Maulid Nabi: Dari Spirit Kelahiran Menuju Etika Perdamaian di Tengah Kerusuhan
Agama | 2025-09-05 19:35:26Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi momentum penting bagi umat Islam. Ia tidak hanya menghadirkan suasana suka cita dan lantunan shalawat, tetapi juga menyimpan ruang refleksi yang mendalam atas misi kerasulan: menghadirkan rahmat bagi semesta alam. Tahun ini, gema Maulid berlangsung di tengah suasana Indonesia yang kembali dirundung kerusuhan. Api amarah massa, bentrokan dengan aparat, hingga jatuhnya korban jiwa menandai betapa komunikasi kekuasaan kerap gagal merawat ruang dialog.
Jika dibaca melalui perspektif komunikasi kritis, kerusuhan bukan sekadar tindakan anarkis yang lahir dari amarah spontan, melainkan ekspresi struktural dari suara yang dibungkam, dari ketidakadilan yang menumpuk, dan dari kegagalan negara dalam mengelola aspirasi publik. Kekerasan di jalanan sesungguhnya adalah bahasa terakhir rakyat yang merasa tidak lagi didengar. Ia menjadi cermin dari politik yang represif dan miskin ruang deliberasi.
Sejarah Nabi Muhammad SAW memberi teladan yang amat relevan. Beliau lahir di tengah masyarakat Quraisy yang dipenuhi konflik, permusuhan, dan pertentangan antar-suku. Namun, kehadirannya tidak untuk menambah bara, melainkan untuk meredakan pertikaian. Spirit rahmatan lil ‘alamin yang dibawanya menolak kekerasan sebagai jalan perubahan. Dengan kesabaran, Nabi membangun dialog, merawat solidaritas sosial, dan menegakkan keadilan. Inilah wajah Islam yang seharusnya kita rayakan di tengah hiruk pikuk kerusuhan Indonesia: Islam yang mengubah energi destruktif menjadi energi konstruktif bagi perdamaian dan persatuan.
Dalam tradisi Mazhab Ciputat, agama tidak berhenti pada dogma ritual, melainkan selalu dibaca dalam praksis sosial. Harun Nasution mengajarkan rasionalitas Islam, Nurcholish Madjid menekankan keterbukaan, dan Azyumardi Azra menguraikan sejarah Islam Nusantara sebagai jembatan moderasi. Dari mereka, kita belajar bahwa Maulid Nabi tidak boleh direduksi sekadar sebagai perayaan seremonial, melainkan sebagai panggilan moral untuk berpihak kepada keadilan sosial. Cinta pada Nabi harus terwujud dalam keberanian menolak ketidakadilan, dalam keberpihakan pada mereka yang tertindas, dan dalam ikhtiar merawat ruang publik yang damai.
Kerusuhan yang berulang di negeri ini sesungguhnya mengisyaratkan adanya ketimpangan struktural. Suara rakyat kecil sering tak menemukan ruang aman dalam demokrasi, aspirasi publik dipersempit dan direduksi, bahkan kerap dianggap ancaman bagi stabilitas kekuasaan. Di titik inilah perayaan Maulid Nabi bisa menjadi kritik moral. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan seharusnya lebih mendengar daripada membungkam, lebih merangkul daripada menghardik, lebih membuka jalan dialog daripada memupuk kekerasan.
Merayakan Maulid Nabi di tengah kerusuhan bukanlah kontradiksi, melainkan panggilan untuk lahir kembali pada nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Perayaan kelahirannya harus dimaknai sebagai lahirnya kembali etika perdamaian dalam ruang publik kita, sebuah ajakan untuk meninggalkan politik yang represif dan menggantinya dengan politik yang beradab, komunikasi yang egaliter, serta kepemimpinan yang merawat persatuan bangsa. Indonesia hari ini membutuhkan spirit Nabi lebih dari sebelumnya, sebuah spirit yang mampu menjembatani luka sosial menjadi rekonsiliasi, dan amarah yang membakar menjadi semangat untuk membangun kehidupan bersama yang lebih adil dan damai. (srlk)
* Penulis adalah pelintas pemikiran Mazhab Ciputat, meniti batas antara langit Islam dan bumi Indonesia. Saat ini mengajar di FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
