Terjepit Dua Arah: Krisis Senyap yang Menghantui Generasi Sandwich
Culture | 2025-12-08 12:18:23
Gambar: Ilustrasi generasi sandwich yang menanggung beban dua arah. (Created dok. pribadi)
Oleh:
Alfiani Irma Puspita Ningrum
Mahasiswi Universitas Airlangga
Banyak orang mendefinisikan kedewasaan sebagai kemampuan mengambil keputusan sendiri, bekerja sendiri, dan menanggung hidup sendiri. Namun, bagi sebagian anak muda hari ini, kedewasaan datang dengan bentuk yang jauh lebih kompleks: tanggung jawab berlapis yang menuntut mereka menopang orang tua sekaligus mempersiapkan masa depan mereka sendiri. Fenomena yang dikenal sebagai generasi sandwich ini bukan sekadar istilah populer, tetapi sebuah realitas sosial yang dialami secara diam-diam oleh banyak usia produktif. Di tengah ritme hidup yang cepat, tekanan ekonomi yang meningkat, dan tuntutan sosial yang tak pernah berhenti, generasi ini hidup dalam krisis senyap yang jarang benar-benar dibicarakan.
Beban itu terasa bukan hanya secara finansial, tetapi juga mental dan emosional. Mereka dituntut untuk mandiri, mapan, dewasa, stabil, dan berbakti semuanya dalam satu waktu. Jika satu sisi saja goyah, seluruh keseimbangan hidup bisa ikut runtuh. Banyak dari mereka yang bekerja keras sepanjang minggu, namun tetap merasa seakan-akan berlari di tempat. Gaji habis bukan karena gaya hidup berlebihan, tetapi karena kebutuhan keluarga yang tak bisa ditunda, tagihan harian yang terus naik, serta tekanan sosial untuk “menjadi sukses” sebelum usia tertentu.
Fenomena ini menjadi semakin berat karena tidak semua orang tua memiliki jaminan keuangan yang memadai untuk menopang masa tua. Sementara itu, anak muda yang masih berjuang meniti karier harus meloncat ke fase dewasa lebih cepat dari seharusnya. Tidak sedikit dari mereka yang mengaku menjalani hidup dalam perasaan bersalah yang konstan: bersalah bila tidak membantu keluarga, tetapi juga bersalah bila tidak memprioritaskan masa depan sendiri. Di sisi lain, mereka sering menekan diri untuk tetap terlihat kuat, seolah tidak ada yang sedang mereka pikul.
Krisis ini disebut senyap karena tidak selalu tampak. Dari luar, kehidupan generasi sandwich terlihat biasa saja bekerja, tertawa, bertemu teman, atau sesekali berlibur. Namun di baliknya, ada perhitungan pengeluaran yang ketat, keputusan kecil yang mempertimbangkan banyak pihak, serta rasa lelah yang tidak sempat diproses. Tidak sedikit yang memendam kecemasan kronis, takut bahwa satu masalah kecil saja bisa menggulingkan seluruh rencana hidup.
Media sosial memperparah tekanan tersebut. Setiap hari, mereka disuguhkan gambaran hidup orang lain yang terlihat jauh lebih stabil dan “berhasil”. Seakan semua orang sudah membeli rumah, liburan berkali-kali, atau mencapai jenjang karier tertentu. Padahal,
kenyataan setiap orang berbeda. Namun algoritma tidak memahami itu. Generasi sandwich akhirnya merasa seperti gagal, padahal mereka menjalani beban dua kali lipat dari orang kebanyakan.
Meski begitu, generasi ini justru memperlihatkan ketangguhan luar biasa. Mereka menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan memastikan orang tua tetap terurus sambil mendorong diri mereka lebih jauh. Banyak di antara mereka yang mandiri lebih cepat, belajar mengelola keuangan lebih disiplin, dan memahami arti tanggung jawab dengan cara yang tidak bisa dipelajari dari buku mana pun. Keteguhan ini menunjukkan bahwa krisis yang mereka hadapi bukan sekadar beban, tetapi juga cermin dari kapasitas bertahan yang kuat.
Namun, ketangguhan tidak boleh membuat krisis ini dianggap wajar. Ada kebutuhan mendesak untuk membicarakan isu ini lebih terbuka: tentang pentingnya literasi finansial sejak dini, keamanan sosial bagi generasi tua, serta lingkungan kerja yang memberi ruang bagi keseimbangan hidup. Generasi sandwich tidak boleh terus-menerus dibiarkan menghadapi tekanan itu sendirian. Butuh dukungan struktural, dukungan keluarga, dan ruang dialog agar mereka tidak terbebani secara emosional maupun finansial.
Pada akhirnya, generasi sandwich adalah simbol dari perubahan zaman-zaman ketika biaya hidup naik lebih cepat dari kesempatan, ketika ekspektasi sosial melambung lebih tinggi dari realitas, dan ketika anak muda bekerja tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk generasi sebelumnya. Krisis senyap ini mengingatkan kita bahwa tanggung jawab yang berat tidak boleh diserahkan pada satu kelompok usia saja.
Mereka yang terjepit di dua arah ini bukan hanya sedang berjuang bertahan, tetapi juga sedang berusaha membuka jalan agar generasi setelahnya tidak perlu menanggung beban yang sama. Dan dari sanalah, justru kita bisa melihat harapan: bahwa di balik kelelahan mereka, ada keinginan kuat untuk memperbaiki masa depan. “Semangat untuk generasi yang sedang belajar bertahan sambil tetap merawat dua sisi kehidupan: masa lalu dan masa depan.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
