
Manusia, AI, dan Kesadaran yang Tergelincir
Teknologi | 2025-05-10 00:02:28
Dalam gemuruh perkembangan kecerdasan buatan (AI), banyak suara mulai menggema bahwa AI kelak akan menggantikan, bahkan mengalahkan manusia. Di layar-layar gawai, dalam seminar-seminar teknologi, narasi itu berulang—mengusik nurani, dan kadang, menyusup sebagai kebenaran baru yang tak terbantahkan. Tapi benarkah demikian?
AI, secanggih apa pun, tetaplah ciptaan. Ia adalah alat bantu, bukan pelaku utama. Ia lahir dari rangkaian kode, bergantung pada listrik, data, dan koneksi. Tanpa itu semua, AI bukanlah entitas cerdas, melainkan hanya seonggok logika tak bernyawa—ibarat mobil mewah tanpa pengemudi, tanpa bensin, hanya tinggal rangka indah yang tak berdaya.
Kemampuan AI yang mengungguli manusia dalam bidang tertentu—seperti analisis data atau perhitungan matematis—tidak lantas menjadikannya lebih tinggi dari manusia. AI tidak memahami makna. Ia tidak punya kesadaran diri, apalagi moralitas. Ia tidak bisa mencintai, menangis, menyesal, atau berdoa. Semua kualitas tertinggi yang membuat manusia sebagai manusia—tidak dimiliki AI dan tidak akan pernah bisa disimulasikan secara utuh.
Yang menarik, ketakutan bahwa AI akan mengalahkan manusia sering kali muncul dari rasa takjub manusia sendiri terhadap ciptaannya. Takjub yang berlebihan, tanpa kesadaran akan hakikat AI dan jati diri manusia sebagai makhluk berakal sekaligus berjiwa, justru melahirkan inferioritas. Maka benar, jika ada manusia yang berkata bahwa AI akan mengalahkan manusia, yang sesungguhnya kalah adalah dirinya sendiri—oleh pikirannya yang lepas dari landasan.
AI hanyalah pena. Manusia tetap tangan yang menulis, jiwa yang memilih kata, dan hati yang menimbang makna. Maka, bukan AI yang perlu ditakuti, tetapi lupa diri manusia dalam menyikapinya. Dan dalam dunia yang dipenuhi kecerdasan buatan, jangan sampai kita kehilangan kecerdasan sejati: kesadaran akan diri, tanggung jawab, dan tujuan hidup sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. -ufa
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.