Masa Percobaan dalam Penjatuhan Hukuman Mati dalam KUHP baru
Hukum | 2025-05-14 16:52:43
Oleh: Dedy Agung Prasetyo*
KUHP baru telah disahkan yaitu dengan terbitnya Undang-undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Maka sejak KUHP baru ini diberlakukan secara efektif pada bulan Januari 2026 mendatang sejak itu pula para penegak hukum harus meninggalkan KUHP lama warisan kolonial Belanda. Salah satu hal yang menarik dari KUHP baru ini yaitu adanya perubahan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati. Pasal 100 Undang-undang tersebut mengatur bahwa penjatuhan pidana mati bagi Terdakwa ditetapkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Hal ini berbeda dengan ketentuan pidana mati dalam KUHP lama yang oleh hakim dijatuhkan tanpa masa percobaan.
Menurut penulis penjatuhan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun sebagaimana aturan UU KUHP baru telah membuka ruang untuk memperbesar peluang para pelaku tindak kejahatan extraordinary untuk lolos dari jerat maut hukuman yang akan diputus hakim. Sebab dalam benaknya jikapun harus dijatuhi hukuman mati toh dirinya masih memiliki kesempatan waktu 10 (sepuluh) tahun untuk tidak berbuat aneh-aneh selama di penjara dengan harapan akan diturunkan hukumannya menjadi seumur hidup. Kemudian muncul pertanyaan mengenai masa percobaan hukuman mati yang ditentukan dalam waktu 10 tahun, mengapa tidak 11 tahun, 12 tahun, atau 15 tahun. Tentu hal tersebut cukup patut dipertanyakan, namun semua mafhum itu sudah menjadi kebijakan politik pemidanaan dari para pembentuk undang-undang.
Bagi kalangan aktivis HAM hukuman mati masih menjadi bahan penolakan. Pro dan kontra mengenai hukuman mati masih ada. Namun, di tengah pertumbuhan demokrasi dewasa ini, dukungan terhadap perlunya penerapan hukuman mati di Indonesia masih tergolong tinggi. Tirto.id pada tahun 2021 merilis hasil survey yang dilakukan oleh The Death Penalty Project bekerja sama dengan LBH Masyarakat, Universitas Indonesia terhadap 1.515 reponden, hasilnya bahwa 69% responden mendukung hukuman mati. Profesor Eddy Hiariej yang notabene merupakan salah satu perumus KUHP baru mengungkapkan dalam sebuah diskusi publik bahwa menurut hasil survey 80% responden setuju hukuman mati.
Dengan adanya kontroversi mengenai hukuman mati tersebut, maka rumusan pasal dalam KUHP yang baru ini dianggap sebagai solusi atau jalan tengah terhadap pihak yang setuju hukuman mati dengan pihak yang tidak setuju hukuman mati. Isi pasal 100 ayat (1) KUHP baru yaitu Hakim menjatuhkan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan Terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran Terdakwa dalam tindak pidana;
Kemudian pada ayat (4) pasal 10 disebutkan Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
Walaupun isi pasal tersebut mencantumkan hukuman mati tetapi menurut penulis pada hakikatnya penjatuhan hukuman mati secara pasti (legal certainty) oleh Hakim berdasarkan pasal tersebut sesungguhnya belum ada, oleh karena ketentuannya masih bersyarat. Syaratnya harus berkelakuan baik selama di penjara. Sama seperti penjatuhan hukuman kepada Terpidana penjara 1 tahun dengan masa percobaan selama 6 bulan misalnya, dia tidak perlu menjalani hukuman penjara nya tersebut kecuali selama 6 bulan hidup di masyarakat dia melakukan suatu tindak pidana lagi atau mengulangi perbuatannya. Jika dia melakukan tidan pidana lagi maka hukuman 1 tahun tersebut harus dijalani;
Pertanyaan berikutnya, apakah cukup adil bagi korban dan keluarga korban jika penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana ini ditetapkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun? Dalam kasus pembunuhan berencana misalnya, tentu hal ini dapat saja memantik kepiluan yang luar biasa bagi keluarga korban ketika sanak saudaranya dibunuh dengan cara yang sadis. Bagi para pembentuk undang-undang dan akademisi diskursus ini berkembang kepada penalaran hukum yang mengarah pada perdebatan antara teori pembalasan dengan teori keadilan distributif ataupun atributif. Namun tetap aja ketentuan yang baru ini memunculkan anggapan bahwa negara melalui para pembentuk undang-undang menghendaki penghapusan hukuman mati.
Polemik masa percobaan
Bagaimana mungkin masa percobaan mampu terlaksana secara efektif dan obyektif di dalam penjara. Sebab, masa percobaan sesungguhnya hanya dapat dilaksanakan secara efektif apabila seseorang terpidana berada di luar lembaga pemasyarakatan karena disana terpidana akan menampakkan sikap aslinya dalam interaksi sosialnya. Di luar penjara terpidana akan betul-betul teruji secara alamiah apakah dia berubah menjadi pribadi yang baik atau sama saja bahkan justru mengulangi perbutannya atau melakukan tindak pidana lain. Hal ini berbeda jika seorang Terpidana menjalani percobaan di dalam lapas, disana dia berada dalam pengawasan petugas. Secara naluriah karena menyadari dirinya dalam “pengekangan” secara fisik, tentu dia akan berusaha sedapat mungkin agar masa percobaan tersebut dijalani dengan baik. Bila perlu dengan memanfaatkan oknum petugas yang mungkin bisa “dikondisikan” agar dirinya mendapat catatan baik meskipun sebenarnya yang bersangkutan memiliki catatan buruk selama pemenjaraan.
Terlepas dari semua itu biar bagaimanapun, keputusan akhir mengenai penjatuhan hukuman mati tetap bermuara di tangan hakim. Hakim dituntut untuk bersikap fair dalam mengadili perkara apalagi menyangkut kejahatan serius (extraordinary) tidak hanya terhadap Terdakwa pelaku tindak pidana melainkan juga terhadap korban. Undang-undang tentang KUHP yang baru ini memang lebih bernuansa “judicial pardon”, artinya negara memberikan wewenang seluas-luasnya kepada hakim bahkan mendorong adanya pemaafan hakim. Dengan demikian tendensi keberpihakkannya lebih mengarah pada Terdakwa. Namun hendaknya hal itu tidak mengabaikan kepentingan dan rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya, terlebih perasaan keadilan masyarakat secara luas. Adil artinya mempertimbangkan dan memberikan perhatian yang sama kepada kedua belah pihak, baik korban maupun Terdakwa. Apalagi tuntutan agar hakim berlaku adil telah disokong oleh pasal 53 KUHP yang baru, bahwa dalam menegakkan hukum dan keadilan jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan maka hakim wajib mengutamakan keadilan;
Masa percobaan 10 (sepuluh) tahun bagi Terpidana mati selain rentan disalahgunakan oleh oknum petugas pemasyarakatan maupun Terpidana sendiri, juga bisa saja tidak memberikan kepuasan batin atau rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban bahkan masyarakat.
Dalam konteks penjatuhan hukuman mati, penulis menilai penjatuhan hukuman yang mengutamanakan rasa keadilan bisa saja dilakukan dengan tanpa masa percobaan, asalkan hakim mampu menguraikan fakta hukum dengan benar disertai dengan pertimbangan hukum yang matang. Hal ini bertujuan agar penjatuhan hukuman mati tidak dimanipulasi pelaksanaannya dan lebih memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
