelamkan anaknya?

“Yā bunayya, irkab ma‘anā wa lā takun ma‘al-kāfirīn.” “Wahai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (Q.S. Hūd: 42)

Itulah seruan cinta terakhir dari seorang ayah yang tak pernah lelah menyeru, meski tak selalu mendapat jawaban yang diharapkan. Sebab cinta seorang ayah sejati bukanlah tentang hasil, melainkan tentang kesetiaan dalam menyeru kebenaran.

Bintang di Langit Sejarah

Ayah Bunda yang dirahmati Allah,

Dari Ibrahim hingga Luqman, dari Ya‘qub hingga Nuh, Al-Qur’an merekam jejak para ayah teladan yang menanamkan iman dengan kasih, mendidik dengan hikmah, dan membimbing dengan sabar. Mereka adalah bintang gemintang di langit sejarah—cahaya yang menuntun arah bagi generasi setelahnya.

Mereka mengajarkan kita bahwa menjadi ayah bukan hanya peran biologis, tapi tanggung jawab ilahiyah. Cinta yang sejati bukanlah yang memanjakan, tetapi yang memimpin ke jalan tauhid, meski kadang terasa berat.

Semoga kita semua, para ayah dan bunda, dimampukan untuk meneladani jejak langkah para kekasih Allah ini. Menjadi pelita bagi anak-anak kita, menanam nilai-nilai luhur dalam hati mereka, hingga mereka tumbuh menjadi generasi qurrata a‘yun—penyejuk mata, pewaris cahaya, dan pembawa kebaikan di dunia dan akhirat.

Āmīn yā Rabbal ‘ālamīn.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image