Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asrul Putra Bastari

Mengkaji Ulang Fatwa Haram Vasektomi: Antara Fikih, Kesehatan, dan Kepentingan

Kebijakan | 2025-05-10 05:50:06
Vasektomi menjadi salah satu jalan untuk menekan angka kemiskinan dan pengganguran

Baru-baru ini, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menjadi sorotan setelah menyatakan bahwa prosedur vasektomi termasuk tindakan yang diharamkan dalam Islam. Padahal, secara medis dan fungsional, vasektomi tak jauh berbeda dengan tubektomi, dua-duanya adalah metode kontrasepsi permanen yang bertujuan mengatur kelahiran. Yang membedakan hanyalah sisi biologis dan teknis: vasektomi dilakukan pada pria, sedangkan tubektomi pada perempuan.

Ironisnya, justru tubektomi yang memiliki risiko medis lebih tinggi cenderung dibolehkan atau bahkan lebih umum dilakukan, sementara vasektomi yang lebih aman dan sederhana malah dianggap haram. Pertanyaan pun muncul: mengapa standar yang diterapkan terasa tidak konsisten? Apakah ini benar-benar murni masalah fikih, atau ada kepentingan ideologis dan sosial yang ikut bermain?

Dalam Islam, prinsip maqashid syariah mengajarkan bahwa tujuan hukum agama adalah menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks ini, hifz al-nasl (menjaga keturunan) bukan berarti memperbanyak anak tanpa batas, tetapi juga bisa dimaknai sebagai pengaturan kelahiran demi kemaslahatan keluarga dan masyarakat.

Namun di sisi lain, perlu juga diakui bahwa vasektomi bersifat permanen dan sulit untuk dipulihkan secara medis. Prosedur pembalikan vasektomi tidak selalu berhasil dan tingkat keberhasilannya menurun drastis seiring waktu. Maka, jika dilakukan tanpa pertimbangan matang atau hanya sebagai alternatif jangka pendek, vasektomi memang bisa menimbulkan penyesalan dan konflik batin. Ini tentu harus menjadi pertimbangan serius dalam penyusunan fatwa dan edukasi publik.

Sayangnya, edukasi tentang kesehatan reproduksi di Indonesia masih menemui jalan terjal. Sosialisasi mengenai kontrasepsi sering kali tidak efektif karena terbentur dengan rendahnya literasi, budaya patriarki, serta kuatnya resistensi masyarakat terhadap topik-topik yang dianggap sensitif. Dalam konteks ini, bukan hanya fatwa yang harus dibenahi, tapi juga pendekatan kebijakan dan komunikasi publik agar tidak berujung pada penolakan massal.

Ketika lembaga sekelas MUI mengeluarkan fatwa yang terlalu sempit tanpa mempertimbangkan pendekatan ilmiah dan sosial secara utuh, kita patut bertanya: apakah masih ada ruang diskusi lintas disiplin dalam proses penetapan fatwa? Apakah ahli kesehatan masyarakat, dokter, dan sosiolog turut dilibatkan dalam pembahasan isu seperti ini? Jika tidak, maka wajar jika fatwa semacam ini terkesan elitis, simbolik, dan tidak berpihak pada realitas umat.

Lebih jauh lagi, publik juga berhak mengkritisi kemungkinan adanya oknum yang membawa kepentingan ideologis tertentu ke dalam tubuh MUI. Keputusan yang semestinya berbasis pada pertimbangan maslahat umat justru menjadi alat untuk mempertahankan norma patriarkis atau mengukuhkan dominasi kelompok tertentu.

Sebagai upaya mencari jalan tengah, penerapan vasektomi sebenarnya bisa dipertimbangkan secara terbatas dan kontekstual, misalnya pada keluarga miskin penerima bantuan sosial yang telah memiliki lebih dari tiga anak. Dalam kasus semacam ini, kehamilan berikutnya justru berpotensi memperparah beban ekonomi dan psikososial keluarga, serta menambah angka stunting dan kemiskinan. Maka, bukan tidak mungkin jika vasektomi dijadikan sebagai salah satu opsi yang diatur secara etis dan terukur, tentu dengan syarat: dilakukan atas dasar kesadaran, tanpa paksaan, melalui proses konseling menyeluruh, dan dengan perlindungan hukum serta jaminan medis yang memadai.

Sudah saatnya lembaga keagamaan kita membuka diri pada dialog yang lebih luas, melibatkan disiplin ilmu lain, dan bersikap lebih objektif dalam menghadapi kompleksitas zaman. Fatwa seharusnya hadir sebagai solusi, bukan sumber kebingungan baru.

Kita semua berhak berharap pada agama yang ramah, adil, dan relevan. Dan untuk itu, kritik konstruktif terhadap lembaga keagamaan bukanlah bentuk penodaan, melainkan bagian dari cinta dan tanggung jawab kita terhadap umat.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image