Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Mazhab Ciputat: Antara Gerakan Intelektual dan Paradigma yang Belum Rampung

Agama | 2025-05-13 17:01:51

Mazhab Ciputat, lebih dari sekadar nama geografis atau kumpulan alumni, merupakan semangat intelektual yang lahir dari denyut perubahan dan kegelisahan terhadap kemapanan. Ia menyimpan sejarah pergulatan ideologis, teologis, dan praksis sosial yang lahir dari ruang-ruang kelas, forum diskusi, hingga tulisan-tulisan tajam di media massa. Namun hingga hari ini, Mazhab Ciputat masih seperti manuskrip yang belum selesai ditulis—paradigmanya belum benar-benar rampung.

Harun Nasution, sebagai figur sentral pendobrak nalar keislaman di IAIN Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), membuka jalan rasionalisasi dalam Islam yang sebelumnya dianggap tabu. Baginya, umat Islam tidak akan maju jika tidak berani menghidupkan kembali tradisi berpikir rasional. “Orang Islam tidak akan mengalami kemajuan tanpa rasionalisme,” tegas Harun dalam banyak tulisannya. Ia menolak doktrin yang mematikan akal dan menyeru kepada pembaharuan pemikiran Islam berbasis sejarah dan ilmu pengetahuan modern.

Di tangan Nurcholish Madjid, nalar kritis Harun Nasution mendapatkan daya ledak moral dan sosial. “Islam, yes; Partai Islam, no!” adalah refleksi keberaniannya meletakkan Islam sebagai nilai, bukan identitas politik eksklusif. Cak Nur mendorong integrasi antara nilai-nilai keislaman dan demokrasi modern. Ia percaya bahwa Islam harus bersanding, bukan bertentangan, dengan pluralisme dan kebangsaan. Dalam artikulasi pikirannya, Islam Nusantara bisa hidup berdampingan dengan Pancasila tanpa rasa bersalah teologis.

Azyumardi Azra, dengan proyek Islam Transformatif dan jaringan Islam kosmopolitan, memperluas cakrawala Mazhab Ciputat ke ranah sejarah dan global. Ia mengkritik fundamentalisme dan mendukung Islam yang dialogis, terbuka, dan berakar kuat dalam sejarah lokal Nusantara. Dalam salah satu wawancaranya, Azra menyatakan, “Islam Indonesia itu khas karena ia bersumber dari proses panjang akomodasi dengan budaya lokal. Ini yang membuatnya moderat.” Mazhab Ciputat melalui Azra menjadi pengingat bahwa Islam Indonesia bukan salinan kaku Timur Tengah.

Namun, Mazhab Ciputat tidak hanya berhenti pada intelektualisme normatif. Di tangan Mansur Faqih, pemikiran ini menjelma menjadi praksis pembebasan. Ia menyelaraskan teologi dengan pemberdayaan masyarakat. “Setiap tindakan pembangunan harus berpihak pada yang lemah,” begitu kurang lebih semangat teologi pembebas yang ditawarkannya. Mansur membongkar relasi kuasa, ketimpangan struktural, dan kesenjangan sosial dalam pendekatan keislaman yang berpijak pada keadilan sosial dan kesetaraan gender.

Bahtiar Effendy, dengan pendekatan politik Islamnya, menunjukkan bahwa demokrasi dan Islam bukan dua kutub yang saling bertentangan. Ia mendorong Mazhab Ciputat untuk tidak alergi terhadap politik, tetapi menempatkan politik sebagai instrumen etik. “Demokrasi memberi peluang bagi nilai-nilai keislaman untuk tampil melalui cara-cara yang sah dan konstitusional,” tulisnya.

Sementara Fachry Ali menggugat Islam yang hanya menjadi retorika elite. Dalam Merambah Jalan Baru Islam, ia menegaskan perlunya kehadiran intelektual Muslim dalam perubahan sosial. Mazhab Ciputat, menurutnya, harus berani masuk ke jantung kekuasaan sembari menjaga jarak kritis. Bukan justru larut dalam romantisme akademik yang steril dari pergulatan sosial-politik riil.

Meski demikian, hingga kini, Mazhab Ciputat masih mencari bentuknya sebagai “mazhab” dalam arti paradigmatik. Ia memiliki tokoh, gagasan, dan semangat kritik, namun belum mengkristal menjadi kerangka konseptual yang utuh. Ia cemerlang dalam kritik, tapi belum tentu ajek dalam konstruksi. Ia kuat dalam keberanian menggugat, tapi kadang ragu dalam menawarkan alternatif sistematis.

Dalam kondisi ini, Mazhab Ciputat seperti rumah yang belum selesai dibangun. Fondasinya kokoh: akal, iman, dan keadilan sosial. Pilar-pilarnya menjulang: pembaruan, pluralisme, pembebasan. Tetapi atapnya masih terbuka—menyisakan pertanyaan: akan dibawa ke mana arah gerak ini?

Apakah akan menjadi sekadar kenangan dari kejayaan masa lalu? Ataukah menjadi proyek intelektual yang terus berkembang, menjawab tantangan zaman, dan membangun Islam yang membebaskan, mencerdaskan, dan membumikan kemanusiaan?

Pertanyaan ini bukan sekadar untuk Mazhab Ciputat. Ia adalah pertanyaan untuk kita semua—yang pernah disentuh oleh bara nalar dan semangat perubahan dari Ciputat. (srlk)

* Penulis adalah mantan ketua umum HMI muda “Derap” 1983 Cabang Ciputat, dan sekarang sebagai dosen di FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image